Chiaki dan Andini tampak berjalan berdampingan, sedangkan Terceiro Oficial Luiz da Costa berjalan dibelakang mereka. Mereka bertiga hendak menuju kantor Capitão-mor - Kapitan Mayor Portugis di Melaka. Tangan kanan Andini tampak menggenggam segulung perkamen yang bersegel Sri Baduga Maharaja Prabu Siliwangi dari kerajaan Sunda.
Mereka bertiga berjalan mengikuti jalan batu yang rapi dengan jejeran tiang lampu yang cantik, kearah pasar lama kota Melaka. Kehadiran kedua gadis itu sontak menjadi perhatian seluruh pengunjung pasar. Hampir seluruh mata laki-laki melirik mereka berdua. Keduanya mengenakan pakaian yang asing daripada pakaian yang biasa dikenakan perempuan melayu pada umumnya.
Terceiro Oficial Luiz da Costa yang berjalan bersama mereka terlihat jengah dengan semua perhatian yang ditujukan kepada kedua gadis molek itu. Sambil berbisik dia berkata kepada mereka berdua, "Senhorita, percepatlah langkah kalian. Orang-orang melihat kita seperti show de horrores - pertunjukkan orang aneh disini."
"Show de horrores?! Nós somos - Kita?!", kata Andini terkejut.
Gadis Sunda yang cantik itu menatap wajah tua Luiz da Costa lekat-lekat. Matanya yang oval dengan bulu mata lentik yang lebat tampak berkilat marah.
"Você tem vergonha de nós, Serhor da Costa? - Apakah anda malu dengan kami, Tuan da Costa?", desis Andini marah.
Terceiro Oficial Santo Domingues tersebut kaget mendengar perkataan Andini. Gadis itu sudah bisa berbicara dalam bahasa Portugis. Padahal dia belum seminggu bergaul dengan mereka.
"Merda... Como ela consegue falar em Portugues - Sial... Bagaimana dia bisa berbahasa Portugis?", gumam Terceiro Oficial Luiz da Costa dengan setengah berbisik. Keheranan tampak jelas diwajah keriputnya.
"Eu tenho talento, senhor... - Saya berbakat, Tuan... Talento - berbakat...", tukas Andini tajam, jari telunjuknya mengetuk-ngetuk kening kepalanya yang cantik.
"Eh... Me desculpe por isso, senhorita - Saya minta maaf, nona...", kata Luiz da Costa gelagapan, sambil menundukkan kepalanya.
" Olhe nos meus olhos, senhor. Não bata no meu peito enquanto estou falando! - Tuan, lihat ke mata saya saat berbicara. Bukan lihat ke payudara saya.", sergah Andini dengan ketus, sambil bertolak pinggang.
Wajah Terceiro Oficial Luiz da Costa memerah, malu. Mulut gadis cantik itu tajam sekali, seperti mulut nyonya Aranda yang menjual roti di Lisbon, gumamnya dalam hati.
Chiaki yang melihat tekanan kemarahan dalam nada suara Andini, menggenggam tangan Andini dan menariknya lembut.
"Onee-chan, Gaman shite - Kakak, sabar...", kata gadis Nihon itu pelan.
"Me desculpe por isso, senhorita - Saya minta maaf, nona.", ucap Terceiro Oficial Santo Domingues itu sambil menunduk dihadapan Andini.
"Hmph...", jawab gadis itu sambil mengangguk menerima maaf pelaut tua itu. Setelah menarik napas dalam-dalam, Andini berusaha meredakan amarahnya. Lalu dia tersenyum menggoda dan berkata, "Eu não me importo se você olhar para o meu peito. Apenas olhe. Não toque. - Saya tidak mempermasalahkan anda melihat dada saya. Selama tidak menyentuhnya."
"Eeh... Menina bonita Louca de Pakuan... - Dasar gadis gila dari Pakuan...", gumamnya dalam hati. "Oh... tidak akan... Saya tidak akan melihat apapun bagian tubuhmu, senhorita. Kamu bukan tipe perempuan kesukaan saya."
Andini melirik tajam kearah sebuah restoran Cina berdinding kayu, yang ada diujung persimpangan pasar yang ramai itu. Dia dapat melihat wajah seorang perempuan cantik berwajah oriental berdiri didepan pintu masuk restoran, melihat kearah mereka. Wajah itu sepintas terlihat mirip dengan wajah Chiaki, bulu tengkuknya meremang. Dia merasa perempuan Cina yang cantik itu memiliki hubungan dengan kakek cabul yang sedang bersama mereka ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Fang Yin 1513 - Buku Tiga
Fiksi Sejarah"Dalam sebuah surat kepada Alfonso de Albuquerque, dari Cannanore, Fernão Pires de Andrade, Kapten armada yang menghalau Pate Unus, mengatakan: Jung milik Pati Unus adalah yang terbesar yang dilihat oleh orang-orang dari daerah ini. Ia membawa serib...