"Bo...", panggil Fang Yin membuyarkan lamunan Bagas yang sedang duduk terkantuk-kantuk di lapaknya.
Didepannya Fang Yin tampak berdiri menatapnya. Bagas membuka mata sambil mengusapkannya beberapa kali, membuang beleknya, dan dengan terburu-buru bangkit berdiri. Astaga, dia tidak menyadari kehadiran Fang Yin hari ini, setelah dua hari yang lalu gadis itu tidak datang untuk mengambil pesanannya.
"Eh... Fang fang... Maaf... kulo... melamun... tadi.", kata Bagas tergagap.
"Sampeyan mbayangno sapa - Kamu membayangkan siapa? Aku cemburu ngerti...", kata Fang Yin sambil pura-pura cemberut.
Wajah Bagas tersenyum lebar melihat gaya Fang Yin cemberut.
"Wes ta' ngomong ojo mrengut kaya ngono. Ora ono gunane, kowe ora elek senajan cemberut - Saya sudah kasih tahu tidak usah merengut seperti itu. Percuma. Kamu tetap cantik meskipun cemberut.", goda Bagas yang tertawa pelan.
Gadis Cina itu hari ini tampak cantik dengan hanfu putihnya. Fang Yin tampak seperti seorang putri Cina yang tersasar ke dalam keramaian pasar. Penampilannya sangat mencolok. Hampir semua orang dipasar memperhatikannya. Beberapa orang di pasar tampak mengenalinya. Putri bungsu Syaikh Fen Bu itu ternyata sangat cantik, begitu kata mereka.
"Pesananku...", kata Fang Yin sambil menyodorkan keranjang besarnya.
Bagas mengambil keranjang besar itu dan mulai menata pesanan Fang Yin kedalamnya.
"Fang fang kemarin lusa tidak datang kenapa? Lara - Sakit?", tanya Bagas sambil memasukkan pesanan gadis itu satu per satu ke dalam keranjang bambunya.
"Iyo..."
"Sakit apa? Aku bisa nemokake tamba - Aku bisa carikan obatnya."
"Atiku lara, nanging aku wis nemokake tamba - Hatiku yang sakit, tetapi aku sudah menemukan obatnya.", kata Fang Yin lirih.
Bagas menoleh, menatap wajah cantik gadis Cina itu. Hatinya sakit kenapa? pikirnya dalam hati. Dia sama sekali tidak mengerti maksud gadis itu.
"Syukurlah kalau sudah dapat obatnya." kata Bagas sambil tersenyum.
Fang Yin tersenyum mendengar jawaban Bagas yang polos. Kemudian Bagas mengembalikan keranjang bambu yang sudah diisi pesanan belanjaan kepada gadis itu. Dia masih menatap Fang Yin khawatir.
"Kabeh piro - Semua berapa?", tanya Fang Yin.
Fang Yin menyodorkan uangnya, dan diterima Bagas. Masih dengan tatapan khawatir, pemuda dusun itu bertanya kembali, "Fang fang, Kowe pancen wis ora lara maneh - Kamu betul sudah tidak sakit lagi?", tanya Bagas polos.
Fang Yin tersenyum sambil mengangguk. Lalu dia memberikan sebuah kertas dengan catatan didalamnya. Bagas menerima kertas itu dan melihat tulisannya. Sambil mendesah, dia menatap wajah gadis tu.
"Fang fang... Nuwun, aku ora bisa maca - Ma'af aku tidak bisa membaca." kata Bagas dengan sedih.
"Sinau to - Belajar lah. Obat lara atiku ditulis ing kono - Obat sakit hatiku ditulis disitu.", kata Fang Yin.
"Mengko yen ngerti tulung gawanen - Nanti kalau sudah tahu, tolong bawakan", lanjut gadis itu sambil tersenyum cantik.
Kemudian gadis itu membalikan tubuhnya dan pergi meninggalkan lapak itu. Dia menoleh sekali lagi kearah Bagas sambil tersenyum. Lesung pipinya semakin mempercantik wajahnya. Bagas membalas tersenyum, dan melihat gadis itu berjalan keluar gerbang pasar.
Bagas duduk kembali diatas dingkliknya. Sambil melihat catatan kertas itu dia mencoba mengerti isinya. Tetapi yang dia lihat hanya tulisan dengan huruf-huruf yang ditulis rapi. Dia akan bertanya kepada orang yang bisa baca, dan mengingat nama obat itu. Lalu dia akan membawakannya untuk Fang Yin.
"Bo...", terdengar suara laki-laki memanggilnya.
Pemuda dusun itu mengangkat kepalnya dan melihat sesosok laki-laki yang baru dikenalnya dua hari lalu. Sambil tersenyum lebar, dia berdiri dari dingklikya.
"Ah... Koko Tan.", sapanya dengan ramah.
Dia menatap laki-laki Cina berpakaian bagus tersebut, dan menunjukkan barang pesanan sepuluh ekor ayam dan sepuluh ekor bebeknya. Tan Fang Bu tersenyum melihat keceriaan pemuda sederhana itu. Pemuda ini sangat lugu, begitu pendapatnya.
"Oh ya Bo... Saya lihat kamu tadi membaca sebuah surat. Saya jadi penasaran apa isinya..", kata Tan Fang Bu perlahan-lahan. Dia ingin melihat reaksinya.
Tan Fang Bu sudah mengamati kedatangan adiknya. Tidak ada hal yang mencurigakan, tetapi dia dapat melihat ketertarikan diantara keduanya. Hanya dia lihat tadi, keduanya masih dalam batasan normal menurut dirinya. Tidak ada norma moral yang mereka lewati. Tetapi kalau melihat gelagat dari sikap adiknya, keduanya dalam waktu dekat bisa menabrak semua aturan dan norma moral yang ada.
Bagas tampak berpikir sejenak sebelum memberikan kertas itu kepada Tan Fang Bu. Tetapi dia sadar bahwa dia tidak akan bisa membaca apa isi kertas itu, dan apa obat untuk sakit Fang Yin. Tan Fang Bu kemudian menerima kertas yang diulurkan kepadanya. Keningnya berkerut setelah membaca tulisan adiknya pada kertas itu. Fang Yin hanya menulis satu kata disurat itu. Kata "Kamu" terlihat sama sekali tidak relevan.
"Maaf, saya tidak bisa membaca... Apa tulisannya?", tanya Bagas penuh harap.
"Bo... Maaf sekali lagi, ini surat apa ini?", kata Tan Fang Bu balik bertanya.
"Itu bukan surat ko. Itu resep obat buat Fang fang", jawab Bagas jujur.
"Resep obat?", tanya laki-laki berpakaian bagus itu sambil memiringkan kepalanya.
"Iya ko. Begini, Fang fang sedang sakit.", jawab pemuda itu.
"Sakit? Sakit apa?"
"Jadi begini ko. Kemarin lusa, Fang fang tidak bisa datang untuk mengambil barang pesanannya. Tadi sewaktu saya tanya kenapa dia tidak bisa datang. Dia kasih tahu kepada saya bahwa dia waktu itu jatuh sakit. Sakit hati katanya..."
"Lalu...?"
"Ya lalu saya tanya obatnya apa? Saya bisa membawakannya, untuk jaga-jaga apabila dia jatuh sakit hati lagi. Kemudian dia kasih resep ini kepada saya. Dia bilang obat sakitnya ditulis dikertas itu. Tetapi saya tidak bisa membaca ko. Fang fang meminta saya belajar membaca, dan berpesan kalau sudah tahu obatnya, saya harus segera membawanya ke dia", jelas Bagas panjang lebar.
Tan Fang Bu tertegun setelah mendengar penjelasan panjang lebar Bagas. Dia dapat mengetahui bahwa pemuda ini benar-benar tulus untuk membantu mencarikan obat. Dan apabila pemuda ini sudah mengetahui apa obatnya. Adiknya meminta dibawakan untuk mengobatinya. Kata-kata bersayap Fang Yin bisa berarti dia minta dilamar oleh pemuda ini bila telah selesai belajar, bila dia sudah bisa membaca resep obatnya. Adiknya ternyata memang benar-benar menyintai pemuda dusun yang sederhana ini.
Fang Yin tampaknya menyadari bahwa pemuda yang berdiri dihadapannya sekarang ini tidak memiliki kebisaan apa-apa. Adiknya memintanya untuk belajar terlebih dulu sebelum melamarnya. Dan menyadari kekeras kepalaan gadis bungsu itu, dia hanya akan menunggu Kebo untuk datang. Tan Fang Bu menarik nafas dalam-dalam setelah mengerti pesan yang tersirat. Dia lalu mengembalikan kertas itu kepada Bagas. Adik bungsunya ternyata jauh lebih dewasa daripada gadis lain seusianya.
"Isinya apa ko?", tanya Bagas penuh harap.
"Bo... Mohon maaf, saya tidak bisa membacanya. Hurufnya saya tidak kenal. Tampaknya Fang fang itu orang yang sangat terpelajar. Dia menggunakan bahasa dan huruf yang halus.", jawab Tan Fang Bu.
"Seperti kromo inggil begitu?", tanya Bagas lagi.
"Ya... Seperti kromo inggil", jawab Tan Fang Bu pelan.
"Wuihh...", gumam Bagas kagum.
KAMU SEDANG MEMBACA
Fang Yin 1513 - Buku Tiga
Historical Fiction"Dalam sebuah surat kepada Alfonso de Albuquerque, dari Cannanore, Fernão Pires de Andrade, Kapten armada yang menghalau Pate Unus, mengatakan: Jung milik Pati Unus adalah yang terbesar yang dilihat oleh orang-orang dari daerah ini. Ia membawa serib...