Hari itu sungguh terik, matahari membakar kulit. Para pengunjung pasar Pasuruan kebanyakan menggunakan payung untuk mengurangi tusukan sinar matahari hari ini yang menyakiti kulit. Sama seperti situasi hari-hari lainnya, dagangan Bagas sudah hampir habis sebelum ia sampai dilapaknya. Pemuda itu kemudian menata barang dagangan di lapaknya yang belum terjual, dan menunggu pembeli lainnya, sampai dagangannya habis.
Dan seperti hari-hari sebelumnya, dia menunggu Fang Yin yang telah memesan beberapa ekor ayam potong, beberapa kantung gula aren dan beberapa ikat sayur mayur. Tetapi hari ini, Fang Yin tidak nampak batang hidungnya. Alih-alih gadis itu yang datang menemuinya, hari ini adalah Āyí Xiāo Tien, perempuan paruh baya pengurus rumahnya. Perempuan Cina itu mengambil pesanan Fang Yin dan membayar barang belanjaan yang sudah dipesan oleh gadis itu.
"Āyí Xiāo Tien, Fang fang hari ini kenapa tidak datang?", tanya Bagas heran saat di menyorongkan keranjang besar yang telah diisi olehnya.
"Apakah dia sedang sakit?", lanjut Bagas.
"Bo..., masih ada barang apa lagi?", tanya Xiāo Tien, dia sama sekali tidak menjawab pertanyaan Bagas.
"Eh..., maaf Āyí, semua sudah habis. Ini semua pesanan orang."
Xiāo Tien hanya mengangguk tanda mengerti. Lalu dia mengulurkan tangannya memberikan secarik kertas kepada pemuda itu. Bagas menerima kertas itu dan melihat huruf-huruf tulisan dengan kening berkerut. Huruf-huruf itu ditulis dengan tulisan kecil yang tersusun rapi.
"Maaf Āyí, ini apa?", tanya Bagas sopan.
"Pesanan belanjaan lagi dari nona muda Fang fang." jawab Xiāo Tien.
"Eh... maaf. Saya tidak mengerti... Bisa tolong dibacakan. Saya tidak bisa membaca Āyí...", kata Bagas pelan sambil menunduk malu. Xiāo Tien mengangkat ujung kedua alis matanya yang tipis. Dia lalu mengambil kembali kertas pesanan itu dan membaca tulisannya. "Tentu saja anak ini tidak bisa membaca. Dia buta huruf!", gumam Xiāo Tien dalam hati.
Perempuan Cina peruh baya itu kemudian membaca pesanan Fang Yin yang tertulis dikertas itu. Bagas mengingatnya seperti yang selama ini biasa dia lakukan. Pemuda itu mengingat semua pesanan Fang Yin yang dibacakan Xiāo Tien.
"Sudah hafal?", tanya Xiāo Tien kepada Bagas.
Pemuda itu mengangguk sambil tersenyum lebar. Xiāo Tien membalas senyum Bagas sambil kembali menyorongkan catatan yang berisi daftar belanjaan itu kepada pemuda Jawa itu. Bagas menerimanya lagi dengan bingung. Untuk apa dikasihkan kembali kertas itu kepadanya, dia tidak bisa membacanya dan mengerti apapun isinya. "Cici ini aneh", katanya dalam hati.
"Bo, ini ditulis sendiri oleh nona muda Fang fang untuk diberikan kepadamu. Jadi ini milikmu.", kata Xiāo Tien seakan-akan pengurus rumah itu mampu membaca pikirannya.
Pemuda itu meraih kembali selembar kertas catatan itu dengan ekspresi yang bercampur aduk. Xiāo Tien melihat wajah lugu pemuda dusun ini dengan tatapan sedih bercampur kasihan. Anak ini benar-benar baik dan lugu. Tidak heran apabila nona muda Fang Yin tertarik dengannya.
"Bo... Saya permisi dulu.", kata Xiāo Tien sambil membungkuk.
Bagas juga ikut membungkuk membalas pamit perempuan Cina itu. Setelah itu Xiāo Tien membuka payungnya dan melangkah menjauh. Bagas menatap perempuan itu berjalan menjauh dan menghilang berbaur ditengah-tengah pengunjung pasar. Ujung payung birunya terlihat bergerak menuju gerbang pasar dan berbelok kekiri.
Pemuda itu duduk kembali dia atas dingklik kayunya, menunggu pelanggan berikut yang sudah memesan dua ekor ayam dan setumpuk sayuran. Beberapa kali dia terpaksa menolak orang yang hendak membeli belanjaannya, karena semua barang yang tersisa sudah dipesan pelanggannya.
Sambil menunggu pelanggannya mengambil pesanan, Dia membuka kertas catatan pesanan Fang Yin. Terlihat tulisan tangannya yang rapi dengan huruf kecil-kecil yang tidak bisa dibaca olehnya. Tulisan ini untuknya, begitu kata Āyí Xiāo Tien tadi. Baru kali ini dia menerima sesuatu dari Fang Yin yang dibuat langsung untuknya, meskipun hanya sekedar catatan daftar belanja. Sambil tersenyum-senyum sendiri, Bagas melipat kertas catatan itu dan melipatnya dengan rapi. Kemudian dia meraih kantung kain yang berisi koin kepeng dari balik saku bajunya, dan menaruh catatan itu kedalamnya dengan hati-hati. Secarik kertas itu adalah satu-satunya benda berharga yang dia miliki.
Xiāo Tien berjalan dengan langkah pelan dan teratur menuju sebuah rumah besar dengan atap bergaya Tiongkok. Perempuan paruh baya itu menuju sebuah pintu kayu berwarna coklat gelap yang berlokasi ditembok belakang. Pintu yang khusus diperuntukkan bagi para pengurus, bukan pintu utama yang biasa digunakan para tamu atau keluarga.
Xiāo Tien mendorong pintu kayu itu dan melangkah masuk. Setelah berada di dalam pekarangan belakang rumah, dia menutup kembali pintu kayu itu, mengaitkan kayu kuncinya, dan berjalan melalui jalan batu menuju ruang belakang yang luas. Ruang belakang, yang biasanya selalu ramai oleh para pengurus rumah, itu kali ini tampak sepi, tidak ada seorang-pun yang berada disana.
Setelah melipat payung biru yang digunakan untuk melindungi kulitnya dari terpaan deras cahaya matahari, Xiāo Tien mengeluarkan semua barang belanjaan yang dibawanya dari pasar satu per satu. Tiba-tiba dari belakangnya terdengar suara Fang Yin menyapanya, "Āyí Xiāo Tien, sudah kembali dari pasar?".
Perempuan itu menoleh, dan melihat Fang Yin berdiri di ambang pintu masuk ruang belakang. Kedua mata gadis cantik itu tampak sembab karena tangis. Matanya yang sipit jadi semakin sipit. Jejak air mata masih terlihat jelas dipipinya yang halus. Xiāo Tien hanya mengangguk meneruskan kegiatan menata barang belanjaan.
Fang Yin mendekati Xiāo Tien dan duduk pada sebuah bangku kayu yang ada diruangan itu, mengamati kegiatan Xiāo Tien menata barang hasil belanja pada rak-rak kayu.
"Kabar Kebo bagaimana?", tanya gadis itu dengan suara parau.
"Dia baik-baik saja nona muda. Dia juga menanyakan kabar nona. Dia khawatir nona Fang jatuh sakit.", jawabXiāo Tien sambil meletakkan tumpukkan jamur kedalam sebuah bakul bambu.
"Tidak mungkin aku bisa bertemu dengannya dalam keadaan seperti ini...", kata Fang Yin parau. Xiāo Tien hanya menanggapi perkataan Fang Yin dengan tersenyum simpul.
"Pesananku sudah disampaikan ke dia?", tanya Fang Yin lagi.
"Sudah, nona Fang", jawab Xiāo Tien. Lalu dengan cepat dia melanjutkan, "Tapi apakah nona Fang tahu kalau Kebo itu tidak bisa membaca?"
"Aku tahu Āyí.", jawab gadis itu lirih.
"Lalu, kenapa nona mau memberikannya kepada Kebo?", tanya Xiāo Tien heran.
"Supaya dia tahu, bahwa apapun yang terjadi. Ada bagian dari diriku selalu bersama dengannya." jawab Fang Yin lirih.
Xiāo Tien tertegun sejenak sebelum menoleh kearah Fang Yin. Dilihatnya wajah cantik perempuan muda itu. Wajah yang memancarkan ekspresi kerinduan. Ekspresi Fang Yin seperti pisau yang menikam jantung dan menghentikan degupannya. Ekspresi wajah gadis cantik itu mencerminkan seseorang yang sedang jatuh kedalam jurang perasaan terdalam tanpa bisa bangkit keluar lagi.
"Ya Tuhan, nona muda Fang..."
KAMU SEDANG MEMBACA
Fang Yin 1513 - Buku Tiga
Tarihi Kurgu"Dalam sebuah surat kepada Alfonso de Albuquerque, dari Cannanore, Fernão Pires de Andrade, Kapten armada yang menghalau Pate Unus, mengatakan: Jung milik Pati Unus adalah yang terbesar yang dilihat oleh orang-orang dari daerah ini. Ia membawa serib...