XIII. Warung Makan - Pasuruan, tahun 1505

2 2 0
                                    

Tan Fang Bu terlihat duduk diatas punggung kudanya sedang berderap menuju kearah selatan kota Pasuruan. Dia sudah tahu hendak kemana dia menuju, meskipun dia belum pernah berkunjung ke daerah itu. Hari ini dia akan menemui Kebo Ireng di dusunnya. Dia tahu bahwa dia datang mendadak tanpa banyak persiapan, tetapi dia berharap dari informasi yang sudah didapatnya sesuai dengan fakta. Hari ini bukan waktunya bagi pemuda yang dipanggil Kebo Ireng itu untuk turun ke Pasuruan. Jadi dia berharap dapat menemuinya di kediamannya pada hari ini.

Dia berhenti pada sebuah persimpangan jalan di batas kota. Laki-laki Cina berbaju bagus itu melompat turun dari atas kudanya, dan memasuki sebuah warung makan sederhana yang berada tepat di sebelah barat persimpangan. Dia mau ngopi dulu sebentar sekalian menggali informasi dan mengkonfirmasi informasi yang sudah didapatnya. Penampilannya yang tidak biasa membuatnya jadi perhatian para pengunjung warung makan. Mereka menatapnya curiga.

"Mau minum atau makan?", tanya suara berat seorang laki-laki berkumis tebal dari dalam warung makan itu.

Tan Fang Bu melangkah masuk kedalam warung makan dan memilih meja yang paling dekat dengan pintu masuk.

"Kopi satu gelas pak", katanya memesan.

"Kopi siji? Ora mangan?", tanya laki-laki berkumis itu lagi.

"Kopi ae siji", jawab Tan Fang Bu menegaskan.

Tidak beberapa lama kemudian segelas kopi panas diletakkan di atas meja, dihadapan Tan Fang Bu. Tan Fang Bu mengucapkan terima kasih dengan sopan menerima kopi itu.

"Kisanak mau kemana?", tanya laki-laki berkumis tebal yang mengantarkannya segelas kopi.

"Saya mau ke Banyu Angin...", jawabnya singkat.

"Mau ke Banyu Angin? Kisanak punya saudara atau kenalan diatas sana?", tanya laki-laki pemilik warung makan itu lagi. "Saya rasa saya belum pernah mengetahui ada keluarga Cina diatas"

"Saya mau mengunjungi kenalan saya, Kebo Ireng.", jawab Tan Fang Bu.

Semua wajah pengunjung warung yang awalnya menatap curiga, berubah menjadi lebih ramah. Laki-laki pemilik warung yang berkumis tebal itupun tersenyum.

"Aah... Kisanak mau berjumpa dengan dia rupanya.", katanya dengan nada yang lebih ramah.

"Ada urusan apa?", tanya lagi dengan penasaran.

"Saya diutus adik saya untuk berjumpa dengannya."

"Aaah... Adik kisanak ada juga kenal dengan Kebo. Atau jangan-jangan adik kisanak itu gadis Cina yang sekarang lagi dekat dengan dia?", tanya pemilik warung semakin penasaran.

Tan Fang Bu menelengkan kepalanya. Bagaimana dia bisa tahu mengenai Fang fang?, batinnya. Dia menatap wajah pemilik warung dengan tatapan menyelidik.

"Kami tahu dari para pedagang pasar kota, Kisanak. Setiap kali Kebo turun ke pasar, gadis Cina itu selalu membeli sayuran yang dibawanya dari atas.", kata seorang laki-laki bertubuh kurus yang duduk dipojok ruangan, menjawab pertanyaan dalam pikiran Tan Fang Bu. Segelas kopi yang hampir habis tampak dalam genggamannya.

"Tidak mungkin orang satu Pasuruan tidak mengenal Kebo. Hanya dia yang berani berjalan dengan kerbau jantan tanpa tali kekang", lanjut laki-laki bertubuh kurus itu.

"Kisanak, Kebo itu seorang pemuda yang baik. Meskipun dia orang dusun, tetapi dia orang baik. Dia akan selalu siap untuk membantu orang, meskipun orang itu tidak dikenalnya.", kata si penjaga warung makan.

"Menurut saya Kebo adalah pasangan yang tepat untuk gadis Cina yang cantik itu.", timpal seorang laki-laki yang duduk disebuah bangku panjang.

Tan Fang Bu selalu mendengar pujian orang terhadap Kebo Ireng, setiap kali dia bertanya tentang pemuda dusun itu. Setiap orang yang mengenalnya pasti membicarakan kebaikannya.

"Ya, saya adalah kakak gadis itu. Fang fang itu adik bungsu kami.", kata Tan Fang Bu membenarkan dugaan pemilik warung makan.

"Saya hendak berkunjung kerumah Kebo untuk bertemu dengan ibunya. Mau bersilaturahmi.", lanjutnya.

Semua orang di warung makan itu terkejut. Mereka mencoba mencerna informasi baru yang sangat menarik ini. Suasana di warung makan itu mendadak sunyi. Lalu terdengar suara menggelegar si pemilik warung makan tertawa.

"Aaah... Rupanya gadis yang beruntung itu bernama Fang fang... Uapik tenaan...", katanya riang.

"Kopi saya tidak perlu Kisanak... eh... maaf koko kalau begitu. Kopinya tidak perlu koko bayar. Warung saya masih berhutang banyak sama dia", lanjut laki-laki berkumis itu terkekeh-kekeh.

"Hah.. Kowe hutang ne uakeh tenan Mul.", sahut laki-laki kurus yang duduk dipojok tu.

"Halah,... hutang kowe juga wes se kaki gunung Tengger, Man", balas si pemilik warung sambil terkekeh.

Tan Fang Bu menyeruput kopinya sambil tersenyum kecil. Dia tidak menyangka adik bungsunya itu pintar memilih laki-laki. Tan Fang Bu semakin yakin dengan keputusan yang akan diambil mengenai hubungan adiknya dengan pemuda itu.

"Baik kisanak semua, saya pamit mau lanjut lagi.", kata Tan Fang Bu sambil berdiri.

"Kopine piro?", tanya laki-laki Cina itu.

"Wes... Kepeng ne keluarga Kebo, tidak laku disini...", kata si pemilik warung menolak dibayar.

"Matur suwun", kata Tan Fang Bu sambil membungkuk berterima kasih.

"Pareng...", salam Tan Fang Bu kepada semua orang di warung makan.

"Yoo, Koko ati-ati neng dalan...", kata pengunjung warung hampir bersamaan.

Tan Fang Bu menaiki kudanya kembali, dan berberpacu mengambil jalan lurus ke selatan, mengarah ke kaki pegunungan Tengger. Atas saran banyak orang dia mengambil jalur ke arah selatan melewati wilayah Kali Anyar terus mengikuti jalan mendaki yang mengular dari dasar lembah. Dia kemudian menjumpai gapura batas desa, dan berbelok ke kiri memasuki jalan setapak. Jalan setapak dari tanah itu mendaki sampai ke alun-alun dusun Banyu Angin.

Tan Fang Bu memasuki dusun Banyu Angin menjelang siang. Kehadirannya menjadi perhatian penduduk dusun terpencil itu. Tan Fang Bu memperhatikan seluruh penduduk dusun rata-rata sudah berusia lanjut. Dia sama sekali tidak melihat laki-laki atau perempuan yang berusia dibawah tiga puluh tahun.

Laki-laki Cina itu turun dari kuda dan menuntunnya melintasi alun-alun dusun. Dia melihat tiga sampai empat orang nenek-nenek duduk-duduk didepan sebuah warung sederhana. Sambil tersenyum, Tan Fang Bu menanyakan arah menuju rumah Kebo Ireng. Dengan tatapan curiga, mereka menunjukkan arahnya. Tan Fang Bu mengucapkan terima kasih sesopan mungkin, dan dia berjalan kaki menuju jalan setapak yang ditunjukkan oleh nenek-nenek tersebut.

"Koko Tan?", terdengar suara lantang Kebo menyebut namanya.

Tan Fang Bu menoleh dan tersenyum saat melihat seorang pemuda kekar berkulit coklat berjalan kearahnya dengan langkah-langkah panjang. Seekor kerbau berbulu hitam kemudian muncul dari balik pekarangan sederet rumah di selatan alun-alun, mengikutinya. Dengan suara lenguhan pendek, hewan besar itu menatapnya. Agaknya si kerbau sudah mengingat dan menghapal bau tubuhnya.

"Wuih... Ono opo sampeyan datang kesini.", katanya pemuda itu dengan riang.

"Piye kabare Bo? Apik...", tanya Tan Fang Bu basa-basi.

"Uapik ko...Koko piye?", pemuda itu balas bertanya.

"Apik Bo...", jawab laki-laki Cina itu.

Fang Yin 1513 - Buku TigaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang