Tan Fang Bu melangkah masuk ke dalam rumah berarsitektur Cina itu. Dia baru kembali dari Demak dan tiba di Pasuruan tengah malam kemarin. Wajah kakak ketiga Fang Yin tampak berubah cukup banyak dari sejak tujuh tahun yang lalu. Rambut putih mulai memenuhi rambut hitamnya yang dipotong pendek. Sejak kepulangannya Fang Yin di tanah kelahirannya, ia belum sempat untuk menemuinya. Tuntutan pekerjaannya tidak memungkinkannya untuk bisa pergi ke Pasuruan. Pesanan jung ketiga kesultanan Demak harus segera diselesaikan.
Dan sejak kematian ayah mereka, Tan Chi Fen, seorang saudagar kaya raya yang juga mubaligh bergelar Syaikh Fen Bu, tidak ada seorang-pun didalam keluaraga yang lebih dekat dengan Fang Yin, selain dari Tan Fang Bu. Kemudian ia juga mendapat kabar bahwa adik bungsu kesayangan keluarga mereka itu sering jatuh sakit sejak kedatangannya di Pasuruan. Tan Xiao Liong, kakak tertua mereka-pun jadi prihatin melihat keadaan Fang Yin. Dia kembali menghubungi Tan Fang Bu. Kali ini, dengan perintah tegas untuk segera menjenguknya, dan cari tahu kondisinya.
Kabar memburuknya kondisi kesehatan Fang Yin segera disampaikan ke Tan Fang Bu. Laki-laki Cina, yang sudah menetap di Demak, itu segera berangkat kembali ke Pasuruan untuk menjenguk sang adik bungsu.
"Fang fang...", sapa Tan Fang Bu kepada Fan Yin yang sedang duduk dibelakang meja kayu di teras halaman dalam rumah besar tempat tinggalnya dulu.
Fang Yin menoleh ke arah suara kakaknya. Wajah gadis itu pagi ini sungguh cantik. Dibawah siraman cahaya matahari pagi, wajah Fang Yin berkilauan seperti wajah peri.
"Cantiknya...", gumam Tan Fang Bu terperangah.
Tujuh tahun sudah berlalu, Tan Fang Bu masih mengingat betapa cantiknya wajah sang adik. Fang fang sekarang sudah terlihat semakin dewasa. Usianya sudah menginjak dua puluh tiga tahun. Kedewasaan tampak terpancar dari sikapnya, meskipun kekeras-kepalaannya masih tergambar jelas diwajahnya.
Tetapi pandangan kagum Tan Fang Bu perlahan-lahan sirna, berganti menjadi tatapan khawatir. Dibalik tubuh sempurna adiknya itu, Tan Fang Bu dapat merasakan kehadiran rasa sepi berbalut keputusasaan. Fang Yin seperti sebuah lilin yang menyala, gadis itu menerangi kawasan sekitarnya dengan cahaya yang membakarnya habis dirinya sendiri, perlahan-lahan.
Fang Yin tersenyum kepada kakaknya yang berdiri diambang pintu teras dalam rumah.
"Koko...", sambutnya sambil berdiri dan menghambur memeluk kakaknya.
"Apa kabar, Fang fang?", salam kakaknya.
"Kabar baik. Koko sehat? Cece dan keponakan-keponakan juga sehat?", balas Fang Yin, berbasa-basi.
Xiāo Tien muncul dari dalam rumah sambil membawa baki berisi dua cawan teh dan satu teko keramik kecil berisi teh panas yang masih mengepul. Pengurus rumah yang setia dan loyal itu kemudian menuangkan teh panas kedalam dua cawan teh, dan meletakkannya diatas meja teras. Fang Yin kembali duduk diatas kursi kayunya, dan Tan Fang Bu menarik sebuah kursi kayu lagi dan duduk disebelah gadis itu.
"Fang fang... Koko khawatir dengan keadaan kamu.", kata Tan Fang Bu langsung, tanpa basa basi.
Fang Yin duduk diam sambil menatap menerawang kedepan. Dia terlihat sedang berfikir. Nafas gadis itu terlihat teratur dan tenang, tidak ada tanda-tanda sakit disitu. Dengan gerakan yang tenang dia mengambil cawan tehnya. Meniupnya sejenak sebelum menyeruputnya pelan.
"Koko tidak usah khawatir. Fang fang baik-baik saja.", balas Fang Yin berusaha menenangkan kekhawatiran kakaknya.
"Fang fang tidak mencoba untuk datang ke tabib?", tanya Tan Fang Bu.
"Fang fang kan Tabib, ko. Lima tahun Fang fang sekolah tabib di Shanghai, dan lulus dengan nilai paling tinggi", kata gadis cantik itu sambil tersenyum. Lalu sambil memeringkan kepalanya, gadis itu bertanya, "Apakah koko sudah lupa?".
Tan Fang Bu tertawa pelan, menyadari kebodohannya. Fang fang sekolah di Shanghai untuk menjadi tabib, dan dia sudah menyelesaikan pendidikannya dengan nilai terbaik di generasinya. Tan Fang Bu kemudian merubah strategi pertanyaannya.
"Kalau begitu, Fang fang sebenarnya sudah tahu jenis sakit yang kamu derita, dan apa obatnya." kata Tan Fang Bu sambil tetap mencecar.
Fang Yin tersenyum mendengar perkataan kakaknya. Sebenarnya kakaknya-pun sudah tahu sakitnya apa dan apa obatnya. Dia hanya butuh kepastian dan konfirmasi saja dari adiknya. Lalu sambil mendesah gadis cantik itu berdiri, dan berjalan pelan menuju ke kolam yang berisi puluhan ikan mas berwarna-warni. Ikan-ikan itu bergerak cepat saat melihat Fang Yin datang mendekat ke kolam.
Dia meraih segenggam makanan ikan kering dari sebuah pot tertutup yang berada di dekat kolam. Gadis itu melempar butiran makanan ikan itu kedalam kolam. Terdengar suara kecipak ribut dari ikan-ikan yang berebut makanannya.
"Sakit Fang fang itu disini...", kata Fang fang sambil menunjuk ulu hatinya.
"Dan obatnya..."
"Koko tahu dimana obat kamu... Dan sedang apa dia sekarang.", tukas Tan Fang Bu kalem.
Fang Yin menoleh dan menatap tajam wajah kakaknya. Sinar matanya mengeras, bibir mungilnya terkatup rapat. Tan Fang Bu mengusap wajahnya sambil tersenyum. Ahhh... Dia ingat kapan terakhir kali mendapat tatapan seperti itu. Tatapan yang dulu diterimanya, tujuh tahun yang lalu. Tatapan yang disusul jerit kemarahan seorang gadis muda bernama Fang fang.
Gadis itu menegakkan tubuhnya dan berjalan lambat kearah kakaknya. Tan Fang Bu dapat melihat kedua telapak tangan gadis itu terkepal. Fang Yin berdiri tegak dihadapan Tan Fang Bu. Tatapan matanya berapi-api, menuntut. Gadis ini tidak akan melepaskannya, sebelum memperoleh apa yang dia mau. Tipikal Fang fang.
"Koko yang baik, bisa kah koko kasih tahu dimana Kebo sekarang?", tanya gadis cantik itu dengan suara parau.
Tan Fang Bu menarik nafas panjang, dia dapat merasakan api kehidupan Fang Yin yang sudah lama padam, mendadak tersulut dan menyala berkobar. Seperti meriam yang setiap saat akan meledak.
"Ayo kita berangkat ke Demak.", kata Tan Fang Bu sambil berdiri.
Fang Yin melompat dan memeluk kakaknya erat. Saking eratnya pelukan Fang Yin, Tan Fang Bu sampai dapat merasakan debaran jantung adiknya yang menggemuruh berdegup kencang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Fang Yin 1513 - Buku Tiga
Historical Fiction"Dalam sebuah surat kepada Alfonso de Albuquerque, dari Cannanore, Fernão Pires de Andrade, Kapten armada yang menghalau Pate Unus, mengatakan: Jung milik Pati Unus adalah yang terbesar yang dilihat oleh orang-orang dari daerah ini. Ia membawa serib...