Tan Fang Yin sedang berjalan melintasi pelabuhan kota Pasuruan. Cuaca siang hari itu di Pasuruan sangat panas. Matahari siang memanggang kulit semua manusia yang berjalan dibawah cahayanya. Sementara itu dibawah lindungan payung merah, Fang Yin berjalan menyusuri jalan tanah dari pelabuhan lurus ke selatan.
Fang Yin sampai di depan gerbang pasar kota. Diambang gerbang batu itu Fang Yin berdiri diam dan mengamati keadaan disekeliling pasar. Tidak banyak yang berubah dari keadaan di pasar itu. Semua masih sama, deretan kios beratap genting tanah liat yang berdiri membatasi sisi barat dengan sisi selatan pasar masih sama, deretan kios tempat pedagang daging berjualan juga masih sama. Jalan tanah berdebu yang dilalui oleh orang ramai masih sama. Bahkan "aroma pasar"-nya pun masih sama, seperti tujuh tahun yang lalu.
Gadis itu melangkah memasuki gerbang, mencari deretan lapak beratap yang tidak memiliki dinding. Lapak yang biasanya diisi oleh pedagang-pedagang kecil dari dusun-dusun jauh diluar kota, dusun-dusun jauh di kaki pegunungan Tengger. Fang Yin tertegun, saat keadaan disekelilingnya bergerak mundur berlawanan arah. Dia seperti ditarik jauh kebelakang ke masa tujuh sampai tujuh tahun yang lalu. Saat dimana dia masih berusia tujuh belas tahun. Saat dia pertama kali dan sekali dalam seumur hidupnya bertemu dengan seorang pemuda yang dia sayangi, seorang remaja kekar berkulit coklat, berhidung pesek dengan gigi tidak beraturan dan bau keringat khas petani kampung.
Dia masih ingat wajah lugu pemuda Jawa itu. Dia masih ingat wajah pemuda yang selalu dicibir oleh banyak orang itu. Wajah polos yang jauh dari standar kata tampan. Wajah pemuda dusun yang sederhana. Wajah yang gadis lain tidak akan mau berada disampingnya, karena malu atau merasa terhina, tetapi tidak bagi dirinya. Entah bagaimana awalnya sampai dia bisa sangat memujanya, dia-pun tidak mengerti.
Fang Yin berdiri didepan lapak yang sangat diingatnya. Lapak dimana pemuda luar biasa itu selalu duduk diatas dingklik kayu, menunggunya mengambil pesanan belanjaannya. Pemuda yang setiap harinya selalu ditemani seekor kerbau besar berbulu hitam. Kerbau yang juga sangat dikenalnya. Kerbau yang selalu melenguh pendek seakan memberi salam setiap kali dia datang. Gadis itu mengangkat kepalanya dan melihat pemuda itu datang memasuki ambang gerbang pasar. Kerbau hitamnya tidak lama kemudian muncul dari balik tembok utara pasar itu, menoleh memiringkan kepalanya yang besar, memamerkan tanduk hitamnya yang panjang.
Gadis itu tersenyum melihat kedatangan pemuda bersama kerbau hitamnya tersebut. Rasa rindunya akan segera terbayar lunas. Jantungnya berdegup cepat.
"Bo... Kebo...", katanya lirih memanggil namanya.
"Nona muda Fang", kata suara cempreng seorang perempuan tua melengking menariknya dari masa tujuh tahun lalu dengan kejam, dan mengembalikannya dengan kasar ke masa sekarang. Orang-orang dipasar itu banyak yang menatap kearah dirinya dengan tatapan prihatin dan khawatir. Sebagian lagi hanya menoleh ingin tahu, untuk kemudian melanjutkan aktifitasnya masing-masing.
"Nona muda Fang... Nona muda tidak apa-apa?", tanya perempuan itu lagi.
Fang Yin menoleh dan menatap wajah tua itu sambil tersenyum. Tampak kabut tebal membayang dimata lancipnya. Air matanya tanpa terasa jatuh membasahi pipinya. Lalu mendadak semuanya gelap. Tubuh langsingnya roboh terbanting diatas jalan tanah. Debu-debu tanah pasar mengotori tangan, hanfu putih dan wajah cantiknya.
Gadis Cina yang cantik itu hanya bisa mendengar sayup-sayup suara seseorang yang dia kenal berteriak memanggil namanya, "Fang fang...." sebelum semuanya hilang kedalam ketiadaan.
"Nona muda Fang... Nona muda Fang...", panggil Āyí Xiāo Tien sambil membalurkan balsem yang hangat ke kedua tangan dan kakinya. Menyadarkannya. Kepingan kepingan kesadaran-pun mulai tersusun kembali.
Fang Yin membuka mata sipitnya perlahan-lahan. Ahh... sepertinya dia pingsan lagi. Sudah beberapa kali dia pingsan di pasar itu, didepan lapak yang sama, dan pada waktu yang sama. Sejak dia kembali ke Pasuruan, kota kelahirannya, jiwanya selalu ditarik kembali ke masa tujuh tahun yang lalu.
Ada janji yang belum bisa ditunaikan. Janji lama yang harus diselesaikan, selagi masih dikasih waktu oleh Yang Maha Agung. Sejak kepulangannya dari pendidikan kedokterannya di Shang Hai, Fang Yin selama tiga bulan terakhir selalu terganggu oleh ingatan pada masa tujuh tahun yang lalu. Masa - masa terindah yang akan selalu tercetak didalam benaknya seumur hidup. Masa-masa yang dengan senang hati ingin dijalaninya lagi, berulang-ulang, selama hidupnya
Apakah dia gila? keluhnya beberapa hari yang lalu. Dia ingin berobat dan berkonsultasi dengan seorang tabib, tetapi dia sendiri adalah seorang tabib. Sebuah ironi yang menyedihkan buatnya. Tetapi mau berkonsultasi kemanapun, dia sudah tahu resep obatnya. Dan tabib mana-pun akan sepaham dengannya. Obatnya adalah terselesaikannya janji yang ditunggu oleh jiwanya, tujuh tahun yang lalu.
"Nona muda Fang...", panggil Āyí Xiāo Tien lagi.
"Ah... Maaf aku melamun Āyí ", jawab Fang Yin pelan.
"Nona muda Fang sudah baikkan?", tanya Xiāo Tien.
"Aku tidak apa-apa Āyí", kata Fang Yin sambil menarik tubuhnya ke posisi duduk.
Dibantu oleh Xiāo Tien, Fang Yin duduk diatas dipannya. Hanfu putih yang dikenakannya terlihat kotor. Gadis itu mencoba bangkit dari dipannya. Dengan tergopoh-gopoh Xiāo Tien membantu dengan membopongnya.
"Aku baik-baik saja Āyí", sergah Fang Yin.
"Tetapi kata Tabib Chan, nona muda harus lebih banyak berbaring, tidak boleh kemana-mana.", protes Āyí Xiāo Tien. Kekhawatiran tampak jelas dari matanya.
"Aku ini tabib Āyí, dan aku tahu tubuhku sendiri.", kata Fang Yin sambil membantingkan dirinya didepan cermin meja riasnya. Kekuatan tubuhnya belum pulih seluruhnya.
Dia memperhatikan keadaan dirinya, menganalisa dan mencoba mendiagnosis dirinya sendiri di cermin. Wajahnya cantiknya masih terlihat normal. Sepasang mata sipitnya yang ekspresif masih terlihat berkilat-kilat. Sepasang lesung pipi ciri khas wajahnya masih ada pada tempatnya. Hidung dengan tulang tinggi, wajah tirus dengan rahang tajam seperti mata pisau belati. Semua masih tetap pada tempatnya. Semua terlihat sempurna.
Tetapi Fang Yin juga menyadari bahwa dia bukan dalam keadaan baik-baik saja. Hanfu putihnya yang kotor menandakan hal itu. Hanfu putih... Tiba-tiba dia terbelalak, dia teringat sesuatu. Hanfu ini adalah baju yang sama dengan yang dikenakannya tujuh tahun yang lalu. Hanfu yang dikenakan saat memberikan resep obatnya, ke orang itu.
Fang Yin mengusap keningnya dan memukulkan telapak tangannya. Kamu kemana... Kamu dimana... Kabar kamu bagaimana... Teriak batinnya. Tuhan, aku harus menemukannya!
Gadis itu menatap tajam wajah cantiknya dicermin meja rias.
"Aku tidak sedang baik-baik saja. Aku sakit, dan aku butuh obatku", katanya lirih.
Xiāo Tien menoleh menatap wajahnya.
"Obat nona muda? Obat yang mana?", katanya bingung.
"Kebo... Āyí. Obatku Kebo Ireng...."
Xiāo Tien tertegun sejenak sebelum menoleh kearah Fang Yin. Dilihatnya wajah gadis yang memancarkan ekspresi kerinduan. Mata Xiāo Tien perlahan-lahan terbelalak, dia pernah melihat ekspresi Fang Yin yang sama, tujuh tahun yang lalu. Ekspresi yang mencerminkan seseorang yang sedang jatuh kedalam jurang perasaan terdalam tanpa bisa bangkit keluar itu, terlihat lagi.
"Ya Tuhan, tolonglah nona muda Fang..."
KAMU SEDANG MEMBACA
Fang Yin 1513 - Buku Tiga
Fiksi Sejarah"Dalam sebuah surat kepada Alfonso de Albuquerque, dari Cannanore, Fernão Pires de Andrade, Kapten armada yang menghalau Pate Unus, mengatakan: Jung milik Pati Unus adalah yang terbesar yang dilihat oleh orang-orang dari daerah ini. Ia membawa serib...