Pada pagi hari ini Bagas terlihat sangat bersemangat. Matahari pagi yang cerah menyinari lereng-lereng pegunungan Tengger, mewarnainya dengan warna keemasan yang cantik. Hari ini ia akan kembali turun ke kota Pasuruan, menjual barang dagangan hasil bumi dari dusunnya. Bagas menaikkan dua keranjang rombong diatas punggung kerbau hitamnya. Setelah itu dia memuat semua singkong dan beberapa butir buah kelapa, yang sudah dibuang dan dibersihkan sabut kulitnya, serta sayur mayur dari kebunnya.
Kemarin Mbah Rejo dan Ki Sahat juga sudah meminta pertolongannya untuk membantu membawa hasil kebun mereka, sekaligus meminta tolong untuk menjualkannya. Sedangkan Ki Roso sudah menyiapkan selusin ayam potongnya. Pagi itu, sambil tersenyum, Bagas seperti biasa meminta do'a dari ibunya agar selamat di perjalanan menuju ke dan kembali dari Pasuruan. Puji membelai pucuk rambut hitam anaknya dan berdo'a untuk keselamatan anak semata wayangnya. Perempuan paruh baya itu dapat melihat wajah anaknya yang terlihat sumringah, dia tahu bahwa hari-hari turun ke Pasuruan adalah saat-saat yang ditunggu Bagas. Saat-saat dimana pemuda itu dapat bertemu dengan Fang Yin, gadis Cina yang selama ini selalu diceritakannya.
Sambil menarik napas panjang, Puji melepas keberangkatan anaknya. "Ojo kesusu, yo lek. Ati-ati. Loro ati kuwi ora enak lan loro banget - Jangan terburu-buru ya nak. Hati-hati. Sakit hati itu tidak enak dan sangat menyakitkan.", katanya didalam hati. Puji terus memandangi Bagas yang berjalan menuruni jalan setapak menuju rumah mbah Rejo. Setelah anaknya menghilang dibalik tikungan, Puji kembali masuk ke dalam rumah. Dia membaringkan tubuhnya diatas tikar dan memejamkan matanya. Dia mau istirahat sebentar sebelum turun ke kebun untuk memanen sisa cabai yang belum sempat dipetik kemarin.
Bagas menghampiri rumah kayu mbah Rejo dan memberi salam sekaligus memberitahu kedatangannya. Perempuan tua yang sudah berusia hampir tujuh puluh tahun itu melongokkan kepalanya dan tersenyum melihat Bagas yang melangkah masuk ke dalam pekarangan depannya. "Anak itu sudah menjadi seorang pemuda yang gagah", Pujinya dalam hati. Mbah Rejo masih mengingat peristiwa tujuh belas tahun yang lalu. Saat dia membantu membersihkan tubuh Bagas yang baru saja dilahirkan. Dia juga melihat kerbau berbulu hitam yang saat itu seakan-akan menjaga kelahiran pemuda itu. Kerbau berbulu hitam itu terlihat semakin tinggi dan semakin besar. Tanduk hitam yang panjang melekung mencuat dari kepalanya yang juga besar.
Meskipun usia kerbau hitam itu sudah cukup tua, tetapi sepertinya hal itu tidak mempengaruhi dirinya. Kerbau itu tetap melangkah dengan ajeg, seberat apapun barang bawaannya. Bagas tersenyum melihat wajah perempuan tua tersebut. Dia menghampirinya ke depan pintu rumah kayunya.
"Mbah, sayurannya mana?", tanya Bagas.
"Iki...", jawab mbah Rejo sambil melangkah gesit membawa dua puluh ikat kacang panjang dan sepuluh ikat daun kangkung. Tanpa ditanya, Bagas membantu mbah Rejo mengangkat seluruh sayuran itu dan meletakkannya ke dalam rombong besar yang ada di punggung kerbaunya.
"Tunggu sebentar Bo, mbah masih punya sedikit gula aren buat kerbaumu", kata mbah Rejo sebelum pemuda itu berjalan keluar pekarangan rumahnya. Mendengar kata 'gula aren', kerbau hitam itu melenguh panjang. Kerbau itu sudah memahami dua suku kata tersebut. Gula aren yang manis adalah camilan kesukaannya. Setelah menunggu sejenak. mbah Rejo keluar rumah lagi sambil membawa sepotong gula aren didalam genggamannya. Perempuan tua itu lalu menyodorkan potongan gula aren tersebut kepada si kerbau. Kerbau itu menghampiri mbah Rejo dan dengan sekali jilat, lidahnya yang besar menarik seluruh gula aren itu kedalam mulutnya.
Suara decak gula aren dilumat oleh deretan geraham terdengar nikmat. Rasa khas manisnya gula aren menambah tenaganya. Sambil mengggoyangkan kepala senang, hewan itu mendengus-dengus . Bagas tersenyum melihat tingkah laku sahabatnya tersebut.
"Matur suwun mbah", kata Bagas berterimakasih kepada mbah Rejo.
"Yo... Ati-ati ing dalan", balas mbah Rejo.
KAMU SEDANG MEMBACA
Fang Yin 1513 - Buku Tiga
Historical Fiction"Dalam sebuah surat kepada Alfonso de Albuquerque, dari Cannanore, Fernão Pires de Andrade, Kapten armada yang menghalau Pate Unus, mengatakan: Jung milik Pati Unus adalah yang terbesar yang dilihat oleh orang-orang dari daerah ini. Ia membawa serib...