XVII. Berkunjung - Demak, tahun 1513

2 2 0
                                    

Fang Yin berdiri tegak dihaluan kapal layar itu. Dia mengenakan pakaian hanfu putih favoritnya. Gadis Cina itu lebih menyukai memakai hanfu yang longgar dan tertutup untuk pakaian kesehariannya, dari pada cheongsam ataupun qipao. Meskipun tidak seringkas qipao dan cheongsam, Tetapi hanfu sangat cocok dipakai oleh Fang Yin. Baju tradisional Cina itu sudah berusia empat ribu tahun. Hanfu memberikan estetika sosok putri bangsawan Cina pada diri Fang Yin. Dan gadis cantik itu tahu, bahwa dia sangat cocok untk mengenakan hanfu.

Jung yang dinaiki Fang Yin sudah bergerak keluar pelabuhan Pasuruan, kearah utara menuju Bangkalan sebelum berbelok ke barat menuju Demak. Dia berdiri tegak bersandar dipagar haluan. Matanya memandang jauh, mengamati sudut-sudut lautan. Pemandangan yang menyegarkan, melatih sekaligus memanjakan indera penglihatannya.

Menjelang siang, Tan Fang Bu datang menghampirinya di haluan. Laki-laki Cina itu berdiri disampingnya, sambil mengikuti arah pandangannya. Dia bisa melihat keresahan di mata adiknya, meskipun jelas sekali Fang Yin berusaha menekan perasaannya.

"Fang fang, kamu tidak lapar?", tanya kakaknya sambil mengulurkan sebutir buah pir kepadanya.

Fang Yin melihat buah pir ranum berwarna kuning yang disodorkan oleh kakaknya. Dia raih buah pir itu dari tangan kakaknya. Digigit buah ranum itu itu setelah terlebih dulu dibersihkan dengan sapu tangannya yang lebar. Rasa manis yang menyegarkan mengisi perutnya, dan memberikan tenaga untuk hidup. Tan Fang Bu menatapnya adiknya yang keras kepala itu dengan tatapan sedih.

"Kamu yakin mau bertemu Kebo?", tanya Tan Fang Bu lagi.

"Kenapa Ko?", kata Fang Yin balas bertanya.

"Kalian sudah tujuh tahun tidak pernah bertemu. Tujuh tahun adalah waktu yang sangat lama. Selama tujuh tahun sifat orang pasti berubah. Koko tidak tahu apakah dia masih seorang Kebo seperti dulu, atau sudah menjadi Bagas. Koko khawatir kalau Bagas ternyata tidak sesuai dengan harapan kamu", kata kakaknya sambil mendesah.

"Fang fang tidak peduli. Apakah Bagas sudah bukan Kebo lagi. Atau mungkin sudah menjadi orang yang sama sekali asing buatku. Yang terpenting buat Fang fang adalah, janji Kebo untuk membaca resep obat untukku, terpenuhi. Atau paling tidak, dia mengingat janji itu meskipun selama tujuh tahun ini, kita tidak pernah berkomunikasi.", balas Fang Yin pelan.

Mata gadis itu mulai berkabut. Fang Yin berusaha untuk tetap bisa mengontrol emosi dan perasaannya.

"Kamu benar-benar menyayanginya ya... Kamu benar-benar jatuh cinta sama dia.", kata Tan Fang Bu sambil memeluk bahu adiknya.

"Kalau bukan cinta, kenapa dadaku sakit sekali saat mengingatnya...", kata Fang Yin lirih.

"Fang fang, cinta itu memang sering kali menyakitkan. Koko hanya bisa berharap semoga keinginanmu terpenuhi. Paling tidak, dia bisa menuntaskan janjinya", kata kakaknya menguatkan Fang Yin.

"Paling tidak dia bisa membaca tulisan yang aku berikan kepadanya, tujuh tahun lalu...", balas Fang Yin berbisik parau.

Setitik air mata lalu jatuh dipipi gadis itu. Sementara Tan Fang Bu mengeratkan genggamannya dibahu Fang Yin, yang mulai terisak, menangis.

Angin laut Jawa yang berhembus stabil, membawa Jung itu menempuh perjalanan hampir seharian menuju pelabuhan Demak. Pelabuhan itu terlihat sangat ramai. Berbagai jenis kapal dagang, tampak memenuhi bibir pantainya. Kesultanan Demak memang belakangan ini berkembang dengan sangat pesat. Pengaruhnya di pantai utara Jawa hanya dapat disaingi oleh Pelabuhan Sunda Kelapa di sebelah barat. Sebagai kekuatan ekonomi baru di Nusantara, Demak perlahan-lahan mampu menyaingi kekuatan ekonomi kerajaan Sunda. Dibawah kepemimpinan Raden Patah, pendiri kesultanan Demak, secara perlahan dan pasti perekonomian Demak mulai menggoyah hegemoni kerajaan-kerajaan lain yang lebih dulu ada.

Fang Yin dapat melihat puluhan Jung besar buang jangkar didepan pelabuhan Demak. Demak sedang dalam persiapan untuk menduduki Melaka, yang sekarang ini diduduki Portugis. Awalnya, Demak ingin mengalahkan kesultanan Melaka yang pengaruhnya sudah terlalu kuat mencengkeram perdagangan di Nusantara. Tetapi keinginan untuk menduduki Melaka, dan merebutnya dari genggaman kesultanan Melaka harus ditunda dengan masuknya Portugis disana. Rencana penyerbuan harus ditunda dan penyesuaian persenjataan-pun harus dilakukan, karena datang informasi bahwa peralatan perang Portugis lebih baik dari peralatan perang kesultanan Demak.

Selain itu pelaut-pelaut Portugis terkenal berani dan tangguh. Maka personel pasukan Demak yang dibawa, harus juga personel yang tangguh. Kesultanan Demak mulai merekrut prajurit-prajurit dari pelosok Nusantara untuk bergabung dalam ekspedisi penyerbuan dan penaklukan ini. Persiapan dan pelatihan pasukan dilakukan dengan benar masif. Dan untuk memenuhi ambisinya merebut Melaka, Kesultanan Demak membangun puluhan Jung-jung raksasa selama lima tahun. Saat ini sudah terkumpul tiga puluh jung, dan puluhan jenis kapal yang lebih kecil, seperti tipe lancaran dan penjajap.

Hari penyerbuan ke Melaka sudah semakin semakin dekat. Dan aktifitas persiapan-pun semakin sibuk. Fang Yin dapat melihat berton-ton barang dimasukan ke dalam palka jung. Berpuluh - puluh sekoci dan perahu-perahu kecil bergerak hilir mudik, dari dermaga pelabuhan ke jung-jung yang membuang jangkar disepanjang selat Muria.

Dan karena masifnya persiapan penyerbuan itu, Jung yang ditumpangi Fang Yin dan kakaknya tidak dapat bersandar di dermaga pelabuhan. Oleh karena itu mereka berdua harus naik perahu atau sekoci untuk kemudian diseberangkan ke pelabuhan. Butuh waktu yang cukup lama mereka menunggu giliran. Hingga akhirnya Fang Yin dan kakaknya dapat menginjak dermaga pelabuhan Demak saat matahari mulai tenggelam.

Tan Fang Bu mengajak Fang Yin untuk bermalam dirumahnya, sekaligus bersilaturahmi dengan istri dan anak-anaknya. Rumah yang ditinggali oleh keluarga kakaknya ternyata cukup besar. Rumah dengan arsitektur khas Kanton itu memiliki sebuah menara pagoda kecil di salah satu pojoknya. Pintu gerbangnya dicat dengan warna merah mengkilat. Lampu-lampu lampion menyala berpendaran di pojok-pojok dinding luar tembok rumah. Memberi penerangan pada wilayah disekeliling rumah besar itu.

Dua orang pengurus rumah membantu membawakan barang-barang bawaan mereka ke dalam rumah, dan meletakkannya diruang tamu. Kedua kakak beradik tersebut berjalan memasuki pintu gerbang dan melintasi pekarangan dalam mengikuti pengurus-pengurus rumah tersebut. Mereka disambut oleh istri Tan Fang Bu, seorang perempuan Cina kelahiran Semarang, di depan pintu ruang tamu.

Ruang tamu di rumah ini sungguh menyenangkan. Berbeda dengan ruang tamu dirumah Fang Yin yang terkesan kaku, ruang tamu dirumah kakaknya terlihat lebih santai. Tidak ada lemari-lemari besar berisi buku-buku tebal. Tidak ada susunan guci-guci besar yang diletakkan di sudut-sudut ruangan. Tidak tampak deretan bangku-bangku kayu tempat duduk tamu-tamu duduk menunggu giliran untuk bertemu dengan almarhum ayahandanya, Syaikh Fen Bu.

Xiao Lie menyambut kedatangan adik iparnya yang cantik itu sambil mengagumi parasnya. Xiao Lie ditemani oleh dua orang anak perempuannya yang masih kecil, usia kakak beradik itu tidak lebih dari enam tahun. Kedua gadis kecil yang berwajah bulat terlihat malu-malu saat bertemu dengan Fang Yin. Kedua keponakannya itu terlihat sehat dan montok.

Kedua gadis kecil itu juga mengagumi paras bibinya yang molek. Mereka ikut mengantarkan Fang Yin ke sebuah kamar tidur yang cukup luas, sekaligus membantu membawakan sebagian barang-barangnya. Xiao Lie kemudian memberikan waktu bagi Fang Yin untuk beristirahat sejenak sebelum mengundangnya untuk makan malam bersama.

Fang Yin membungkuk mengucapkan banyak terima kasih sebelum menutup pintu kamar dan merebahkan dirinya diatas dipan kayu yang besar. Gadis itu memejamkan kedua belah matanya dan mengistirahatkan tubuhnya yang penat. Dalam keheningan, dia dapat mendengar suara kedua keponakannya yang sibuk berlarian.

Fang Yin 1513 - Buku TigaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang