XX. Bertaut - Demak, Tahun 1513

2 2 0
                                    

Hari sudah menjelang Sore. Matahari siang kota Demak yang panas sudah mulai mendingin. Cuaca terik sudah berganti dengan sore hari yang sejuk. Langit biru cerah sudah berubah berwarna jingga. Air pasang mulai naik. Fang Yin dan Kebo alias Bagas sedang berjalan berdua-an menyusuri jalan batu yang membentang disepanjang bibir pantai. Keduanya sedang asyik berbicara, bercengkrama, dan saling menceritakan kehidupan mereka selama tujuh tahun belakangan.

Mereka berdua ternyata sama-sama berusaha memegang dan menepati janji yang sudah mereka buat. Bagas bahkan masih memegang secarik kertas resep obat tulisan Fang Yin. Dan memperlihatkannya kepada gadis itu. Kertas itu meskipun sudah kusam, tetapi masih berbentuk rapi. Tulisan tangan gadis itu-pun masih jelas terlihat. Dengan tatapan haru Fang Yin melihat kertas itu dan mengembalikannya kepada Bagas. Pemuda itu kembali memasukkannya kertas itu kedalam kantung kain miliknya dengan hati-hati.

Fang Yin bercerita, bahwa setelah kedatangan Tan Fang Bu dan dirinya ke dusun Banyu Angin, ayah mereka Syaikh Fen Bu menyetujuinya untuk melanjutkan pendidikannya sebagai Tabib ke Shanghai. Padahal sepanjang yang Fang Yin tahu, ayahnya tidak pernah menyetujuinya untuk menjadi Tabib. Ayahnya menginginkan Fang Yin menjadi seorang pedagang dan kemudian menikah dengan anak salah satu pedagang yang berpengaruh di Nusantara.

Fang Yin dapat mengerti kenapa ayahnya akhirnya mengizinkannya melanjutkan pendidikan sebagai Tabib. Ayahnya ingin memisahkan mereka berdua, karena hanya dengan cara inilah mereka berdua dapat dipisahkan. Selama Fang Yin menempuh pendidikan di Shang Hai, beberapa kali ayahnya datang bersama pemuda-pemuda gagah untuk dijodohkan dengannya. Fang Yin mengakui bahwa ada beberapa orang yang sempat dekat dengannya, bahkan ada seorang pemuda Cina dari Melaka yang sampai datang melamar.

Tetapi apabila setiap laki-laki yang mendekatinya sudah mulai serius, entah kenapa hatinya tiba-tiba mendingin. Bahkan belakangan ini, setelah kepulangannya kembali ke Pasuruan, Fang Yin sudah pasrah dan berniat tidak akan menikah dengan siapapun. Gadis itu sudah bertekad menjalani hidup seorang diri, tanpa menikah dan sudah mempersiapkan langkah kedepannya untuk menjadi Tabib dan membuka praktek pengobatan.

Bagas mendengarkan kisah hidup gadis itu dengan seksama. Apapun kisah hidup yang dialami oleh Fang Yin, sama sekali tidak mempengaruhi perasaan Bagas terhadapnya. Bahkan bila ternyata Fang Yin sudah menikah sekalipun, tidak akan merubah perasaannya. Bagas akan tetap menyampaikan dan membawa resep obatnya kehadapan Fang Yin. Gadis itu adalah cinta pertamanya dan akan selamanya menjadi seperti itu.

Selama ini, Bagas sudah berkali-kali mendatangi rumah Fang Yin untuk memenuhi janjinya, tetapi gadis itu tidak ada disana, dia diberitahu bahwa Fang Yin melanjutkan pendidikannya ke Shang Hai, dan tidak pasti kapan kembali lagi ke Pasuruan. Tetapi Bagas tidak pernah menyerah, dia terus datang ke rumah Fang Yin dengan rutin. Sampai akhirnya ibunya meninggal dunia, dan Bagas memutuskan untuk bergabung dengan tentara kesultanan Demak. Legenda Kebo Ireng dari kaki pegunungan Tengger-pun perlahan-lahan tinggal kenangan. Terlebih lagi, setelah kerbaunya menyusul mati beberapa bulan setelah ibunya wafat.

Dalam masa-masa sulit itupun, Bagas masih menyempatkan diri mengunjungi rumah Fang Yin untuk mengetahui kabarnya dan melunasi janjinya. Bagas mulai tidak bisa rutin datang ke rumah Fang Yin, setelah diterima sebagai anggota pasukan kesultanan Demak, yang mengharuskannya pindah ke kota Demak dari Pasuruan. Hingga akhirnya tiba-tiba siang ini Fang Yin muncul di rumah makan tempatnya biasa berkumpul dengan sesama rekan tentara.

Pertemuan yang sama sekali Bagas tidak duga, pertemuan pada saat harapan sudah menghilang. Pertemuan pada saat dirinya sudah pasrah untuk tidak menikah. Begitulah jalan kehidupan, saat harapan sudah hilang, biasanya kehidupan baru akan bermula, meskipun mungkin hanya untuk sesaat.

Fang Yin menggenggam erat tangan Bagas, dia menarik tangan laki-laki itu dan agar duduk disampingnya. Sambil memandang ujung cakrawala laut Jawa, Fang Yin meletakkan kepalanya dibahu Bagas. Air matanya kembali berlinangan, mengingat kenangan perjuangannya untuk bertemu kembali dengan laki-laki ini.

"Fang fang, sudah, jangan nangis terus. Kamu sudah terlalu banyak menangis hari ini.", kata Bagas sambil membelai rambut gadis cantik itu.

"Mau bagaimana lagi, Bo... Hari ini terlalu banyak hal yang membuat kulo bahagia...", protes Fang Yin lirih...

"Yo wes... Nangis sik, ra po po. Aku hari ini gak kemana-mana dulu. Kulo kancani kowe.", kata Bagas menenangkan.

"Bo...".

"Opo?"

"Kawini aku, Bo..."

Bagas melirik wajah Fang Yin yang bersandar dibahunya.

"Fang fang, aku belum punya apa-apa.", bisik Bagas pelan.

"Aku ora butuh apa-apamu. Aku hanya minta resep obatku.", kata Fang Yin lirih.

"Kapan kamu perlunya?"

"Sekarang..."

Matahari semakin condong ke barat, dan cahayanya perlahan-lahan meredup. Dua manusia yang telah digebuki oleh kehidupan itu duduk saling berangkulan. Dua hati yang luka tercabik-cabik oleh keadaan saling menopang menyembuhkan satu sama lain. Mereka duduk diam dalam sepi, menikmati deburan ombak laut Jawa yang memukul pinggir pantai.

Malam ini, Bagas tidak tidur dibarak, dan Fang Yin tidak tidur dikamar tidurnya. Menyadari bahwa adiknya tidak akan kembali sampai besok pagi, Tan Fang Bu menutup pintu gerbang rumahnya.

"Fang fang, nikmati kebahagianmu. Kamu berhak untuk memperolehnya.", gumamnya pelan.

Fang Yin 1513 - Buku TigaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang