Puji Purwati menatap wajah Tan Fang Bu dengan tatapan waspada. Perempuan paruh baya itu mengamati gerak tubuh dan perilaku laki-laki Cina itu dengan seksama. Setelah mengamati perkembangan belakangan ini. Kehidupannya yang sudah selama bertahun-tahun dijalaninya dengan tenang perlahan-lahan mulai berubah. Riak gelombang kecil mulai mengganggu dirinya. Terutama sejak kehadiran seorang gadis Cina yang menginvasi ke dalam kehidupan anaknya, dan akhirnya berimbas kesemua sendi kehidupannya.
Dan saat ini dia melihat seorang pemuda Cina berpakaian bagus, duduk bersila di teras rumahnya. Changsanbiru muda yang dipakainya jelas ditenun dari benang sutera dan tidak dibuat di Jawa. Kualitas bahan yang indah itu jelas memberikan pemberitahuan kepada orang yang memandangnya, bahwa pemakain Changsan itu bukan datang dari kalangan rakyat jelata. Mungkinkah pemuda Cina yang duduk diteras rumah sederhana itu keluarga dari gadis Cina yang bernama Fang fang? Nama yang telah memenuhi isi kepala anaknya belakangan ini. Nama yang telah meracuni dan melumpuhkan otak anaknya tercinta.
"Bu, ini koko Tan. Koko ini pelanggan Bagas dipasar bu.", kata Bagas dengan bersemangat mengenalkan Tan Fang Bu kepada ibunya.
Hatinya hari ini sangat gembira dengan kedatangan Tan Fang Bu. Baru sekali ini seorang pelanggannya jauh-jauh dari Pasuruan datang ke dusunnya. Pasti ada berita penting atau ada pesanan yang banyak kali ini, begitu pikirnya.
"Bagas?", gumam Tan Fang Bu heran.
"Bo... Bagas itu siapa?", sambung Tan Fang Bu bertanya.
"Bagas itu nama asli Kebo, ko...", jawab pemuda dusun itu ringan.
"Nama sebenarnya Kebo itu, Bagas Danu Batara, ko...", jelas Bagas.
Tan Fang bu menganggukkan kepala. Benaknya langsung mencatat nama sebenarnya pemuda dusun yang duduk disampingnya.
Puji keluar dari dalam rumah sambil membawa dua gelas teh tawar dan sepiring singkong rebus. Lalu dia duduk disebelah Bagas. Puji bertekad untuk mengetahui tujuan laki-laki muda berpakaian bagus itu.
"Assalamu'alaikum Bu.", salam Tan Fang Bu saat Puji melangkah keluar ambang pintu rumah.
"Wa'alaikumsalam..." balas Puji dengan heran.
Bagas-pun tertegun mendengar Koko Tan mengucapkan salam. Bagas melirik kearah ibunya begitu menyadari Tan Fang Bu ternyata seorang muslim. Puji hanya tersenyum dan membelai rambut tebal anaknya. Suasana kesunyian karena perkembangan baru tersebut dipecah oleh suara Ki Alun yang memangggil Bagas.
"Bo... Ooo... Sampeyan ada dirumah tho. Ta' pikir dikebun mbah Sarti. Kulo samperi di sana, kowe wes munggah rupanya. Gimana, jadi ndak?", kata Ki Alun dari dari pinggir jalan.
"Wualah... Kulo lupa... Sebentar ta' susul.", jawab Bagas terkejut.
"Duh, iki piye yo... Kulo lupa hari ini mau bantu Ki Alun membersihkan kolam ikannya.", sambung pemuda itu dengan wajah tidak enak kepada Tang Fang Bu.
"Silahkan saja Bo. Saya kesini tidak terburu-buru. Kowe kerjakan saja urusanmu dulu. Saya bisa menunggu disini sambil berbicara ditemani ibumu", kata Tan Fang Bu.
Senyum tipis tampak di wajah Puji. Ah, rupanya laki-laki itu hari ini kesini bukan untuk membeli atau memesan hasil bumi, katanya dalam hati. Ada maksud lain yang dia sembunyikan. Baik, coba kita ikuti permainan ini.
Bagas melompat berdiri dan dengan setengah berlari dia menghampiri Ki Alun. Keduanya tampak bercakap-cakap sebentar sebelum berjalan menuruni jalan setapak ke arah rumah Ki Alun.
Tan Fang Bu menunduk terdiam, sedangkan Puji menatap wajah pemuda Cina itu dan memperhatikan semua gerak tubuhnya. Keduanya duduk diam dalam suasana canggung. Selama engkau diam, kau tidak akan memperoleh apa-apa anak muda, kata Puji dalam hati. Agaknya Tan Fang Bu sangat menyadari sikap defensif Puji. Sejenak dia menarik napas panjang, sebelum membuka percakapan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Fang Yin 1513 - Buku Tiga
Historical Fiction"Dalam sebuah surat kepada Alfonso de Albuquerque, dari Cannanore, Fernão Pires de Andrade, Kapten armada yang menghalau Pate Unus, mengatakan: Jung milik Pati Unus adalah yang terbesar yang dilihat oleh orang-orang dari daerah ini. Ia membawa serib...