VIII. Zàng Lâoshû - Pasuruan, tahun 1505

3 2 0
                                    

Fang Yin duduk serius di belakang meja tulisnya. Hanfu biru pupus yang dikenakannya membuatnya terlihat sangat cantik. Dia tampak serius sedang menggunakan maobi - kuasnya, melukis shufa - kaligrafi dalam huruf tradisional Cina yang rumit. Setiap sore hari sampai menjelang matahari terbenam, gadis itu belajar dan berlatih menulis Hanzi - aksara Cina. Kemampuannya akhir-akhir ini meningkat pesat, terutama untuk topik puisi cinta dan kasih sayang. Meningkatnya kemampuan Fang Yin menarik perhatian ayahnya, Tan Chi Fen, seorang saudagar kaya raya, sekaligus mubaligh dari cina yang bergelar Syaikh Fen Bu.

Putri bungsu satu-satunya dari enam bersaudara Tan ini merupakan anak kesayangan keluarga mubaligh tersebut. Pesatnya kemampuan Fang Yin dalam bidang shufa ini membanggakan Tan Chi Fen, tetapi sekaligus juga mengkhawatirkannya. Puisi-puisi cinta yang dilukis gadis itu sangat indah dan semua memiliki makna yang dalam. Perubahan perilaku gadis cantik itu-pun tidak luput dari pengawasan sang ayah. Fang Yin sekarang menjadi sangat pendiam, baik terhadap ayah dan ibunya, maupun terhadap kelima kakak-kakaknya.

Syaikh Fen Bu sepintas sudah mendengar berita tentang kebiasaan rutin putrinya berbelanja di pasar Pasuruan. Tidak ada yang aneh dalam hal itu. Fang fang-pun selalu ditemani oleh pengurus rumahnya setiap kali belanja keluar rumah. Anak perempuan itu sepertinya menyadari bahwa, seorang mubalig tidak pernah keluar rumah sendirian, walaupun sekedar belanja ke pasar.

Maka kabar mengenai kebiasaan Fang Yin berbelanja di pasar Pasuruan, dengan hanya membeli kebutuhan rumah keluarga Syaikh Fen Bu ke satu orang penjual, menjadi sangat menarik perhatiannya. Kenapa Fang fang hanya membeli ke satu orang penjual saja, tidak pernah kepada penjual lainnya. Meskipun penjual yang bernama Kebo Ireng itu-pun sangat dikenal di Pasuruan karena kebaikannya, dan pemuda dari dusun Banyu Angin itu terkenal jujur serta ringan tangan. Tetap saja hal tersebut tidak lazim.

Meskipun pemuda Jawa itu terkenal akan kebaikannya, tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa dia hanya berlatar belakang rakyat jelata biasa. Bukan berasal dari keluarga saudagar apalagi bangsawan. Dia hanya seorang pemuda dusun yang miskin. Tidak ada kelebihan lain dari pemuda itu yang menurutnya dapat disejajarkan dengan putri kesayangannya dan Syaikh Fan Bu, seorang saudagar kaya dan mubaligh di Pasuruan, sudah pasti tidak akan mau anak kesayangannya bergaul dengan pemuda Jawa yang miskin tersebut.

Fang Yin-pun sebenarnya juga sudah dapat menduga akan seperti apa pandangan ayahnya dan apa yang akan dilakukan oleh keluarganya, apabila mengetahui perasaan hatinya kepada pemuda Jawa yang lugu tersebut. Pemuda Jawa itu memang bukan seorang laki-laki yang gagah rupawan. Wajahnya seperti wajah orang Jawa pada umumnya. Bermata bulat, berhidung pesek, deretan gigi yang tidak rata dan ditambah kulit coklatnya yang mengeluarkan bau matahari yang kuat. Tetapi entah bagaimana, dia bisa tertarik dengan pemuda miskin tersebut. Meskipun baik secara fisik dan dalam hal materi, pemuda Jawa yang dipanggil Kebo Ireng itu, tidak ada yang dapat dibanggakan.

Tetapi Fang Yin dapat merasakan dan mengetahui ada satu hal yang tidak akan dijumpai oleh para pemuda gagah rupawan lain yang pernah dijumpainya. Pemuda dusun yang sederhana itu memiliki senyum tulus. Senyum yang hanya dimiliki oleh pemuda dusun tersebut. Senyum tulus yang tidak pernah ditemuinya pada semua laki-laki rupawan yang dikenalnya. Dan Fang Yin yakin bahwa senyum tulus Kebo Ireng-lah yang telah merebut hatinya, membuatnya sangat tertarik dan ingin mengenal pemuda itu lebih dalam.

Syaikh Fen Bu memanggil salah satu dari kelima anak laki-lakinya, Tan Fang Bu, anak nomor empatnyanya yang masih belum berkeluarga. Tan Fang Bu datang ke ruang kerja ayahnya. Dia dapat melihat ayahnya sedang duduk dibelakang meja kerjanya. Kertas-kertas berbagai ukuran bertumpukan diatas meja kayu jati yang berukuran besar. Kertas bertuliskan angka-angka yang bertumpukkan tampak jelas mendominasi kertas-kertas tersebut.

Dibelakang ayahnya itu, tampak sebuah lemari buku besar yang berisi buku-buku terjemahan dan tafsir Al Quran dalam berbagai bahasa yang berjejer rapi pada setiap raknya. Tan Fang Bu berdiri sejenak sebelum dipersilahkan duduk oleh ayahnya pada sebuah kursi kayu dihadapan meja jati yang besar itu. Ayahnya melirik anaknya yang duduk didepannya dan menghela napas panjang sebelum berbicara.

"Anakku, kau tahu kenapa ayah memanggilmu kesini?", tanya Syaikh berambut putih tersebut.

"Tidak tahu ayah...", jawab laki-laki itu pendek.

"Ada apa sehingga ayah memanggil saya kesini?", lanjut Tan Fang Bu menyambung perkataannya sambil bertanya.

"Kamu sudah mendengar kabar mengenai adik bungsumu, Fang fang?", Syaikh Fen Bu balik bertanya.

"Mohon maaf ayah, saya belum mendengar berita apa-apa mengenai Fang fang. Saya sedang sibuk mengerjakann permintaan dua buah jung dari kesultanan Demak. Satu jung sudah memasuki masa tenggat untuk penyelesaiannya, sedangkan satu lagi sudah memulai tahap pembangunan.", jawab Tan Fang Bu.

Syaikh Fen Bu menatap wajah anaknya dan mengangguk pelan. Dia memahami kesibukan anaknya.Dari kelima putranya, dua orang putra tertuanya sudah menikah dan sedang disibukkan oleh urusan rumah tangga mereka,lalu putra ketiganya bekerja sebagai kepala salah satu pasukan kesultanan Demak, dan tinggal di Demak. Sementara putra kelimanya sedang pergi berlayar ke Makassar untuk urusan dagang dengan salah satu saudagar disana. Yang masih tinggal dan menetap dirumahnya adalah putra keempatnya ini, Tan Fang Bu, yang ada didepannya sekarang ini, sedang sibuk membangun dua buah jung permintaan kesultanan Demak.

"Kau bisa tolong ayah untuk mengawasi adikmu bergaul?", tanya ayahnya.

Sebenarnya itu bukan sebuah pertanyaan, tetapi lebih kepada suatu perintah yang harus dilakukannya. Tetapi perintah itu terdengar aneh bagi kedua telinganya. Perintah untuk mengawasi adiknya? Ada apakah dengan adik perempuan kesayangan mereka itu?, tanyanya di dalam pikiran.

"Ayah mendengar adikmu bergaul dengan seorang Zàng Lâoshû - tikus kotor dari Jawa.", kata ayahnya perlahan.

Tan Fang Bu menatap ayahnya tajam. Tidak biasanya ayahnya seperti ini. Apakah ayahnya sudah lupa bahwa dia seorang syaikh, seorang mubaligh. Tidak sepantasnya dia berbicara seperti itu, bahkan didepan anaknya sendiri. Sambil menegakkan tubuhnya, anak keempat itu bertanya dengan heran, "Maksud ayah jelasnya seperti apa?"

"Adikmu sepertinya memiliki hubungan kedekatan dengan seekor Zàng Lâoshû - tikus kotor.", jawab ayahnya pelan.

"Ah... Dimana orang itu biasa bertemu dengan Fang fang?", tanya Tan Fang Bu.

"Dipasar Pasuruan. Zàng Lâoshû - tikus kotor itu berdagang disana. Fang fang biasa bertemu dengannya disana", jawab Syaikh Fen Bu.

"Maaf,ayah. Ayah dapat informasi itu dari siapa?", tanya Tan Fang Bu lagi.

"Dari Xiāo Tien.", kata ayahnya menyebutkan nama seorang pengurus rumah Tan Chi Fen.

"Ah... Āyí Xiāo Tien..", gumam anaknya mengerti dari mana informasi itu sampai diketahui oleh ayahnya.

"Baik, saya akan urus masalah ini.", sambung Tan Fang Bu lagi.

"Kau urus benar-benar masalah ini A Bu, ayah dan ibu tidak mau ada seekor zàng lâoshû hadir didalam rumah ini.", kata Syaikh Fen Bu perlahan, mengakhiri pembicaraan mereka. Syaikh itu sudah kembali sibuk dengan angka-angka pada tumpukkan kertas diatas meja kerjanya.

Tan Fang Bu menganggukkan kepala tanda dia mengerti. Pemuda itu bangkit berdiri dan melangkah keluar ruangan kerja itu dibawah tatapan tajam ayahnya.

"Apa yang telah kau lakukan Fang fang...", keluh pemuda Cina itu dalam hati.

Fang Yin 1513 - Buku TigaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang