XXXIV. Rumah - Melaka, April 1513

3 2 0
                                    

Capitão Hugo Fonseca berjalan melintasi jalan berbatu yang dihiasi oleh jejeran lampu sumbu pada kedua sisinya. Tangan kanannya tampak menggenggam sebuah bungkusan kain berwarna hitam. Kapten kapal perang Portugis itu tampak memandangi langit sore kota Melaka yang dihiasi gumpalan awan kelabu. Cahaya jingga sinar matahari memantul pada kumpulan awan tersebut, Warna jingga itu memperkaya keindahan warna langit sore yang biru keabu-abuan.

Beberapa kumpulan angsa dan burung air lainnya membentuk formasi anak panah, terbang melintas diatas kepalanya. Sejenak dia menatap ujung laut selat Malaka yang berkelip keperakan. Beberapa perahu dan kapal nelayan dalam siluet bayangan matahari sore menghiasi laut keperakan teluk Melaka dengan acak. Pemandangan surgawi yang sangat indah.

Sambil menarik napas dalam-dalam, Capitão Hugo Fonseca memandangi keindahan teluk Melaka yang melatari kota pelabuhan Melaka. Capitão Hugo memiliki banyak kenangan di kota ini. Kenangan yang akan terus diingat sepanjang sisa hidupnya. Dia mengingat pertama kali tiba di kota ini. Dia datang dengan pertempuran hebat yang membentuk sejarah kota dijalur lalu lintas perdagangan tersibuk di dunia ini. Baik atau-pun buruk, sejarah telah dia goreskan. Diperjalanan hidupnya yang mendekati akhir usia, dia membuat dan menemukan banyak kenangan. Baik atau-pun buruk, kenangan itu sudah menjadi bagian dari dirinya.

Sambil tersenyum, dia menoleh kearah tujuannya sore ini. Kaki tuanya mulai melangkah lagi, menyusuri jalan batu yang dibangun dengan keahlian insinyur-insinyur eropa yang dipadu ketelitian tukang-tukang batu dari jawa. Langkah-langkah panjangnya berhenti didepan sebidang tanah pekarangan yang rimbun. Pekarangan itu dipenuhi oleh pohon akasia yang tumbuh rendah. Disalah satu sudut pekarangan, tampak sebuah batu besar mencuat dikelilingi rumput manila yang berdaun kecil. Diatas batu itu duduk seorang pelaut tua, ditemani seorang pelaut muda berambut kasar, berwarna merah.

Ditengah-tengah bidang tanah tersebut, berdiri sebuah rumah panggung bergaya Melayu yang mungil. Rumah berdinding kayu itu terlihat bersih dan rapi, sehingga dapat dipastikan yang menempati rumah mungil itu adalah seseorang yang rapi, memiliki kepekaan dan teliti. Penempatan lampu suluh untuk menerangi bagian luar rumah itupun ditata dengan baik.

Capitão Hugo Fonseca melangkah masuk kedalam pekarangan depan rumah mungil itu. Dia menghampiri kedua orang pelaut tersebut dan menyapa, "Como está - Apa kabar Amigo?".

"Muito bem, Muito bem Capitão - Baik kapten", jawab kedua orang tersebut hampir bersamaan.

"Como estāo minhas duas meninas - Bagaimana kabar dua anak gadisku?", tanya Capitão itu lagi.

"Eles estāo bem, Capitão - Mereka baik, kapten.", jawab si rambut merah sambil menyeringai.

"Sim, mereka sudah kembali seperti semula, Capitão.", jawab si pelaut tua. "Chiaki sudah kembali cantik dan Andini... eh... sudah kembali galak".

"Fang Yin?", tanya Capitão itu lagi.

"Aah... Janda muda yang cantik itu? Dia masih suka menangis... ", jawab Luiz sambil berfikir.

Capitão Hugo Fonseca tersenyum dan mengangguk singkat mendengar penjelasan Luiz da Costa. Dia melangkah naik ke tangga teras, setelah melepas sepatu bot-nya terlebih dulu dan meletakkannya disamping sepasang geta. Lalu kapten kapal Portugis itu membuka pintu rumah mungil tersebut.

"Konnichiwa", kata Capitão Hugo Fonseca sambil melongok.

"Irasshaimase", jawab suara Chiaki lemah.

"Irasshaimase, papai", jawab Andini dengan ceria.

Hugo melangkah masuk setelah menutup pintu kayu. Dia melihat Chiaki, terbaring lemah diatas kasur kapuknya. Gadis Nihon itu berusaha menaikkan tubuhnya dan duduk bersandar lemah di dinding kayu kamar tidur. Andini bergegas masuk kedalam kamar dan membantunya duduk.

