"Corno!", maki Terceiro Oficial Santo Domingues Luiz da Costa sambil mengangkat tangannya.
"Raphael! Tanto! Tahan dulu itu tali, jangan kalian lepas!", teriak Terceiro Oficial itu sambil memerintah dua orang Marinheiros Santo Domingues memegang kuat tali yang menghubungi dua katrol. Mereka sedang berusaha menurunkan seekor kuda betina dari geladak kapal. Dua orang Marinheiros lagi sedang menjaga posisi kapal barang yang digunakan untuk membawa kuda itu ke dermaga.
Pagi ini, matahari masiih belum terbit di Melaka, tetapi kegiatan bongkar muat di kapal Santo Domingues sudah dimulai. Target mereka hari ini kegiatan bongkar dan muat di Santo Domingues selesai. Karena berikutnya adalah giliran kapal perang Galatea yang melakukan kegiatan bongkar dan muat. Mereka semua sedang bersiap-siap menunggu kedatangan armada Demak yang sedang menuju ke Malaka dengan kekuatan besar. Kapal-kapal Portugis semua dipersiapkan untuk melakukan penghadangan ditengah laut sebelum armada dari Jawa itu bisa mencapai bibir pantai Melaka.
Sementara Chiaki, gadis Nihon bermata almond yang cantik itu, berdiri mengawasi kegiatan menurunkan kuda betina itu dengan seksama. Si Nyai, nama kuda betina tersebut, tampak berdiri tenang saat dirinya diangkat dengan katrol dari geladak untuk kemudian diturunkan ke sebuah kapal barang kecil yang dapat sandar di dermaga kayu pelabuhan Melaka. Kuda itu awalnya agak ragu saat diturunkan keatas kapal barang tersebut. Tetapi karena gadis Nihonitu bisa meyakinkannya, maka Nyai akhirnya mau meletakkan kakinya diatas geladak kapal kecil tersebut.
Selama proses menurunkannya ke darat, kuda betina yang angkuh itu beberapa kali mendengus mengancam saat tangan-tangan beberapa pelaut mencoba menyentuh tubuhnya ataupun memegang tali kekangnya. Bahkan si tua Luiz da Costa nyaris digigit olehnya saat berusaha melepas tali penahan sisi tubuh si kuda, karena berdiri terlalu dekat dalam waktu yang cukup lama. Kalau tidak segera dihentikan Chiaki, dapat dipastikan lengan pelaut tua yang kurus itu akan remuk dikunyah olehnya. Luiz da Costa hanya bisa menyumpah-nyumpah marah kepada kuda betina angkuh itu dan dibalas dengus mengancam olehnya.
"Senhorita Chiaki. Jauhkan kudamu dari jangkauan anak-anak. Dia sungguh membahayakan.", gerutu Terceiro Oficial Santo Domingues itu.
Setelah para Marinheiros Santo Domingues berusaha sekuat tenaga, si Nyai akhirnya menjejakkan keempat kakinya diatas tanah Melaka. Tidak gampang menurunkan kuda itu dari kapal. Dan ketika semua sudah selesai, Chiaki dapat menarik napas lega. Kuda betina itu mendengus dan meringkik pendek. Dia merasa senang dan tenang berada di tanah datar yang solid lagi, setelah selama lima hari berada di dataran aneh yang bergoyang-goyang. Dan selama itu juga, dia harus berada diruangan sempit dan menghirup hawa laut yang kering dan beraroma aneh. Untungnya gadis cantik penunggangnya ini selalu menghampiri dan menemuinya setiap hari, pagi, siang, dan sore. Bercakap-cakap dengannya, yang anehnya, gadis itu mengerti apa yang disampaikan olehnya, dan dia-pun mengerti apa yang diucapkan oleh gadis itu.
Tetapi penderitaan itu sudah lewat. Dia dapat menghirup hawa daratan yang biasa dihirup, meskipun daratan ini memiliki aroma garam yang lebih pekat dari biasanya. Kuda betina itu berlarian berkeliling sambil tetap berada disekitar Chiaki. Gadis itu tidak memegang tali kekang si Nyai, dia membiarkan kuda betina itu berlarian di jalan batu kota Melaka yang mulai ramai.
Chiaki berjalan kearah rumahnya disisi barat kota. Si Nyai mengiringinya dari belakang, sambil mendengus-dengus sombong kepada setiap kuda yang berpapasan dengan mereka. Nyai selalu memamerkan kebebasannya bergerak tanpa dikekang. Kuda betina tua itu memiliki karakter kuat yang disukai oleh Chiaki. Angkuh, keras kepala, dan tidak mau dikekang, tetapi setia.
Gadis Nihon itu berhenti di sebuah lapangan rumput yang luas, dia membiarkan si Nyai melesat berderap mengelilingi lapangan luas tersebut. Nyai perlu waktu untuk memulihkan kebugaran otot-ototnya, perjalanan selama lima hari dalam palka kapal Santo Domingues pasti telah menyiksanya. Habitat alami kuda adalah tanah dataran luas, dimana dia dapat melesat berlari dan menderap dengan bebas, bukan dalam ruangan sempit dan tertutup. Didataran luas ini, si Nyai dapat menghirup dan memenuhi paru-parunya dengan udara pagi yang sejuk dan segar.
Setelah puas berlari dan menderap, Nyai menghampiri Chiaki dan menyentuhkan hidungnya ke wajah gadis itu. Chiaki mengusap kedua pipi Nyai sambil berbisik-bisik lembut. Dia menatap mata kuda itu, mencoba membaca isi pikirannya.
"Nande?", katanya bertanya.
Kuda itu mendengus lembut ke wajah Chiaki, menerbangkan rambut hitamnya. Si gadis tertawa pelan sambil menatapnya ragu.
"Heee...Hontonyi?", tanya gadis itu lagi, memastikan.
Si Nyai menderap berputar mengitarinya sambil meringkik pendek, lalu berhenti dihadapannya sambil menggoyang-goyangkan kepalanya. Kuda betina itu menegaskan dan memastikan.
"Wakatta", kata Chiaki akhirnya.
Gadis itu melompat ringan ke punggung Nyai dan duduk miring karena yukata-nya tidak memungkinkan baginya untuk duduk menunggang seperti biasanya. Nyai terlihat agak heran dan bingung sewaktu merasakan posisi duduk Chiaki yang tidak biasa. Gadis itu membiarkan tali kekangnya menggantung bebas dan berpegangan pada surai panjang si Nyai.
Kuda itu lalu mulai menderap pelan, membiasakan diri dengan posisi aneh penunggangnya. Chiaki dapat memahami kuda itu sedang mempelajari posisi duduknya, untuk kemudian melesat membawanya begitu dia sudah terbiasa. Setelah beberapa saat dia menderap. Si Nyai meringkik panjang. Chiaki merunduk dan membisikkan kata-kata ke telinga si Nyai. Gadis itu mengeratkan cengkeramannya pada surai, dan merasakan hentakan kuat ke depan saat si Nyai mengerahkan otot-otot kakinya yang kuat untuk melesat.
Si Nyai melesat dengan kecepatan tinggi melintasi lapangan luas itu dan bergerak ke arah barat kota Melaka. Kuda itu bergerak cepat melintasi jalan batu dan melompati beberapa pagar rumah, memotong jalan dan mengagetkan beberapa pejalan kaki dan kuda-kuda lainnya.
"Hanbi... Sugoi...", seru Chiaki kagum.
Nyai melesat dengan cepat sampai tiba di depan rumah mungil tempat tinggal Chiaki. Dia menderap melambatkan kecepatannya saat mendekati rumah kayu tersebut. Kuda itu tiba-tiba mendengus, dia dapat mencium kehadiran orang lain disana. Bau orang itu sudah dia kenal. Bau seorang manusia perempuan muda yang mampu mengalahkan kecepatan larinya. Perempuan muda itu ada disini. Chiaki dapat melihat Andini berdiri dipekarangan depan rumah, melompat-lompat ringan seperti sedang melemaskan ototnya. Nyai meringkik panjang menyampaikan tantangan. Andini menatap mata kuda betina itu dan tersenyum, sambil mengambil ancang-ancang.
Chiaki kembali mengeratkan genggamannya pada surai si Nyai. Lalu berbisik pelan, "Ganbatte, Nyai."
Dengan ringkik panjang Nyai melompat ke depan mengerahkan otot-ototnya kakinya lagi, kali ini dia benar-benar mengerahkan kekuatannya. Dia dapat melihat, Andini, manusia kecil itu, melesat cepat meninggalkannya. Tidak manusia kecil. Kamu tidak akan mengalahkanku hari ini. Kali ini aku akan lebih cepat dari kamu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Fang Yin 1513 - Buku Tiga
Historical Fiction"Dalam sebuah surat kepada Alfonso de Albuquerque, dari Cannanore, Fernão Pires de Andrade, Kapten armada yang menghalau Pate Unus, mengatakan: Jung milik Pati Unus adalah yang terbesar yang dilihat oleh orang-orang dari daerah ini. Ia membawa serib...