IV. Dusun Banyu Angin - Pasuruan, Tahun 1494 - 1500

2 2 0
                                    

Bagas berlari riang diteras rumahnya. Anak berusia enam tahun itu tertawa-tawa cekakan saat ibunya berlari-lari kecil mencoba menangkapnya. Anak itu menggeliat dan berputar-putar mengelilingi tiang-tiang teras rumah sederhana berdinding gedék itu. Meskipun sangat sederhana, rumah dan pekarangannya terlihat bersih dan rapi. Sepetak kebun di belakang rumah gedék itu ditanami dengan jagung dan singkong. Sedangkan dua buah popon kelapa yang rendah tertanam di pojok halaman depan. Pagar dari bambu disusun dan dijalin mengitari pekarangan, menandai batas-batas wilayahnya.

Seekor kerbau berbulu hitam legam tampak merebahkan tubuhnya di halaman depan. Puji Purwati tidak mengetahui kerbau itu milik siapa. Yang dia tahu hanya sebatas kedatangan kerbau itu pada saat kelahiran Bagas Danu Batara, putranya. Dan sejak saat itu, kerbau ini tinggal bersama mereka. Menemani ibu anak itu menjalani kehidupan kesehariannya. Puji tidak sekalipun pernah berpikiran untuk menjualnya. Dia menganggap kehadiran kerbau itu sebagai penolak bala dalam hidupnya. Dan menariknya, kerbau hitam itu tidak pernah terlihat membuang kotorannya atau bahkan kencing sekalipun dihalaman rumah.

Puji tidak pernah memberinya makan dan tidak pernah meminta pertolongan seorang-pun untuk merawatnya. Hewan itu bisa berjalan sendiri untuk memakan rumput yang tumbuh subur disekitar wilayah itu, dan kembali lagi setelah selesai ke rumahnya. Puji hanya sekali meminta pertolongan Ki Alun untuk membuatkan kandang sederhana bagi kerbau berbulu hitam itu, untuk sekedar melindunginya dari hujan dan udara malam yang dingin. Dan kerbau itu tanpa diperintah, seakan-akan tahu, selalu masuk kedalam kandangnya diwaktu malam dan keluar kembali merebahkan diri dipekarangan depan.

Kerbau itu akhirnya menjadi teman bermain Bagas setiap hari. Anak itu senang menaiki tubuh besarnya dan duduk diatas kepalanya yang besar sambil tertawa-tawa riang. Hewan besar itu hanya melenguh pelan apabila Bagas tidak sengaja menyakitinya.

Kehadiran seekor kerbau hitam itu sudah tidak aneh lagi bagi warga dusun. Mereka-pun sudah menganggap hewan itu sebagai bagian dari mereka, sebagai salah satu penduduk dusun Banyu Angin yang terpencil. Julukan Dusun Kebo Ireng-pun menjadi sebutan umum masyarakat. Dan Bagas-pun lebih populer dengan panggilan Kebo Ireng dibanding dengan nama sebenarnya.

Kehidupan pedesaan yang tenteram, mengisi hari-hari Bagas dan membentuk karakternya. Pergaulannya dengan orang-orang dusun yang didominasi oleh jauh lebih tua membentuk dirinya menjadi seorang anak yang berpikiran dewasa. Kehidupan alam pedesaan yang ia jalani juga membentuk tubuhnya. Anak itu memiliki tubuh yang kuat dan sehat. Sinar matahari yang terik membakar kulitnya menjadi kecoklatan. Kebiasaannya membantu orang-orang dusun dalam kegiatan bertani sehari-hari dan bermain-main dengan kerbau hitamnya, menguatkan otot-otot tubuhnya.

Sore itu, Bagas sedang berjalan mendaki jalan setapak kembali kearah rumahnya. Setelah membantu Ki Alun membawakan potongan kayu kamper yang banyak tumbuh di wilayah tersebut. Dan seperti biasa, Bagas menerima upahnya berupa sayur mayur dari kebun Ki Alun. Selain sayur mayur, kali ini Ki Alun menambahkan empat ekor ikan mas berukuran sedang. Tambahan yang pasti akan membuat ibunya senang. Malam ini akan ada ikan goreng sebagai lauk tambahan selain dari lauk sayur mayur yang biasa dimasak ibunya. Tambahan ikan mas itu sangat dia hargai. Berkali-kali Bagas mengucapkan terima kasih kepada Ki Alun, sebelum berjalan kembali pulang.

Terbayang dibenaknya masakan ikan goreng buatan ibunya. Bau harum ikan goreng seakan-akan sudah menguar dari ikan mas yang bahkan masih mentah. Nasi panas, sayur bayam bening dan empat ekor ikan mas goreng. Sebuah makan malam yang sempurna, begitu pikirnya.

Dibelakangnya, seekor kerbau berbulu hitam pekat yang selalu menemaninya, berjalan mengikutinya sambil sesekali melenguh. Beberapa kali kerbau hitam itu menyentuh tengkuk Bagas dengan moncongnya. Kelakuan kerbau itu mengendus tengkuknya sudah menjadi kebiasannya bila mencari perhatian remaja itu.

Sambil tersenyum, Bagas mengusap moncong kerbau besar itu dan menggaruk-garuk keningnya. Kerbau itu tampak menikmati garukan yang dilakukan oleh Bagas. Sambil mendengus pendek, kerbau itu memiringkan kepalanya. Tanduknya yang panjang terlihat begitu mengagumkan dan mengerikan. Mahluk apapun yang diseruduknya dipatikan akan mengalami nasib nahas.

"Bo.. Kebo...", panggil seorang nenek kepada Bagas.

Remaja itu menoleh kearah seorang perempuan tua yang memanggil namanya. Senyum lebar menghiasi wajah lugu remaja tanggung itu.

"Ya mbah Sarti, ada apa?" tanya Bagas kepada nenek tersebut.

Perempuan itu tampak tersenyum memamerkan gusi tanpa giginya. Tubuh tuanya yang kurus melangkah gemetar. Rambut tipis yang diikat dikepalanya semua sudah berubah putih. Kain jarik berwarna coklat lusuh membungkus tubuhnya. Nenek itu mendekati Bagas dengan langkah tertatih-tatih. Tubuhnya yang kurus melengkung seperti seekor udang windu masuk penggorengan.

"Bo.. Mbah mau minta tolong.", katanya terbata-bata.

Bagas-pun berjalan mengiringi langkah kaki tua itu, menyamakan kecepatannnya. Kerbau hitamnya berjalan lambat mengikuti dibelakangnya.

"Boleh mbah...", balas Bagas sambil tetap tersenyum.

"Besok pagi, nak Kebo ada kegiatan atau tidak?", tanya mbah Sarti.

"Selepas saya menyiram kebun, saya tidak ada kegiatan mbah. Bagaimana?", kata Bagas balik bertanya.

"Syukurlah... Eee begini, Bo... Mbah minta tolong kamu untuk menebang pohon sengon yang ada dihalaman rumah mbah.", jawab Mbah Sarti menjelaskan permintaan tolongnya.

"Ooo... Pohon sengon yang sudah kering itu tho?" kata Bagas sambil bertanya kembali.

"Iya...", jawab nenek itu.

"Bisa Mbah. Besok saya tebang. Pohon itu kalau ndak ditebang, bisa berbahaya bila menimpa orang.", kata Bagas manggut-manggut.

"Betul bisa kamu tebang besok?", tanya Mbah Sarti lagi.

"Wes, tenang saja. Besok pagi, selepas kulo menyiram kebun. Kulo langsung ke rumah mbah." jawab remaja itu lugas.

"Matur Suwun yo, Bo..", kata nenek itu sambil menepuk-nepuk pundak Bagas yang kekar.

"Sama-sama mbah.", balas Bagas dengan sopan.

Mereka berjalan beriringan sampai di sebuah persimpangan jalan. Mbah Sarti mengambil jalan menurun ke kanan menuju ke rumahnya, sementara Bagas mengambil jalan lurus mendaki. Kerbau hitam yang mengikutinya dibelakang, sejenak menoleh kearah mbah Sarti berjalan. Setelah melenguh pendek hewan itu kembali mengikuti Bagas.

Sesampainya di depan rumah, Bagas berseru memanggil ibunya. Puji menyahut panggilan anaknya dan melongok ke luar dari balik jendela. Remaja tanggung itu memamerkan empat ekor ikan mas upah kerjanya dari K Alun, sambil tersenyum lebar. Ibunya tersenyum menerima sayur mayur dan ikan mas tersebut.

Remaja tanggung itu berjalan kerah sumur di belakang rumahnya dan membersihkan diri sebelum melangkah masuk ke dalam rumah lewat pintu belakang. Kerbaunya seperti biasa merebahkan tubuhnya yang besar ditempatnya biasa berbaring.

Satu hari yang damai dikehidupan Bagas kembali berlalu dengan cepat.

Fang Yin 1513 - Buku TigaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang