IX. Permata - Pasuruan, tahun 1505

3 2 0
                                    

"Ayah bilang dia apa?!", teriak Fang Yin dengan nada melengking tinggi.

"Ayah sebut dia zàng lâoshû?!", sergah Fang Yin masih dengan nada suara yang sama.

Didalam ruangan belajarnya, Fang Yin berdiri kaku menatap wajah kakaknya. Gadis itu menatap wajah kakak laki-lakinya itu lekat-lekat. Terlihat jelas api kemarahan berkobar-kobar dimatanya. Kabut mulai mengambang disepasang mata sipitnya yang cantik. Sudut - sudutnya yang lancip bergetar menahan gejolak emosinya. Tangannya menggenggam maobi - kuas untuk menulis kaligrafi, dengan erat, seakan-akan hendak mematahkannya menjadi dua.

"Fang fang, duduk dulu. Tidak perlu berteriak-teriak seperti itu.", kata kakaknya, Tan Fang Bu.

"Kamu tahukan kalau ayah sudah marah. Nanti semuanya akan semakin susah.", lanjut Tan Fang Bu.

Fang Yin menatap kakaknya dengan pandangan keras kepala. Gadis itu sangat marah kepada ayahnya, ucapan ayahnya kepada laki-laki yang disukainya sungguh sangat melukai perasaan dihatinya. Fang Yin tidak peduli dengan status sosial ayahnya sebagai salah satu orang terpandang di Pasuruan. Dia juga tidak peduli dengan kedudukan ayahnya sebagai salah seorang mubaligh ternama di bagian timur jawa.

Seharusnya seorang mubaligh seperti ayahnya tidak akan memandang orang dari bangsa apa dan darimana keturunannya. Semua manusia adalah sama, dan Tuhan yang maha Agung tidak pernah membeda-bedakan semua manusia. Betapa lancangnya kita sebagai umatNya, membeda-bedakan manusia, sementara yang maha Tinggi sendiri tidak pernah membeda-bedakannya. Ucapan ayahnya sungguh memalukan kedudukannya sebagai seorang mubaligh terkemuka.

"Begitu sucikah kita bangsa Cina ini, sehingga mereka yang bukan orang Cina dirasa tidak layak untuk bergaul dengan kita?", kata Fang Yin tajam kepada kakaknya.

"Kita tidak bisa memilih untuk dilahirkan sebagai apa.", lanjut gadis itu dingin.

Tan Fang Bu hanya berdiri diam. Dia tidak mau berbantahan dengan adiknya. Dia hanya menjalankan tugas dari ayah mereka untuk melarang adik gadisnya bergaul dengan orang yang tidak jelas asal usulnya. Laki-laki Cina itu hanya menarik napas panjang, saat dia melihat adiknya berjalan masuk kedalam kamar tidurnya, membanting pintu kamar dan menguncinya dengan kasar. Lalu gadis itu menghempaskan tubuhnya diatas kasur dipannya, suara derak kayu terdengar keras sampai keluar kamar. Lalu dia benamkan wajanya diatas bantal, dan menangis sesegukkan. Dia merasa malu memiliki seorang ayah seperti ini. Ayahnya bukan mubaligh yang layak untuk dihormati oleh siapapun.

Tan Fang Bu berjalan keluar ruang belajar tersebut. Dengan kening berkerut, dia melangkah menuju dapur, dia harus bertemu dengan Āyí Xiāo Tien. Ada beberapa pertanyaan yang ingin ditanyakan kepada pengurus dapur itu. Keributan yang ditimbulkan oleh Fang Yin tampaknya mempengaruhi suasana rumah besar itu. Suasana rumah besar yang pada awalnya berjalan seperti hari-hari biasa, sekarang terasa muram dan tegang. Semua orang yang berpapasan dengannya terlihat murung.

Tan Fang Bu menemui Xiāo Tien di ruang belakang, perempuan separuh baya itu sedang duduk di bangku panjang bersama beberapa orang pekerja rumah lainnya. Perempuan itu tampak terkejut saat Tan Fang Bu menegurnya dan memintanya untuk mengikutinya. Semua orang yangg ada diruangan itu terdiam dan membuat suasana diruangan itu terasa sangat tidak mengenakkan.

Xiāo Tien lalu mengikuti Tan Fang Bu dengan diawasi oleh beberapa pasang mata pekerja rumah yang ada diruangan tersebut. Keduanya berjalan ke teras halaman samping yang sepi. Kemudian Tan Fang Bu meminta Xiāo Tien untuk duduk diatas sebuah kursi kayu, sementara dia sendiri tetap berdiri. Xiāo Tien duduk dengan pandangan bertanya-tanya. Kegelisahan mendadak menjalar dari kakinya sampai ke ubun-ubun.

"Āyí Xiāo Tien, apa yang Āyí tahu tentang Kebo Ireng yang berjualan sayur di pasar? Dan sudah berapa lama Fang fang mengenalnya?", tanya Tan Fang Bu tanpa berbasa-basi.

Wajah Xiāo Tien tampak terkejut. Dia tidak menyangka akan ditanya secara langsung tanpa tedeng aling-aling oleh laki-laki muda itu. Nada curiga-pun tampak dalam intonasi suaranya.

"Saya kurang tahu berapa lama persisnya, tuan muda. Tetapi saya rasa mereka sudah mengenal cukup lama.", jawab Xiāo Tien dengan wajah kaku.

"Apa saja yang telah mereka lakukan selama ini?", tanya Tan Fang Bu meneruskan.

"Nona muda Fang fang membeli dagangan Kebo Ireng.", jawab Xiāo Tien lurus.

"Hanya itu saja?! Mereka tidak melakukan hal-hal lain yang... memalukan?", tanya laki-laki muda itu terus menekan.

Āyí Xiāo Tien menatap wajah Tan Fang Bu tajam, "Anak muda ini sungguh keterlaluan. Dia pikir nona muda Fang fang itu perempuan seperti apa?!", geram perempuan paruh baya itu dalam hati.

"Tuan muda, sikap nona muda terhadap pemuda dusun yang bernama Kebo Ireng itu, sama atau bahkan jauh lebih baik dari pada sikap Tuan Syaikh Fen Bu saat bertemu Sunan Giri dirumah ini minggu yang lalu", jawab Xiāo Tien sinis dan tajam.

"Keduanya saling menghormati satu sama lain, selayaknya pedagang dan pembeli. Itu yang saya tahu, dan itu juga yang saya kasih tahu kepada tuan Syaikh saat bertanya mengenai hal sama kepada saya kemarin.", sambung Āyí Xiāo Tien.

"Itu saja tuan muda, selebihnya saya rasa tuan muda sudah tahu atau dapat menanyakannya sendiri kepada nona muda.", lanjut Āyí Xiāo Tien tanpa memberi kesempatan bagi Tan Fang Bu untuk bertanya. Kemudian di berdiri dan meninggalkan laki-laki muda itu berdiri sendirian diteras samping rumah besar itu tanpa berkata apa-apa lagi.

"Oh satu lagi tuan muda...", kata Āyí Xiāo Tien sebelum menghilang kedalam rumah.

"Orang yang bernama Kebo Ireng itu memiliki kejujuran yang diatas rata-rata manusia lainnya dimuka bumi ini. Saya yakin jiwanya terbuat dari batu permata yang jauh lebih berharga daripada permata di mahkota kaisar Sung."

Tan Fang Bu tertegun mendengarkan pernyataan gamblang Xiāo Tien. Terasa sekali ada tekanan kemarahan pada nada suara pengurus rumah itu.

Fang Yin 1513 - Buku TigaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang