XXIV. Armada - Laut Bangka, Maret 1513

3 2 0
                                    

Banu Arbain berdiri tegak diatas tiang haluan kapal kayu raksasa berkapasitas empat ratus ton. Kapal yang dinamai Lawang Songo itu berlayar dengan tenang diatas laut selat Melaka. Tugasnya sebagai salah satu penanda arah, mengharuskannya untuk berdiri diatas tiang haluan dan mengamati keadaan laut luas didepannya. Kapal buatan para ahli pembuat kapal dari Jepara itu tampak sangat kokoh. Kapal raksasa itu dapat memuat sampai seribu orang awak kapal yang menempati ratusan kamar dilambungnya.

Armada berkekuatan seratus kapal perang ini, terdiri atas tigapuluhan jung raksasa buatan Demak dan Jepara, yang digabung dengan kapal perang jenis lancaran, penjajap dan kelulus sehingga total mencapai seratus kapal perang. Dan membawa personel total hampir limaribu orang tentara. Armada besar ini merupakan gabungan dua kekuatan armada laut dari Jawa dengan armada laut dari Palembang. Armada ini dipimpin oleh seorang pangeran muda dari kesultanan Demak yang bernama Raden Abdul Qadir putra Raden Muhammad Yunus. Seorang Adipati dari wilayah Jepara.

Karena ayahnya, Raden Muhammad Yunus, lebih dulu dikenal masyarakat, maka Raden Abdul Qadir lebih lebih sering dipanggil sebagai Adipati bin Yunus atau Adipati putra Yunus. Kemudian hari banyak orang memanggilnya dengan sebutan yang lebih mudah Pati Unus.

Adipati Yunus, nama pangeran dari Demak, yang memimpin armada seratus kapal ini masih berusia sekitar duapuluh lima tahun. Pangeran muda yang pemberani ini adalah menantu Raden Patah seorang penguasa kesultanan Demak yang terkenal. Selain pemberani, pangeran muda ini juga sangat berambisi untuk duduk menggantikan mertuanya menjadi Sultan Demak. Operasi penyerangan Melaka ini dijadikan olehnya untuk menunjukkan kemampuan dirinya untuk merebut Melaka sekaligus mengalahkan Portugis.

Ketika kabar jatuhnya Kesultanan Melaka ditangan Portugis, Sultan Demak Raden Patah-pun segera membangun armada laut yang dipimpin oleh menantunya tersebut untuk mengambil alih kekuasaan di Melaka.

Dan sekarang Banu Arbain, pemuda Jawa asli Jepara, berada di salah satu jung menuju Melaka. Pemuda yang belum genap berusia duapuluh tersebut bergabung bersama ratusan pemuda Jepara lainnya di armada pimpinan pangeran muda Adipati Yunus, yang lebih dikenal dengan nama Patiunus. Mereka terpanggil untuk bergabung dalam operasi invasi ke Melaka yang dicetuskan oleh Sultan Demak Raden Patah.

"Hoy... Banu... Gantian jaga.", teriak seorang pemuda Jawa lain yang berkulit gelap.

Pemuda berkulit gelap itu tampak sedang bersiap-siap menaiki tangga tali untuk naik ke sebuah teras kayu dimana Banu berdiri. Banu-pun meluncur turun dari teras kayu ditiang layar jung tersebut. Sesampainya di lantai geladak haluan, dia memberikan teropong tunggalnya kepada si pemuda.

"Ilham, ini....", katanya sambil memberikan teropong itu kepada kawannya.

"Tidak terlihat apapun di ujung langit.", sambungnya kepada Ilham.

Ilham meraih teropong yang diberikan kepadanya, dan menyelipkannya dipinggang. Sambil menggenggam tali bersimpul, dia pun menarik tubuhnya keatas, mendaki tangga tali kearah teras observasi. Otot-otot tubuhnya yang terlatih membuat gerakannya terlihat lincah dan cekatan. Seperti kera, pemuda berkulit gelap itu merayap naik dan duduk diteras kayu. Dari atas dia berseru kepada Banu, " Hoy, Banu, sebelum saya lupa, tadi kau dipanggil Adipati Sunggah. Ada perintah dari dia".

Banu menganggukkan kepalanya sambil mengangkat tangan. Pemuda itu-pun segera bergegas berjalan menuju anjungan kapal besar ini. Dia melewati geladak kayu yang luas ditengah kapal Lawang Songo, dan menuju ke tangga kayu yang mengarah ke anjungan. Dengan sigap, dia naik mendaki tangga kayu itu ke lantai buritan pertama. Kemudian dia mengambil arah menaiki tangga kayu ke lantai buritan kedua dan seterusnya, sampai akhirnya di tiba di anjungan yang berada di lantai buritan ke lima, lantai buritan paling atas.

Dia menundukkan kepala dan memberikan salam hormat kepada Adipati Sunggah yang sedang berada di meja anjungan. Adipati penguasa wilayah kaki gunung Muria itu tampak sedang mengamati selembar peta berukuran besar yang terpampang diatas meja kayu.

Meja kayu berukuran besar itu tertanam di tengah-tengah ruangan anjungan. Diatasnya tampak berlembar-lembar gulungan peta yang terbuat dari kulit kambing bertumpukkan. Salah satu peta itu dibentang diatas meja, dan diamati oleh Adipati Sunggah dan jurumudi jung, seorang pelaut veteran bernama, Lembu Sulung. Adipati bertubuh besar itu memanggil Banu dan memintanya ikut mengamati peta.

Tampak beberapa garis lurus pada peta itu, dan juga beberapa bentuk daratan yang dilengkapi daftar legenda. Garis-garis lurus itu menghubungkan beberapa titik pada peta. Sedangkan bentuk daratan adalah bentuk pulau-pulau yang ada di gugusan kepulauan Nusantara. Mulai dari Maluku diujung Timur sampai ke Pasai diujung barat.

"Banu, coba kau lihat, menurutmu kita sekarang sudah sampai mana?", tanya Adipati itu sambil memperlihatkan peta itu kepada Banu.

Banu Arbain, si petugas penanda arah itu memperhatikan peta dengan teliti. Dia mengenali beberapa bentuk daratan dan tanda-tanda legendanya. Perlahan-lahan, dia menyusuri sebuah garis lurus yang menghubungkan tulisan Sunda Kelapa dengan tulisan Melaka. Dia lalu menunjuk lokasi diantara Melaka dengan Sunda Kelapa yang dekat sebuah bentuk daratan bertuliskan Bintan.

"Sekitar ini, yang mulia Adipati.", jawab Banu Arbain yakin.

"Hmm..", gumam Adipati Sunggah.

Kening sang Adipati berkerut, memikirkan jawaban Banu. Kening Lembu Sulung-pun ikut berkerut. Jawaban Banu diluar ekspektasinya.

"Yakin?!", tanyanya lagi kepada Banu.

"Yakin, yang mulia." jawab Banu lagi.

"Kalau begitu, berarti kita masih butuh sekitar empat hari lagi kita baru tiba dititik ini, yang mulia Adipati.", kata Lembu Sulung sambil menunjukkan sebuah lokasi bertuliskan Melaka di peta tersebut.

Kepala Adipati Sunggah manggut-manggut mendengar perkataan Lembu Sulung. Kemudian sambil mendesah, dia berkata, "Lambat sekali kapal ini bergerak..."

Wajah Adipati Sunggah tampak khawatir, sebab menurut informasi yang telah dia terima dari prajurit kesultanan Melaka yang selamat dan pernah melihat kapal-kapal perang Portugis, meskipun kapal-kapal Portugis itu berukuran jauh lebih kecil dari jung mereka, tetapi kapal-kapal itu dapat bermanuver dengan lincah dan gesit. Berarti harapan utama kapal-kapal besar seperti jung ini bertumpu pada kekuatan meriam-meriamnya, dan ketangguhan dinding lambungnya untuk dapat menahan gempuran tembakan meriam Portugis.

Mereka harus dapat menenggelamkan kapal-kapal Portugis yang lincah itu sebelum mereka datang terlalu dekat. Karena apabila kapal-kapal Portugis itu mendekat maka jung-jung Jawa yang besar dan lamban akan menjadi sasaran empuk meriam-meriam mereka. Mereka berharap, kekuatan meriam yang mereka miliki dapat menghancurkan kapal-kapal Portugis yang gesit itu.

"Kau yakin kita masih disini?", tanya Adipati Sunggah sekali lagi sambil menunjuk ke titik yang tadi ditunjuk oleh Banu.

Kelasi jung itu mengangguk yakin. Adipati Sunggah dan Lembu Sulung-pun menegakkan tubuhnya.

"Kau istihatlah...", perintah Adipati bertubuh besar itu kapada Banu Arbain.

Banu Arbain memberikan hormat sebelum melangkah keluar anjungan. Kemudian saat dia menuruni tangga menuju lantai bawah, pemuda itu dapat melihat Adipati Sunggah bertatapan dengan jurumudi Lembu Sulung, keduanya terlihat khawatir.

Pemuda Jawa itu-pun meneruskan langkahnya menuruni tangga dan berbelok memasuki pintu besar berwarna hijau, menuju ke kabin kelasi kapal. 

Fang Yin 1513 - Buku TigaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang