V. Fang Yin - Pasuruan, Tahun 1503

2 2 0
                                    

Bagas tumbuh dengan perhatian dan didikan orang-orang di dusunnya. Dia tidak pernah kekurangan kasih sayang dari orang-orang disekitarnya. Bagas si Kebo Ireng tumbuh menjadi remaja bertubuh kuat dan berbudi pekerti baik. Anak kebanggaan ibunya itu terlihat kerap kali membantu penduduk dusun memanen sayur-mayur dan palawija hasil kebun mereka. Kekuatan tubuhnya yang terlatih secara alami sangat meringankan kerja penduduk dusun yang didominasi orang-orang tua. Bagas-pun selalu menyempatkan dirinya membawa hasil bumi itu ke desa terdekat untuk dijual atau ditukarkan dengan barang-barang kebutuhan pertanian lainnya.

Lambat laun tanpa terasa, nama julukannya, Kebo Ireng, terdengar sampai ke kota Pasuruan. Setiap kali dia turun gunung untuk menjual hasil pertanian dari dusunnya, semua orang yang mengenalnya selalu membeli hasil bumi tersebut. Kejujuran dan kebaikan yang tanpa mengenal pamrih sangat dihargai oleh orang-orang yang mengenalnya. Kalau ditanya siapa yang tidak mengenal Kebo Ireng dari kaki Tengger, hampir tidak ada orang yang tidak mengenalnya. Mereka-mereka yang tidak mengenalnya biasanya adalah orang-orang pendatang, bukan penduduk asli Pasuruan.

"Hoy, Bo...", panggil seorang laki-laki paruh baya.

Bagas yang sedang berjalan melintasi jalan batu pasar Pasuruan menghentikan langkahnya dan menoleh kearah orang yang memanggilnya. Senyum lebarnya merekah saat melihat orang yang dikenalinya. Laki-laki paruh baya itu mendekatinya dan menepuk bahunya dengan tepukan bersahabat.

"Sampeyan gowo opo saja hari ini?", tanya laki-laki itu ramah.

Pemuda bertubuh tinggi kekar itu mendekati kerbau hitamnya. Dia membuka tutup rombong rotan yang dipikul oleh kerbaunya. Laki-laki itu melongok melihat isi rombong tersebut. Dengan mata berbinar-binar dia menemukann beberapa barang yang dibutuhkan olehnya. Laki-laki paruh baya itu memiliki usaha warung makan kecil di pasar ini. Jadi hari ini dia akan berbelanja cukup banyak untuk memenuhi kebutuhan warung makannya. Dia memilih beberapa jenis sayur, bumbu dan rempah-rempah, serta tiga ekor ayam yang sudah dibersihkan.

"Kabeh piro, Bo?", katanya setelah meletakkan sayur dan tiga ekor ayam itu kedalam keranjangnya.

Bagas lalu menghitung jumlah belanjaan laki-laki tersebut. Dia menyebut angka dan laki-laki itu mengulurkan tangannya. Beberapa koin kepeng berpindah tangan. Beratnya terasa lebih daripada berat yang harus diterimanya. Bagas-pun menghitung jumlah uang kepeng yang diterimanya dari laki-laki itu.

"Kembaliannya sampeyan ambil saja.", kata laki-laki itu tanpa mempedulikan berapa jumlah kembalian yang dia harusnya terima.

"Eh... Ki... Jangan begitu. Saya ndak enak kalau sampeyan sampai rugi. Ini kelebihannya banyak sekali.", kata Bagas tidak enak.

Dia mengulurkan kembaliannya kepada laki-laki itu. Laki-laki paruh baya itu tidak menerima kembalian yang diulurkan Bagas.

"Sudah Bo. Harga yang sampeyan hitung sudah cukup murah. Kulo jalan dulu.", kata laki-laki itu sambil melangkah pergi meninggalkan Bagas, tanpa menghiraukan uluran uang kembalian dari pemuda itu.

Bagas memasukkan kepeng yang tadi hendak dikasihkan sebagai uang kembalian kedalam katung kainnya. Sambil mengeleng-gelengkan kepala, pemuda itu melanjutkan langkahnya menuju lapak dimana dia biasa berjualan. Belum beberapa langkah dia berjalan, seorang nenek menghentikan langkahnya. Dan kali ini perempuan tua itu membeli hampir separuh dari barang dagangannya. Wajah Bagas terlihat ceria. Hari ini dia bisa kembali lebih awal dengan keranjang yang lebih ringan. Sambil menepuk-nepuk kepala kerbaunya riang, pemuda itu berjalan kebali menyusuri lorong pasar.

Bagas sampai dilapaknya dengan jumlah dagangan yang sudah jauh berkurang. Satu per satu, sisa barang daganganya dikeluarkan, dan diletakkan diatas meja kayu. Kerbaunya berputar sejenak ditempat dia biasa merebahkan badan, sebelum dengan lenguhannya yang berat, kerbau itu menggeletak dibelakang lapak yang biasa ditempati Bagas.

Pemuda itu tidak menyadari ada sepasang mata sipit yang sudah mengawasinya sejak kedatangannya ke pasar. Gadis pemilik sepasang mata itu tersenyum, saat melihat Bagas duduk disebuah dingklik sambil mengawasi dagangannya. Sambil melompat-lompat kecil, gadis Cina itu menghampirinya. Wajahnya yang putih dilengkapi sepasang lesung pipi tampak cantik. Rambutnya dikepang satu, dan dengan Qipao berwarna merah cerah yang dikenakannya, penampilan gadis itu tampak kontras dengan pengunjung pasar lainnya, yang mengenakan paduan kemben dan kain jarik.

"Kebo... ", tegur gadis itu ramah.

Bagas mendongakkan kepalanya menatap wajah cantik yang sudah lama dikenalnya, berdiri didepan lapaknya. Perempuan muda itu menatap wajahnya sambil tersenyum, memamerkan sepasang lesung pipinya.

"Oh.. Yo Cici Fang Yin.", balas Bagas sambil membalas senyumnya.

"Panggil aku Fang-fang saja toh yo. Ndak usah panggil Cici. Aku kan masih muda.", kata gadis itu berpura-pura cemberut.

"Yo wes, kulo panggil sampeyan Fang-fang kalau begitu. Ndak usah cemetut seperti itu tho", kata Bagas sambil tersenyum kepada gadis itu.

"Sampeyan bawa apa saja hari ini? Kok cuma ini saja?", tanya Fang-fang.

"Wis dituku meneh, sampeyan telat.", jawab Bagas.

"Yo wis, iki kabeh pinten?", tanya gadis itu lagi

"Kabeh?", kata Bagas balik bertanya.

"Lha iyo. Kabeh pinten?", jawab Fang-fang menegaskan pertanyaannya.

"Wuih... Diborong kuwi..." kata Bagas sambil menghitung.

Pemuda itu menerima kepingan koin kepeng dari tangan gadis cantik itu, setelah dia menyebutkan harganya. Bagas memperhatikan tangan gadis Cina itu yang halus dan putih seperti pualam. Kelihatan kontras sekali dengan tangannya yang kasar dan coklat. 'Kalau tanganku memegang tangannya, nanti kelunturan ndak yo?", gumamnya dalam hati.

"Bo... nyampun tolong, Lebokake ing kranjangku.", kata Fang-fang sambil mengulurkan keranjang belanjaannya yang besar.

"Yo...", kata Bagas sambil memasukkan semua belanjaan gadis itu kedalam keranjang besar tersebut.

Setelah ditata dan disusun dengan rapi, keranjang besar itu diberikan kepada Fang-fang. Keranjang itu terasa berat. Dengan hati-hati dia menyerahkan keranjang itu kepada gadis Cina yang cantik itu.

"Hati-hati, Abot iki.", kata Bagas memberitahu gadis itu.

"Ra po po. Isih luwih abot awakku.", balas gadis itu sambil tersenyum.

Fang-fang membawa keranjang itu sambil tersenyum manis kepada Bagas. Pemuda polos itu hanya melongo menatap gadis Cina itu berjalan sampai menghilang dibalik kerumunan pengunjung pasar.

"Wuih, Ayu ne...", gumamnya kagum.

Fang Yin 1513 - Buku TigaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang