Fang Yin membuka matanya. Penglihatannya masih buram. Dia mencoba bangkit duduk dari rebahnya. Tetapi tampaknya dia ada sesuatu yang mengikat kedua belah tangannya yang membuatnya tidak bisa banyak bergerak. Seperti ada sesuatu yan mengikatnya. Fang Yin mencoba memindahkan kakinya. Tetapi sama dengan kedua tangannya, ada sesuatu yang menyebabkan kakinya juga tidak bisa bergerak bebas. Keningnya berkerut, dia berusaha membebaskan kedua tangan dan kakinya.
Perempuan muda itu menyadari bahwa dirinya terbaring terikat pada sebuah ranjang besi. Sambil mendengus dan mengerang, dia meronta mencoba membebaskan dirinya. Jantungnya berdetak kencang. Dia mulai menyadari keberadaan dirinya. Ingatannya perlahan-lahan mulai pulih. Dengan putus asa dia terus meronta tanpa bisa membebaskan dirinya.
"Sebaiknya kamu diam saja. Tidak ada gunanya meronta-ronta seperti itu.", kata suara seorang perempuan dihadapannya.
Bulu kuduk Fang Yin meremang, dia menatap kearah datangnya suara. Didepan dipannya, tampak dua sosok tubuh sedang mengamatinya. Fang Yin mengejapkan matanya beberapa kali, mencoba memusatkan pandangannya. Mata kanannya dapat merasakan sakit dan pedih yang sangat menusuk. Setiap kali dia mengejapkan matanya, rasa sakit itu seperti pisau tajam membara menusuk rongga matanya. Dia bisa merasakan mata kanannya berair. Fang Yin kembali meronta-ronta sekuat tenaganya. Mengguncang ranjang besinya, dan menimbulkan suara berisik.
"Andini... Sebaiknya saya pecahkan saja kepalanya kalau dia terus membuat keributan disini.", kata seorang laki-laki dengan logat asing.
"Nāo, papai. Chiaki mau dia hidup.", kata suara perempuan itu melarang.
Fang Yin berhenti meronta-ronta. Dia mulai bernapas pelan-pelan. Dia mengingat lagi kejadian terakhir yang terjadi dalam hidupnya. Perlahan-lahan air matanya mengalir. Dadanya terasa sakit sekali. Tebasan katana yang membelah dua tubuh suaminya, seakan-akan juga ikut membelah jantungnya. Sosok perempuan yang sejak tadi mengamatinya dari ujung ruangan mendekatinya, dan masuk kedalam fokus jarak pandangnya. Dia melihat wajah seorang gadis yang memiliki kecantikan khas Tatar Pasundan, mengamatinya dengan tatapan dingin.
"Hmh... Cici tidak usah menangis lagi.", kata gadis yang bernama Andini itu, mencoba menenangkan dirinya.
Lalu dia meraih kain putih yang terlipat rapi dari laci meja kecil yang ada disamping ranjang besinya, dan mengeringkan air mata yang membasahi kedua pipi. Dan mengamati wajahnya. Sambil mendesah, Andini membungkuk dan merapikan bebat yang membelit kepalanya.
"Kamu... ", katanya lirih setelah mengenali wajah gadis tersebut.
"Kenapa kamu menyelamatkan saya...", lanjutnya.
Gadis cantik itu kembali mendesah sambil duduk disamping ranjangnya.
"Sejujurnya... saya ingin membunuhmu", kata Andini pelan, suaranya terdengar ragu.
"Lalu kenapa kamu menyelamatkan saya?", tanya Fang Yin dengan parau.
Kembali gadis cantik itu mendesah.
"Karena dia...", jawab Andini menoleh kearah ranjang lain yang ada disampingnya.
Fang Yin ikut menoleh, dan dia melihat sesosok tubuh tergeletak diam diatas ranjang tersebut. Dia memusatkan fokus pandangannya dan melihat wajah seorang gadis yang terbaring lemah. Dia mengenali wajah gadis itu. Gadis Nihon yang telah membantai banyak prajurit. Wajah gadis yang telah membunuh suaminya dengan dingin. Wajah gadis yang telah ditusuknya dengan pisau. Fang Yin melihat dada gadis itu bergerak teratur naik turun. Dia masih hidup! Api kemarahan kembali timbul didadanya. Dia ingin gadis itu mati. Dia ingin menghujamkan pisaunya berkali-kali ke tubuh gadis itu, dan memastikannya mati.
"Saya mengerti perasaan cici terhadapnya. Tetapi cici tidak bisa marah ke dia... Cici tidak boleh marah kepadanya.", kata gadis cantik yang duduk disampingnya itu sambil menunduk, seakan bisa membaca apa yang ada dipikirannya.
"Tidak! Tidak bisa!", sergah Fang Yin dengan suara serak.
"Dia telah membunuh suami saya!", Fang Yin berteriak.
"Senhora...", tegur suara seorang laki-laki kepadanya.
Fang Yin menoleh kearah sosok laki-laki yang duduknya diseberang ranjangnya. Laki-laki itu berdiri dan mendekati sisi lain ranjangnya. Laki-laki itu berkulit putih kemerahan. Rambut-rambut kasar bertumbuhan diwajah tuanya. Rambut panjang berwarna putih yang menghias kepalanya dibiarkan tergerai berantakan. Tatapan matanya dingin dan berkilat-kilat kejam.
"Dua hari yang lalu kita sedang berperang. Kita adalah dua musuh yang saling bertentangan. Kehilangan dan kematian akibat perang adalah hal menyedihkan yang wajar.", suara dingin laki-laki tua itu membuat bulu kuduk Fang Yin meremang.
Laki-laki itu lalu mencabut sebuah pistol terkul dari pinggangnya, mengokangnya, dan meletakkan larasnya di pelipis Fang Yin. Andini yang duduk disebelahnya melirik tajam ke wajah orang tua itu, ada kilatan marah diwajahnya.
"Kau mungkin tidak menyadari, senhora. Dua hari yang lalu saya sudah meletakkan laras pistol saya diposisi seperti ini.", kata orang tua itu. Telunjuk orang tua itu bergetar saat menyentuh tuas pelatuknya.
"Saya tahu kamu mengerti, bahwa tulang kening adalah tulang paling keras yang ada ditubuh manusia. Dan kalau ini diledakkan, serpihannya akan terasa sangat menyakitkan saat mengoyak otakmu. Kamu akan mati tersiksa selama lima belas detik. Lima belas detik yang saya yakin, kamu tidak ingin mengalaminya sebelum terjun ke neraka". kata laki-laki itu perlahan.
"Papai...Nāo", desis Andini tajam.
Fang Yin menatap wajah laki-laki itu dengan tatapan takut. Dia tahu apa yang dikatakan oleh laki-laki tua itu sangat mungkin benar. Dan nada suaranya yang dingin seperti membangunkan kesadarannya, atas situasi dirinya saat ini. Dia akhirnya menyadari bahwa dirinya beruntung masih diberi kesempatan untuk hidup.
Laki-laki itu mengangkat pistol terkul-nya dan kembali menyarungkannya dipinggang. Lalu dia menegakkan tubuhnya dan melangkah membuka pintu menuju keluar ruangan. Sejenak laki-laki itu menoleh kearah Fang Yin yang terbaring terikat diranjang.
"Senhora, saya tidak membunuhmu karena permintaan kedua anak gadis saya. Dan saya rasa kamu bisa menghormati mereka yang tidak mau kamu mati.", kata laki-laki itu, dengan nada suara yang berubah menjadi lebih ramah, sebelum dia menghilang keluar ruangan.
Fang Yin menghela napas dalam-dalam dan mengalihkan padangan kearah Andini. Gadis cantik itu tampak menghela napas lega.
"Terima kasih...", kata Fang Yin lirih kepada Andini.
Andini menaikkan alis matanya dan menatap lekat-lekat wajah perempuan muda itu. Kemudian sambil mendesah Andini bangkit berdiri dari duduknya ditepi ranjang, dan melangkah menuju pintu keluar, mengikuti laki-laki tua yang sudah terlebih dahulu meninggalkan ruangan.
"Kamu salah kalau berterima kasih ke saya. Sebaiknya kamu sampaikan rasa terima kasihmu ke dia, apabila dia sudah sadar. Karena dia telah melindungimu dan mencegah saya, tepat pada saat saya hendak membunuhmu.", kata gadis Sunda itu sambil menunjuk gadis Nihon yang terbaring diatas ranjang, yang ada samping ranjangnya.
Fang Yin menoleh ke gadis yang tergolek lemah disisinya. Gadis itu akan hidup, tetapi Kebo tidak akan pernah kembali lagi, katanya dalam hati. Lalu gadis Cina itu menatap langit-langit ruangan. Tidak lama kemudian air mata mengalir lagi dari matanya. Fang Yin sekarang sangat membenci dengan yang namanya perang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Fang Yin 1513 - Buku Tiga
Historische Romane"Dalam sebuah surat kepada Alfonso de Albuquerque, dari Cannanore, Fernão Pires de Andrade, Kapten armada yang menghalau Pate Unus, mengatakan: Jung milik Pati Unus adalah yang terbesar yang dilihat oleh orang-orang dari daerah ini. Ia membawa serib...