Thio Bun Lim, seorang Laksamana keturunan Cina yang sudah lama mengabdi kepada Sultan Demak Raden Patah, berdiri di ruang anjungan jung besarnya. Thio Bun Lim bersama dua orang adiknya, Thio San Bo dan Thio Han Lo, dipercayai oleh Adipati Yunus untuk memimpin tiga jung dari armada puluhan jung Jawa yang sedang berlayar menuju Melaka.
Ketiga Thio bersaudara ini merupakan pelaut veteran yang sudah menjelajahi kepulauan Nusantara selama belasan tahun. Ayah mereka, Thio Ban Long, adalah orang kepercayaan Tan Go Hwat, saudagar dan ulama keturunan Cina yang bergelar Syekh Bantong di Gresik. Tan Go Hwat alias Syekh Bantong sendiri adalah kakek Raden Patah dari sisi ibunya. Oleh sebab kedekatan itulah maka Adipati Yunus mempercayai ketiga Thio bersaudara itu untuk memimpin tiga jung dibarisan depan armadanya.
Perwira Cina itu memandangi wilayah disekelilingnya. Jung-nya berlayar dibarisan paling depan dengan diapit oleh dua jung yang masing-masing dipimpin oleh kedua adiknya, Thio San Bo dan Thio Han Lo. Laki-laki Cina bertubuh gempal itu tampak sedang mengawasi peta kulit yang tergelar dihadapannya. Wajahnya tampak serius menatap peta laut itu. Matanya yang sipit, terlihat semakin sipit ketika dia mengkerutkan keningnya. Dia baru saja mendapat laporan dari Hánghâi jiā - Navigator Tan Bu Liem, penanda arah seniornya, mengenai keberadaan posisinya sekarang ini.
Armada besar ini berlayar dengan kecepatan yang sangat lambat. Dia memanggil perwira ketiga-nya, Aria Menjangan, ke anjungan. Perwira ketiganya itu dengan cepat melangkah masuk ke dalam anjungan. Langkahnya yang ringan membuatnya terlihat lincah seperti kijang, sesuai dengan namanya. Perwira ketiga itu menunduk memberi hormat kepada Shàng jiàng - Laksamana Thio Bun Lim. Thio Bun Lim mengangguk membalas hormat Aria Menjangan.
"Wêirèn guān - Perwira Aria... Kira-kira persediaan dan perbekalan kita akan tersisa untuk berapa hari lagi?", tanya Shàng jiàng senior itu kepada bawahannya.
"Masih tersedia untuk lima hari Shàng jiàng.", jawab Aria Menjangan singkat.
"Lima hari?", tanya Thio Bun Lim sambil menatap tajam Aria Menjangan.
"Betul Shàng jiàng.", jawab anak buahnya dengan tegas.
Kening Thio Bun Lim yang sudah penuh kerutan-pun semakin keriput ketika laksamana itu menaikkan ujung-ujung alisnya. Dia mulai menghitung ketersediaan perbekalan dengan jumlah kebutuhannya dan jarak pelabuhan terdekat dimana dia bisa menambah ketersediaan perbekalan. Laki-laki tua itu mengawasi lagi peta kulitnya. Jari telunjuknya yang kurus menyusuri garis yang menadai pergerakan armada mereka dan mencari pelabuhan terdekat. Menghitung jaraknya dan menghitungnya kembali untuk meyakinkan perkiraannya.
Setelah itu dia mulai berhitung dengan kebutuhan per hari awak kapalnya. Tidak... Mereka tidak mungkin bertahan selama lebih dari tiga hari tanpa air. Bagaimana ini? Benaknya sibuk berpikir dan berdebat dengan dirinya sendiri. Aria Menjangan dapat melihat wajah laksamana senior itu berpikir keras, meskipun dia tidak tahu apa yang dipikirkan olehnya.
"Wêirèn guān... Bisa kau hitung lagi kemampuan bertahan kita selama berapa hari, apa bila kita memotong sekitar dua per tiga jatah perbekalan pasukan?", tanya Shàng jiàng Thio Bun Lim.
Aria Menjangan tertegun mendengar pertanyaan Shàng jiàng tersebut. Perwira ketiga itu terdiam. Bagaimana bisa? tanyanya dalam hati. Dia menoleh, menatap wajah Shàng jiàng senior itu pelan-pelan.
"Shàng jiàng?", tanya Aria Menjangan dengan nada ragu.
Thio Bun Lim menganggukkan kepalanya. Lalu dia mendekat kearah perwira ketiga itu. Sambil berbisik, laki-laki tua itu berbicara pelan, "Dengarkan saya...."
"Kita masih memerlukan waktu sekitar empat hari untuk mencapai Melaka. Seandainya semua berjalan sesuai rencana, dan kita berhasil mengalahkan Portugis dalam satu hari, maka kita bisa mendapatkan pasokan untuk perbekalan dari sana. Ingat, bila kita bisa mengalahkan Portugis dalam satu hari.", kata Shàng jiàng Thio Bun Lim.
"Apakah kau yakin, kita bisa mengalahkan armada Portugis yang bisa mengalahkan armada Melaka yang merupakan armada terkuat di Nusantara? Kita saja belum bisa mengalahkan Melaka. Bagaimana dengan melawan Portugis?"
"Tetapi Shàng jiàng, armada kita ini adalah armada terbesar yang pernah apa di Nusantara. Dan kita dipimpin oleh Dipatiunus yang keberaniannya sudah diakui, bahkan oleh sultan sendiri.", desis Wêirèn guān Aria Menjangan mencoba mematahkan pendapat Shàng jiàng senior itu.
"Keberanian tanpa perhitungan adalah kebodohan, Wêirèn guān. Dan kebodohan merupakan gerbang utama menuju kehancuran.", sergah Thio Bun Lim.
"Yang saya dan kamu harus lakukan sekarang adalah, memperhitungkan apabila kita kalah kita tidak hancur. Dengan begitu, kita masih bisa bangkit kembali untuk melawan. Hitung ulang persediaan perbekalan sesuai keinginan saya, dan kembali kesini begitu sudah kamu hitung ulang, secepatnya.", perintah Shàng jiàng Thio Bun Lim tidak mau dibantah lagi.
"Baik Shàng jiàng...", jawab Wêirèn guān Aria Menjangan.
Pemuda itu bergegas keluar anjungan setelah memberikan hormat kepada Shàng jiàng Thio Bun Lim. Langkah kakinya yang melompat-lompat gesit diikuti padangan tajam laksamana senior itu.
"Dasar orang-orang muda... Kamu pikir cukup untuk bertahan hidup dengan modal berani?", desisnya.
Bila armada ini kalah dan gagal dalam misi penyerangan ini, mereka harus berjuang menghadapi kelaparan sebelum dapat memperoleh pasokan perbekalan. Lebih baik mereka mati ketika bertempur daripada harus mati kelaparan, pikir laksamana senior itu dalam hati.
"Dan kenapa jung ini bergerak lambat sekali", gerutunya sambil memukulkan tinjunya keatas meja kayu dihadapannya.
Perwira ketiga Aria Menjangan berjalan menuruni tangga kayu menuju ke gudang kapal yang berlokasi di lantai paling bawah jung itu. Lalu dia mulai bekerja menghitung ulang persediaan perbekalan, dibantu oleh tiga orang anak buahnya. Mereka bekerja dengan cermat dan teliti. Perhitungan awal yang menyatakan persediaan perbekalan kebutuhan pasukan masih mampu untuk mencukupi selama lima hari bertambah menjadi sebelas sampai empat belas hari, setelah dihitung sesuai keinginan Shàng jiàng Thio Bun Lim.
Aria Menjangan berpikir keras kebutuhan apa saja yang hendak dihemat agar fisik dan mental pasukan tidak terganggu oleh rencana penghematan ini. Dia mencoba menghitung ulang dengan perhitungannya sendiri, yang menurutnya lebih manusiawi dibandingkan dari permintaan Shàng jiàng senior itu. Angka delapan sampai sebelas hari muncul dari perhitungannya. Sambil berjalan cepat seperti biasa, Wêirèn guān Aria Menjangan menaiki tangga menuju anjungan dimana Shàng jiàng Thio Bun Lim menunggu hasil perhitungannya.
Dengan cermat, Thio Bun Lim, mempelajari hasil perhitungan yang dilakukan Aria Menjangan, baik yang berdasarkan permintaannya, dan yang berdasarkan perhitungan Wêirèn guān muda itu. Shàng jiàng senior itu kembali melihat petanya, dan memperhitungkan keputusan yang akan dia ambil. Akhirnya setelah berpikir cukup lama, Thio Bun Lim menyetujui perhitungan Aria Menjangan. Dia lalu memberikan hasil perhitungan itu kepada Ali Ahmad, perwira pertamanya, untuk disampaikan kepada seluruh nakhkoda kapal di armada tersebut.
Perintah penghematan-pun dilaksanakan serentak diseluruh kapal, meskipun banyak awak kapal yang tidak menyukai keputusan yang telah diperintahkan oleh Shàng jiàng senior tersebut. Pertempuran pertama melawan diri sendiri sudah harus dihadapi oleh armada Kesultanan Demak empat hari sebelum pertempuran yang sesungguhnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Fang Yin 1513 - Buku Tiga
Fiction Historique"Dalam sebuah surat kepada Alfonso de Albuquerque, dari Cannanore, Fernão Pires de Andrade, Kapten armada yang menghalau Pate Unus, mengatakan: Jung milik Pati Unus adalah yang terbesar yang dilihat oleh orang-orang dari daerah ini. Ia membawa serib...