"Chotto matte, Chiaki-chan", kata Andini sambil membantu Chiaki duduk.

"O suwari kudasai - silahkan duduk, Hugo-sama", kata Chiaki lirih.

Capitão Hugo Fonseca terpana melihat kondisi anak angkatnya yang cantik tersebut. Kapten kapal perang Potugis itu duduk disamping kasur Chiaki.

"Ainda doente - Masih sakit?", tanya Capitão Hugo Fonseca.

"Ainda - masih.", jawab Andini pelan.

"Como está a ferida - Keadaan lukanya bagaimana?", tanya Capitão Hugo sambil berbisik.

"Daijoubu, Hugo - sama", kata gadis itu sebelum Andini sempat menjawabnya.

Chiaki membuka yukata-nya. Gadis itu memperlihatkan luka tusukan didada kanan, tepat bawah payudaranya. Luka itu sudah mengering, tetapi jelas masih lama untuk sembuh sempurna. Gadis itu masih sulit untuk bernapas. Luka dari tusukan pisau itu telah merobek paru-parunya, dan memenuhinya dengan darah. Capitão Hugo Fonseca melihat keadaan Chiaki dengan sedih, apabila luka itu bergeser sedikit saja lebih ke tengah, maka jantungnya akan terkena, dan gadis itu dipastikan sudah kehilangan nyawanya.

Capitão Hugo Fonseca membelai kepala Chiaki dengan lembut. Lalu dia memberikan bungkusan kain hitamnya kepada Chiaki.

"Nani?", tanya gadis itu heran.

"Buka lah", kata Capitão Hugo.

Chiaki membuka bungkusan itu pelan-pelan, mata almond-nya terbelalak melihat sebuah Furisode berwarna merah muda. "Baju untuk seijin shiki!," jeritnya dalam hati.

"Tanjõbi osoku natte gomen ne - Maaf terlambat mengucapkan selamat ulang tahun.", kata Capitão itu pelan.

Sambil memeluk baju itu didadanya, Chiaki menatap wajah Capitão Hugo Fonseca dalam-dalam. Matanya tampak berkabut. Lalu gadis Nihon itu menghambur memeluk laki-laki tua itu. Suara tangis Chiaki pecah memenuhi dinding kayu rumah mungil itu. Gadis itu tidak peduli rasa sakit didadanya akibat luka tusukan pisau yang nyaris merenggut nyawanya. Tangannya menggenggam erat lengan baju Capitão Hugo Fonseca. Disela-sela tangisnya, dengan lirih dia berkata, "Arigatou...Otou-sama"

Diluar, Terceiro Oficial Luiz da Costa dan Centromestre Sandro Gomez, yang mendengar suara tangisan Chiaki, saling bertatapan dengan pandangan bingung.

"Chiaki... Kenapa?", tanya seorang perempuan Cina yang tiba-tiba muncul berdiri diantara mereka.

"Senhora Fang! Merda! Jangan mengagetkan orang seperti ini...", gerutu Luiz da Costa tidak menjawab pertanyaan Fang Yin.

Pelaut tua itu melirik menatap wajah cantik Fang Yin yang agak menyeramkan dengan mata kanan memantulkan cahaya keperakan.

Fang Yin tidak menanggapi gerutuan pelaut tua itu. Dia hanya melanjutkan langkahnya menaiki tangga teras dan masuk ke dalam rumah mungil tersebut. Tangan kanannya membawa sebuah keranjang bambu berisi beragam tanaman obat.

"Amigo. Kira-kira, siapa lagi yang nanti mendapat tugas sebagai bába untuk senhora Fang?", tanya Centromestre Sandro Gomez sambil menyeringai.

"Aku akan dengan senang hati menerima tambahan tugas itu, Amigo", kata Luiz da Costa sambil terkekeh.

"Lebih baik mengurus janda muda yang cantik itu daripada mengurus Andini yang pemarah.", lanjutnya.

"Tetapi... senhora Fang seperti hantu. Nyawa dia hanya tinggal separuh.", gumam Centromestre berambut merah itu.

"Hmm... Ya. Aku tahu Amigo. Aku tahu... dan tidak menjadi halangan untukku. Biarkan aku yang mengisi separuhnya lagi."

"Ahh... Dasar kakek cabul..", kata Centromestre itu dengan seringai yang semakin lebar.

Fang Yin 1513 - Buku TigaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang