Artizea tampak fokus menatap layar laptopnya.
Tangannya bergerak lincah mengetik huruf demi huruf dan membuat layar yang semula kosong sekarang penuh dengan deretan huruf. Cangkir yang tadinya terisi penuh oleh espresso shot ganda, kini telah tandas.
Gadis muda berparas cantik itu membutuhkan semangat dan energi ekstra untuk menutup sore harinya yang melelahkan. Ia pikir, espresso shot ganda adalah pilihan terbaik. Namun ternyata itu masih tidak cukup. Ia membutuhkan satu cangkir lagi. Sungguh. Hanya satu cangkir.
Ia berniat memanggil pelayan ketika tatapannya menangkap siluet seorang pria yang familiar. Pria itu mendekat dan secara otomatis ia menurunkan tangannya kembali dan batal memesan kopi lagi. Ia tahu tidak mudah mengkonsumsi banyak kopi di depan orang tua.
Kekasihnya, Reyner Dominic, dua puluh tahun lebih tua darinya. Pria yang lebih cocok menjadi ayahnya, kenyataannya menjadi kekasihnya. Itu sebabnya pria itu terus mengomel tentang pola hidup tidak sehat yang ia jalani layaknya orang tuanya.
Artizea sendiri tidak keberatan dengan perbedaan usia yang sangat jauh. Hanya gerutuannya saja yang tidak ia suka, selebihnya ia menyukai semuanya. Lagipula ia selalu menyukai pria yang lebih tua.
Kekasih terakhirnya sebelum Reyner, delapan tahun lebih tua darinya. Begitu juga dengan kekasihnya yang sudah-sudah. Sangat jarang ia berkencan dengan pria yang seumuran.
Pernah satu kali ia berkencan dengan pria yang seumuran dengannya. Mereka tinggal bersama kurang lebih tiga tahun. Mereka saling mencintai, menyayangi, dan hidup rukun di bawah satu atap. Namun ya, pria itu pergi begitu saja, meninggalkannya. Itu sebabnya, ia tidak pernah lagi menjalin hubungan dengan pria sebaya.
Katakan lah ia trauma. Bukan trauma terhadap pria, tetapi trauma menjalin hubungan dengan pria yang usianya tidak berbeda jauh darinya.
Melihat pria itu semakin dekat, Artizea buru-buru mengamankan dirinya, tidak ingin mendapatkan omelan panjang lagi. Sudah cukup dengan rasa lelah di tubuhnya, ia tidak ingin lelah mental juga.
"Hai, sayang." Artizea berdiri dari duduknya dan menyambut pelukan hangat Reyner dengan bahagia ketika pria itu tiba. "Kau sudah datang?" imbuhnya, bertanya.
Reyner, kekasihnya, pujaan hatinya, cintanya, kebanggaannya, kebahagiannya, pria itu sangat tampan. Bahkan di usianya yang sudah empat puluh enam tahun, pria itu masih sangat tampan dan menggoda. Tidak hanya itu, otot perut yang tersembunyi di balik kemejanya juga tidak kalah memukau.
Mungkin karena pola hidup sehat yang pria itu jalani sejak muda. Olahraga serta makanan sehat yang tidak pernah pria itu tinggalkan sehingga dia seolah tidak menua bahkan tampak semakin seksi seiring bertambahnya usia.
"Mm." Reyner mengangguk. "Kau sudah lama menunggu?" Reyner melepaskan pelukannya dan menanamkan ciuman lembut di bibir Artizea. Gadis yang seumuran dengan putranya ini ternyata berhasil mencuri hatinya. Setelah bercerai dengan mantan istrinya sepuluh tahun silam, baru kali ini ia menemukan gadis yang terasa begitu istimewa di hatinya.
Terlepas dari perbedaan usia yang sangat jauh, Reyner tidak peduli tentang hal itu. Baginya, selama Artizea tidak keberatan, baik-baik saja maka.
"Aku sengaja datang lebih awal untuk menyelesaikan beberapa pekerjaan," jawab Artizea sambil mendudukkan dirinya dan Reyner juga mendudukkan diri di sampingnya. Ia sungguh sedang bekerja. Selain menjadi penyiar berita olahraga di sebuah stasiun televisi dan menjadi penulis novel di sebuah platform online, baru-baru ini ia juga berinvestasi di sebuah perusahaan yang di kelola oleh salah satu kenalannya. Hari-harinya tidak bisa dikatakan sangat sibuk, namun ia cukup sibuk.
Reyner merapikan helaian rambut Artizea lalu meletakannya di balik telinganya. "Aku senang kau bekerja keras, Zea," ucapnya. "Namun jangan terlalu memaksakan diri," imbuhnya.
Artizea mengulas senyum tipis. "Terima kasih atas perhatiannya." Ia jarang mendapatkan perhatian dari keluarganya karena mereka tinggal jauh darinya. Orang tuanya tinggal di luar kota sementara kakaknya bekerja dan tinggal di luar negeri. Teman dekat, ia hanya memiliki beberapa teman, pun yang benar-benar dekat hanya satu. Namun dia juga sibuk dengan pekerjaannya dan ia tidak ingin mengganggu kesibukannya.
Reyner tersenyum lembut. "Kalau kau sudah selesai, bisakah kita pergi sekarang?"
Artizea tertegun. "Pergi? Pergi kemana? Bukan kah kita akan berkencan?" Ia tidak ingat Reyner mengajaknya pergi ke suatu tempat, juga ia tidak ingat Reyner pernah mengatakan sesuatu tentang itu. Atau, apakah mungkin Reyner mengatakannya namun ia tidak mendengarnya?
"Putraku kembali dari luar negeri. Aku berkata akan mengenalkannya padamu jika dia pulang. Kau tidak melupakannya, kan?" Reyner tahu Artizea bukan seorang pelupa. Jika gadis itu tidak tahu, jawabannya hanya satu, dia tidak dengar saat ia mengatakannya.
Artizea meringis. "Maaf, aku tidak tahu," jawabnya. Benar, ia tidak mengingatnya. Jelas jika ia tidak mendengar saat Reyner mengatakannya. Ia menutup laptopnya lalu memasukkannya ke dalam tote bag. "Ayo kita pergi." Bertemu putra Reyner adalah hal yang selalu ia nantikan. Ia tidak tahu apapun tentangnya bahkan setelah empat bulan menjalin hubungan dengan Reyner.
Ia hanya tahu putra Reyner tinggal bersama mantan istrinya di luar negeri. Dan ia tidak tahu apapun tentang mereka. Juga, ia malas mencari tahu. Baginya asal hubungan mereka baik-baik saja, masa lalu bukan sesuatu yang harus di cari tahu sampai ke akar-akarnya.
Ia mempercayai Reyner. Sangat mempercayainya.
Namun tetap saja ia ingin tahu tentang mereka jika Reyner sudah membahasnya.
Reyner mengangguk. "Ayo."
KAMU SEDANG MEMBACA
Kekasihku Adalah Ayah Mantanku (END)
Любовные романыArtizea benar-benar bahagia saat menjalin hubungan dengan Reyner, pria yang 20 tahun lebih tua darinya. Baginya, usia bukan masalah dalam sebuah hubungan. Sayang, kebahagiaan yang pikir akan bertahan selamanya hancur setelah kedatangan Diego, mantan...