III. Dusun Banyu Angin - Pasuruan, Tahun 1488

5 2 0
                                    

Rumah berdinding gedék yang terbuat dari anyaman bambu itu terletak di ujung dari sebuah dusun terpencil di wilayah kaki pegununugan Tengger, Jawa bagian Timur. Dusun yang biasa disebut Banyu Angin oleh penduduk sekitar, itu hanya memiliki kurang dari seratus penduduk dan tujuh puluh persennya adalah perempuan diatas usia lima puluhan. Kaum laki-laki dusun tersebut rata-rata hidup merantau dan tinggal di kota Pasuruhan, atau di kota Singhosari yang terletak di sebelah selatannya. Untuk memenuhi kebutuhannya, penduduk di dusun terpencil itu menanam sayur-sayuran dan palawija sebagai sumber makanan dan penghasilan.

Rumah kayu berdinding gedék itu terletak di ujung jalan setapak tanah, jauh dari permukiman warga lainnya. Jalan setapak yang membelah dusun kecil itu mendaki mengarah ke tenggara kaki pegunungan Tengger. Rumah berdiding gedék yang dikelilingi oleh pepohonan rindang tersebut biasanya gelap dan sunyi. Tetapi dini hari pagi itu, terdengar suara tangisan bayi yang berteriak kencang dari balik dinding gedéknya.

Mbah Rejo, tampak terbangun dari tidur nyenyaknya. Telinga tuanya terganggu dengan suara yang tidak lazim. Perempuan tua berusia menjelang enampuluh tahun itu mendengar sayup-sayup suara tangisan bayi. Suara yang tidak lagi pernah dia dengar selama empat musim tanam jagung, sekitar dua tahun lebih. Anak siapa itu yang menangis sedemikian keras. Mungkinkah Puji Purwati yang sedang hamil besar itu telah melahirkan anaknya? Tanya mbah Rejo dalam hati. Dia langsung terpikir kepada seorang perempuan, yang tinggal dirumah kecil, yang berada di jalan setapak paling jauh dari lapangan alun-alun dusun.

Mbah Rejo bangkit dari dipan kayunya, dia mengkhawatirkan keadaan tetangga jauhnya tersebut. Di tahu kalau Puji, panggilan Puji Purwati, tinggal di rumah itu sendirian, tanpa ada seorang-pun yang mendampinginya. Suami perempuan itu tidak pernah berkunjung lagi setelah mengantarkan Puji ke rumah tersebut. Kabar miring beredar di dusun kecil itu, mengenai kedatangan Puji.

Ada yang mengatakan perempuan berwajah manis itu hamil dari seorang petinggi kesultanan Giri Kedaton, dan harus menyembunyikan kehamilannya untuk menghindari rasa malu. Ada juga yang mengatakan bahwa Puji adalah seorang pelacur tanpa kejelasan siapa laki-laki yang telah menghamilinya. Sedangkan Puji sendiri bungkam apabila ditanya siapa ayah dari jabang bayi yang dikandungnya. Dia hanya mengatakan kalau ayah bayi didalam kandungannya adalah seorang pedagang yang sedang pergi merantau jauh ke timur.

Suara tangis bayi yang tak kunjung usai mulai meresahkan mbah Rejo. Perempuan tua itu bangkit dari dipannya. Dia melangkah keluar rumah kayunya dan melihat Ki Alun, seorang laki-laki tua yang bertugas sebagai keamanan dusun, bersama seorang kawannya berjalan dengan cepat melintasi jalan setapak mendaki dari pusat desa. Jelas sekali mereka baru hendak ke rumah Puji yang berdiri diujung jalan itu. Ki Alun berhenti di depan pekarangan rumahnya saat melihat mbah Rejo berdiri didepan teras rumahnya.

"Mbah, Puji sepertinya melahirkan.", seru Ki Alun sambil melambaikan tangannya yang kurus, memanggil mbak Rejo.

Mbah Rejo memicingkan mata tuanya yang belum rabun, menyesuaikan pandangannya sejenak, sebelum mengambil lampu minyak yang tergantung didinding kayu rumahnya, dan berjalan dengan hati-hati menghampiri laki-laki tua itu. "Ada apa Ki?", tanya mbah Rejo.

"Suara bayi menangis itu, mbah juga dengarkah?", tanya laki-laki tua dihadapannya itu.

Mbah Rejo menanggukkan kepalanya tanda dia juga telah mendengar suara tangisan bayi yang berasal dari ujung dusun.

"Puji kayaknya lahiran, mbah. Saya mau melihat keadaannya. Saya minta tolong untuk ditemani, saya kan laki-laki. Tidak paham harus berbuat apa menghadapi perempuan yang melahirkan.", kata Ki Alun menjelaskan.

Mbah Rejo membuka pintu pagarnya dan melangkah keluar pekarangan rumah. Wajah perempuan tua itu terlihat khawatir. Pantas jika Ki Alun kebingungan, sudah lama sekali sejak kali terakhir seorang bayi lahir di dusun ini.

"Ayo, kita naik...", kata mbah Rejo sambil melangkah naik di jalan setapak itu.

Ki Alun mengikuti mbah Rejo setelah terlebih dulu meminta rekannya untuk membangunkan mbah Sukma, seorang nenek mantan dukun beranak yang sudah pensiun.

Mbak Rejo melangkah dengan cepat didampingi Ki Alun menghampiri rumah Puji yang terletak diujung dusun. Jalan setapak yang mendaki itu sangat gelap. Kedua orang tersebut berjalan perlahan dengan hati-hati. Lampu minyak yang mereka bawa setidaknya sangat membantu untuk menyinari jalan setapak tersebut.

Semakin dekat mereka ke lokasi rumah Puji, suara tangis seorang bayi terdengar semakin jelas, memang suara tangisan itu datangnya dari sana. Rumah itu terlihat seperti sebuah siluet yang dilatari langit yang berhiaskan taburan bintang. Cahaya remang-remang lampu minyak tampak dari salah satu jendela kayunya.

Yang mengherankan Ki Alun adalah adanya sesosok bayangan hitam bergerak-gerak di dekat jendela tersebut. Suara lenguhan yang berat kerap terdengar disamping suara jerit tangis bayi. Ki Alun yang mendengar suara lenguhan berat tersebut melambatkan langkahnya, dan mencoba mengamati sumber suara lenguhan tersebut. Ki Alun menatap bayangan hitam dibawah jendela itu dengan tatapan menyelidik. Apa itu?, tanyanya dalam hati.

"Seekor kerbau?", bisiknya pelan.

Mbah Puji mendadak menghentikan langkahnya mendengar bisikan suara Ki Alun. Perempuan tua itu juga menyadari kehadiran hewan tersebut. Sejak kapan Puji memelihara seekor kerbau? Sepanjang pengetahuannya, dia belum pernah melihat perempuan muda itu memelihara kerbau.

Siluet bayangan kerbau itu menyadarkan mereka berdua bahwa tubuh hewan itu sangat besar. Tanduknya yang panjang dan berat tampak mencuat, memamerkan sepasang ujung runcing. Kerbau itu hanya berbaring dibawah jendela, tidak bereaksi selain dari melenguh membalas jerit tangis bayi dari dalam rumah.

"Ayo kita masuk.", saran Ki Alun.

Suara Ki Alun menyadarkan pikiran mbah Rejo, dari keberadaan kerbau besar tersebut, untuk kembali ke tujuan utama mereka semula datang kesana. Mbah Rejo melangkah mendekati pintu depan rumah itu, sementara Ki Alun berteriak memanggil nama Puji. Tidak terdengar jawaban apapun dari dalam rumah, selain dari suara tangisan bayi yang semakin kencang.

Mbah Rejo tidak bisa membuka pintu depan rumah yang ternyata terkunci dari dalam. Berkali-kali perempuan tua itu mencoba mendorong dan menarik pegangan pintunya. Pintu kayu itu tidak bergeming sama sekali. Melihat kesulitan yang dihadapi mbah Rejo, Ki Alun mengambil inisiatif untuk mendobrak pintu kayu tersebut.

"Minggir mbah, biar saya dobrak pintunya.", seru laki-laki tua itu.

Ki Alun mengambil ancang-ancang sebelum berlari dan menghantam pintu kayu itu dengan bahu tuanya. Pintu kayu itu terbuka lebar dangan suara bantingan yang keras. Kayu pengaitnya patah terpental. Tubuh Ki Alun terjerembab wajah terlebih dahulu, ke dalam rumah. Sambil menahan sakit di bahu dan wajahnya yang kurus, Ki Alun bergegas masuk kedalam kamar yang diterangi pendaran cahaya lampu minyak. Mbah Rejo mengikutinya dari belakang.

Didalam kamar itu, Ki Alun dan mbah Rejo menemukan sosok Puji yang tergeletak diam diatas dipan kayu, dengan tubuh bersimbah darah. Dipelukannya terdapat seorang bayi mungil berkelamin laki-laki sedang berteriak menangis. Tubuh mungilnya masih dilapisi lemak dan tali pusatnya masih tersambung ke tubuh ibunya. Mbah Rejo segera memeriksa keadaan Puji. "Syukurlah kamu masih bernapas, Puji", katanya dalam hati.

Dari luar jendela, terdengar lenguhan dalam yang panjang. Kerbau itu masih berada diluar, didepan jendela kamar, seakan-akan menjaga dan mengawasi kelahiran anak itu. 

Fang Yin 1513 - Buku TigaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang