VI. Nasihat - Pasuruan, tahun 1505

3 2 0
                                    

Bagas duduk bermalas-malasan di depan teras rumahnya. Siang ini seluruh kegiatan rutinnya sudah selesai dilakukan. Kerbau hitamnya tampak berjalan lambat kearah belakang rumah meninggalkannya sendiri di teras. Angin semilir berhembus memanjakannya dengan kesegaran udara kaki pegunungan Tengger yang bersih. Paru-parunya yang sehat menghirup habis kesegaran angin pedesaan yang berhembus tanpa batas itu. Pikirannya mengembara, menembus batasan-batasan ruang dan waktu.

"Bagas...", panggil ibunya dari dalam rumah.

Suara panggilan perempuan, yang sangat dihormati dan dicintainya itu, menariknya pikirannya yang mengembara kembali ke alam realita. Bagas menoleh kearah datangnya suara panggilan ibunya tersebut.

"Ya bu...", jawabnya.

Pemuda bertubuh kekar itu bangkit perlahan dari rebahnya, dan berdiri. Dipaksanya otot pada kedua kakinya untuk melangkah melewati pintu, dan masuk kedalam rumah. Didalam rumah kecil itu, dia melihat seporsi sayur bayam bening, sepiring singkong rebus dan sebakul nasi tersaji diatas tikar. Semua makanan tersebut masih mengepulkan asap, tanda baru saja selesai dimasak. Ibunya duduk bersimpuh didepan susunan hidangan panas itu sambil menyeruput teh panas manis.

"Le, dahar dulu", kata ibunya mengajak makan.

Bagas duduk bersila di hadapan ibunya. Diambilnya piring beling dan sendok yang disediakan oleh ibunya. Dia menyendok nasi dari dalam bakul, dan menaruhnya ke dalam piring belingnya. Kemudian dia menuangkan kuah sayur bayam bening dan mengambil sayurnya, diatas tumpukkan nasi putih. Bau harum kuah sayur yang masih mengepul itu sangat menggugah seleranya. Dengan lahap Bagas menyendok nasi dan kuah sayur bayam itu ke dalam mulutnya. Rasa bumbu kuah sayur terasa sangat enak. Rasa itu seakan-akan menari-nari di ujung lidahnya. Ibunya memang tahu betul cara memanjakan lidahnya.

"Ibu ndak dahar?", tanya Bagas sambil melirik ibunya.

Ibunya lalu mengambil satu sendok nasi putih dari bakul, dan mengambil sayur bayam tersebut. Bagas memperhatikan besar porsi yang diambil ibunya.

"Ibu kok hanya makan sedikit?", tanyanya dengan mulut penuh.

Ibunya hanya tersenyum mendengar pertanyaan anaknya.

"Telan dulu makananmu. Jangan berbicara saat mulutmu penuh. Pamali.", kata ibunya.

"Kamu makannya yang banyak. Ibu makan sedikit saja sudah kenyang", lanjut ibunya.

Bagas mengangguk sambil menelan makanan yang telah dikunyahnya. Dia heran dengan porsi makan ibunya. Ibunya selalu makan dalam porsi yang sedikit. Apakah kenyang? pikir pemuda itu dalam hati. Selama ini dia yang selalu makan dengan porsi yang besar. Dan bahkan dia selalu menghabiskan makanan yang disiapkan oleh ibunya. Ibunya pandai memasak, meskipun hanya sekedar singkong rebus, rasanya pasti nikmat. Tetapi dia tidak pernah melihat ibunya makan banyak. Selalu porsinya sedikit. Apakah ibu sakit? katanya dalam hati mengkhawatirkan kesehatan ibunya.

"Ibu, kenapa ibu makan sedikit sekali? Padahal masakan ibu enak sekali lho. Apakah ibu sedang sakit?", kata Bagas bertanya sambil menyudahi mekannya.

Ibunya hanya tersenyum mendengar pertanyaan anak semata wayangnya. Sambil menggelengkan kepala perempuan itu menjawab. "Ibu tahu masakan ibu enak, tetapi kerja ibu tidak banyak. Jadi ibu makan sedikit saja sudah kenyang. Tapi kalau kamu itu kerjanya banyak, maka harus makan banyak juga supaya kuat untuk bekerja".

Bagas mendengarkan perkataan perempuan itu sambil berfikir.

"Jadi ibu tidak lagi sakit tho?", tanyanya lagi

"Ndak le... Ibu sehat".

"Sungguh?"

"Sungguh"

Ibunya lalu membereskan piring dan gelas bekas mereka makan. Bagas hanya duduk diam. Keningnya berkerut. Ada hal lain yang ia ingin tanyakan kepada ibunya. Hal yang selama ini selalu dipikirkannya.

"Bu... Bagas mau tanya sama ibu.", katanya setelah berpikir.

"Mau tanya apa nak?" sahut ibunya dari belakang rumah.

Bagas lalu berdiri dan berjalan ke belakang rumah mengikuti ibunya. Dia melihat ibunya sedang berjongkok mencuci piring bekas makan mereka. Sambil membantu meletakkan piring bersih yang sudah dicuci ibunya ke atas sebuah rak sederhana, dia bertanya, "Bu... Bagas punya langganan di pasar Pasuruan, namanya Fang Yin, cici Fang Yin..."

Puji tertegun mendengar nama itu disebut.

"Cici? Perempuan...?", tanya ibunya pelan.

"Iya bu. Cici Fang Yin... gadis Cina, kurang lebih seumuran kulo", jawab Bagas sambil mengangguk.

Puji kemudian membetulkan lipatan kain jariknya dan duduk diatas sebuah dingklik. Dengan lembut ia menarik tangan kanan anaknya agar duduk disampingnya. Bagas-pun perlahan-lahan duduk bersila disamping ibunya.

"Coba ceritakan sama ibu. Bagaimana sampai kamu kenal sama cici itu", kata ibunya perlahan-lahan.

Bagas mulai bercerita mengenai Fang Yin, gadis Cina yang cantik itu, kepada ibunya. Bagaimana pertama kali mereka bertemu, dan kebiasaan gadis itu yang selalu membeli semua barang yang dia bawa ke pasar. Pemuda itu juga bercerita tentang kulitnya yang putih seperti pualam. Tentang senyum manisnya dan tentang sepasang lesung pipitnya. Bagas bercerita dengan bersemangat dan matanya terlihat berbinar-binar saat menceritakan pertemuannya dengan gadis Cina itu.

Puji mendengarkan semua cerita dan perkataan anaknya itu dengan seksama. Ada kekhawatiran pada sinar matanya, kekhawatiran seorang ibu yang merasa akan ditinggal oleh anaknya pada suatu hari nanti, walaupun dia tahu suatu saat cepat atau lambat semua ini akan terjadi. Hanya saja dia tidak menyangka semua akan terjadi secepat ini.

Sebenarnya Puji tidak terlalu mempermasalahkan siapa perempuan-pun yang Bagas suka, apabila perempuan itu seorang gadis desa biasa. Dia tidak pernah mengharapkan anaknya jatuh hati kepada anak orang penting di Pasuruan. Tetapi Bagas menyebut nama gadis ini Cici Fang Yin, seorang gadis Cina yang jelas-jelas berasal dari keluarga dengan latar belakang yang berbeda dari mereka. Rata-rata orang Cina di Pasuruan adalah para saudagar kaya. Dan mereka biasanya enggan bergaul dengan orang Jawa biasa, apalagi orang desa seperti mereka.

Tetapi kalau semua yang diceritakan Bagas adalah benar, maka kemungkinan besar cici itu-pun ada ketertarikan kepada putranya. Yang dikhawatirkan olehnya adalah tanggapan pihak keluarga si gadis apabila sampai mereka mengetahuinya. Terlebih bila diantara keduanya benar-benar sampai terjalin ikatan sebuah khusus. Puji tidak mau sampai putranya mengalami penderitaan seperti dirinya dulu.

"Le... Berteman saja terlebih dulu. Jangan terburu-buru. Itu jauh lebih baik.", kata Puji menasihati putranya.

"Maksud ibu, piye?", tanya Bagas tidak mengerti.

Pertanyaan pemuda kekar berkulit coklat itu tidak dijawab oleh ibunya. Puji hanya membelai kepala anaknya dengan lembut. Ia tidak tega kalau anaknya harus mengalami sakitnya patah hati. Perasaan perempuan itu sungguh tajam. Nalurinya sebagai seorang ibu benar-benar akan terjadi. Dan pada suatu hari nanti, putranya benar-benar harus menghadapi kekecewaan yang paling besar dalam hidupnya. Dimasa yang akan datang, Puji akan dihadapkan pada pilihan yang akan menentukan perjalanan hidup anak semata wayangnya.

Bagas termenung setelah mendengarkan kata-kata ibunya. Walaupun dia dapat merasakan keraguan dari nada suaranya, pemuda itu masih belum menyadari maksud dari perkataan ibunya tersebut. Dikepalanya kembali tergambar wajah cantik Fang Yin yang selalu hadir disana. Bayangan wajah yang akan terus bersamanya didalam benaknya.

Fang Yin 1513 - Buku TigaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang