Tan Fang Bu berjalan melintasi jalan batu yang mengarah ke selatan. Dibelakangnya Fang Yin berjalan mengikutinya. Gadis itu menyembunyikan kulit wajahnya dari sengatan langsung cahaya terik sinar matahari, dengan cara berlindung dibawah payung merah. Payung merah kesayangan yang dibawanya dari Pasuruan itu sangat lebar, sehingga dapat melindungi dirinya dari sinar matahari yang panas membakar. Siang ini cuaca Demak sangat panas. Matahari sepertinya mengeluarkan seluruh tenaganya untuk menyinari tanah Demak dan menguapkan air lautnya.
Tan Fang Bu siang ini mengajak Fang Yin untuk menemui orang yang selama ini ditunggunya. Tan Fang Bu sudah mengetahui keberadaan orang tersebut, dan selalu memantau perkembangannya, sejak dia dapat kabar bahwa pemuda itu pindah ke Demak setelah ibunya meninggal dua tahun yang lampau. Dia menoleh kearah adiknya yang berjalan pelan-pelan menyusuri pinggir jalan. Hanfu hijau pupus yang dia kenakan benar-benar cocok untuknya. Gadis itu terlihat sangat mempesona.
Fang Yin berjalan pelan-pelan. Dia tidak mau terburu-buru. Dia agak ragu ketika kakaknya hari ini mengajaknya untuk pergi menemui laki-laki yang selama ini dicarinya. Sudah tujuh tahun mereka tidak berkomunikasi. Dan selama tujuh tahun ini dia hanya berpegang pada janji lisan pemuda tersebut. Janji yang telah mengikatnya dengan tali yang tidak terlihat. Janji yang ditulis dengan pena tanpa tinta. Gadis itu benar-benar mempertaruhkan semuanya ditangan seorang pemuda, yang tidak pernah ditemuinya lagi selama tujuh tahun.
Setelah berjalan sejauh sekitar tiga ratus meter, kedua kakak beradik itu akhirnya bertemu dengan sebuah persimpangan jalan yang ramai. Persimpangan itu berada diantara pelabuhan dan pasar lama. Pada semua sisi jalan persimpangan jalan itu berdiri beragam bentuk bangunan, baik dari batu ataupun dari kayu. Banyak kereta kuda dan pedati yang ditarik kerbau berjalan hilir mudik melewati persimpangan jalan itu. Tan Fang Bu menggandeng tangan Fang Yin menyeberangi persimpangan dengan hati-hati, dan memasuki sebuah rumah makan ramai yang cukup besar, yang terletak disisi barat jalan, bersebelahan dengan kedai kelontong.
Rumah makan berlantai dua itu tampak ramai diisi oleh banyak pengunjung. Apabila diperhatikan lebih jauh, rata-rata pengunjung rumah makan itu adalah orang-orang yang bekerja pada kesultanan Demak, seperti pegawai administrasi pengurus kota, atau pengurus pajak, maupun pegawai kerajaan lainnya. Tetapi secara kasat mata, yang paling banyak datang dan makan dirumah makan tersebut adalah para anggota tentara pasukan kesultanan Demak. Rumah makan ini rupanya sangat terkenal dikalangan tentara, entah apa yang membuat tempat ini terkenal, Tan Fang Bu tidak pernah tahu.
Tang Fang Bu berjalan pelan-pelan memasuki ambang pintu rumah makan, dan berbelok ke kanan. Kehadiran dua orang Cina ke rumah makan ini merupakan peristiwa yang jarang terjadi. Bahkan pemilik rumah makan itu-pun bingung harus menyapa bagaimana saat kedua kakak beradik itu memasuki ambang pintu masuk rumah makan. Fang Yin meletakkan payung merahnya dimeja depan, setelah melipatnya terlebih dahulu. Wajah cantiknya sontak menjadi perhatian para pengunjung rumah makan. Gerak tubuhnya lemah gemulai sangat sesuai dengan lambaian Hanfu hijau pupus yang dipakainya. Beberapa siulan jahil terdengar dari beberapa pengunjung rumah makan. Tetapi Tan Fang Bu tidak terlalu mempedulikan siulan-siulan itu. Dia lebih memperhatikan sekelompok orang berseragam tentara kesultanan Demak yang sedang ramai berbincang-bincang dengan sesamanya, dimeja yang berada dekat jendela.
Tan Fang Bu mengenal baik salah satu dari mereka. Dia mengenal sosok pemuda berkulit coklat, dengan hidung pesek dan gigi yang tidak beraturan itu. Laki-laki Cina itu lalu menggandeng tangan Fang Yin agar mengikutinya dari belakang tubuhnya. Pegangan tangan Fang Yin mengeras, memberitahu Tan Fang Bu, bahwa gadis itu sudah melihat orang yang dicarinya selama ini.
"Bo...", panggilnya kepada pemuda itu, setelah berdiri agak dekat.
Pemuda yang dipanggilnya menoleh kearahnya, dan menatapnya heran. Agak lama pemuda ini menyadari siapa orang yang memanggilnya tersebut. Lalu ekpresinya berubah seketika menjadi ekspresi senang dan gembira.
"Koko Tan!", serunya dengan nada riangnya yang sangat dikenal.
Pemuda itu berdiri dan mendekati Tan Fang Bu, diikuti oleh pandangan heran teman-temannya. Dari seragam yang dikenakannya, terlihat dengan jelas bahwa mereka adalah anggota pasukan kesultanan Demak. Rata-rata usia mereka disekitar awal duapuluh tahunan. Dari gerak-geriknya, terlihat jelas bahwa pemuda berkulit coklat itu memiliki kedudukan yang paling tinggi diantara mereka semua.
"Ini sahabat lama ku, Koko Tan dari Pasuruan dulu. Kenalkan teman-teman.", serunya kepada kelompoknya.
Tan Fang Bu mengulurkan tangannya dan menjabat tangan mereka semua satu per satu, sambil memperkenalkan diri. Sementara Fang Yin berdiri diam dengan wajah menunduk. Gadis cantik itu tidak tahu harus berbicara apa. Ada rasa cemas yang menganggu didadanya. Sepertinya laki-laki yang selama ini ditunggunya sudah tidak mengenali dirinya. Para anggota tentara dikelompok itu dengan ramah memintanya duduk bergabung bersama di meja mereka. Tetapi Tan Fang Bu menolaknya dengan ramah. Tujuan dia adalah bertemu dengan pemuda pesek ini, bukan duduk-duduk bercerita dengan mereka.
"Ayo lah, Koko duduk dulu. Kita ngobrol dulu. Sudah lama aku ndak ketemu koko.", bujuk pemuda itu sambil tersenyum lebar.
"Bo... Masih ingat?", tanya Tan Fang Bu sambil menarik lengan Fang Yin dan menunjukkannya kehadapan pemuda itu.
"Bo...", kata gadis cantik itu menyapa dengan lirih.
Pemuda itu terbelalak dan perlahan-lahan melangkah mendekat. Dihampirinya gadis cantik itu. Wajah cantik yang lama dikenalnya. Wajah orang yang telah merubah hidupnya. Wajah yang dicarinya selama ini.
"Fang fang...?"
Fang Yin menaikkan wajahnya. Dia menatap wajah Kebo dalam-dalam. Semuanya masih sama, hidung peseknya masih disana, giginya yang tidak beraturan-pun masih sama, matanya yang bulat, bentuk wajahnya, bentuk bibirnya, semua masih sama seperti tujuh tahun lalu.
Dan kemudian semua berlangsung tanpa direncana, semua berjalan alami. Fang Yin tanpa berbicara apa-apa melompat memeluk tubuh pemuda itu, dan mendekapnya dengan erat. Gadis itu-pun dapat merasakan gerakan balasan yang sama, pemuda itu juga melilitkan kedua lengannya yang kekar dan memeluknya dengan erat. Fang Yin membenamkan wajahnya dibahu kekar pemuda itu. Bau tubuhnya... bau matahari... juga masih sama.
"Bo... Obatku mana?", tanya Fang Yin lirih.
"Obatmu masih ada disini. Belum dibagi ke orang lain.", jawab Kebo sambil berbisik, senyumnya mengembang.
Fang Yin mencoba bertahan untuk tidak menangis. Dia tahu Kebo sudah melunasi janjinya. Janji yang diikat tanpa tali, janji yang ditulis tanpa tinta. Hari ini semua terlunasi. Gemuruh gelombang didadanya semakin kuat. Tembok pertahanan yang dibangunnya tidak bisa menahan gemuruh itu. Dan akhirnya semuanya tumpah. Keduanya berpelukan dibawah tatapan mata para pengunjung rumah makan. Air mata bahagia membasahi pipi Fang Yin.
Kemudian Tan Fang Bu bergerak mendekati mereka berdua, dan berbisik kepada keduanya,"Sudah... Sudah... kalian berhenti dulu. Jangan bikin jengah disini."
KAMU SEDANG MEMBACA
Fang Yin 1513 - Buku Tiga
Historical Fiction"Dalam sebuah surat kepada Alfonso de Albuquerque, dari Cannanore, Fernão Pires de Andrade, Kapten armada yang menghalau Pate Unus, mengatakan: Jung milik Pati Unus adalah yang terbesar yang dilihat oleh orang-orang dari daerah ini. Ia membawa serib...