"Menjijikkan? Menjijikkan ayahmu!" Mendengar perkataan Artizea, Xana hampir muntah darah. Gadis murahan itu selalu bicara tanpa berpikir. Mengatakan ini dan itu seolah dirinya sendiri tidak pernah melakukannya. Padahal di antara mereka, Artizea adalah yang paling menjijikkan.
Artizea terkekeh. Tidak mengatakan apapun lagi.
Mengabaikan perkataan Artizea yang pedas sepedas cabai Afrika, Alan mencium Xana sekali lagi lalu melepaskannya dan mendorong dahi Artizea dengan jari telunjuknya ketika berjalan melewatinya kemudian melangkah pergi meninggalkan apartemen.
Artizea terpaku. "Manusia tercela itu benar-benar kejam," keluhnya. Pria mana yang akan mendorong dahi kekasih temannya dengan begitu enteng? Pria itu benar-benar ringan tangan dan berdarah dingin.
Xana mendudukkan dirinya kembali di samping Artizea. "Kau yang tercela." Seolah tidak terima kekasihnya di ejek, Xana mengembalikan ejekan itu.
"Aku?" Artizea menunjuk dirinya sendiri dengan tidak percaya. "Kenapa aku? Kau tidak lihat apa yang dilakukan kekasihmu kepadaku?"
"Kau pantas mendapatkannya."
"Haish," Artizea mendesis. Ia adalah korban, oke? Benar-benar korban. Hanya manusia berpikiran sempit yang dapat mengubah 'korban' menjadi 'pelaku' dengan mudahnya tanpa mengedipkan mata.
"Lalu kemana kau akan pergi?" tanya Xana kemudian. Ia memainkan botol air mineral di tangannya sembari membayangkan sesuatu yang tidak dapat di bayangkan oleh orang normal.
Pikiran cabul.
Ya, memang apa lagi yang bisa ia pikirkan selain hal-hal erotis? Sesuatu yang menakjubkan, menggairahkan, menyenangkan, hanya dengan membayangkannya bahkan tidak cukup. Mempraktekkannya adalah pilihan terbaik.
Sayangnya pilihan itu tidak tersedia untuk saat ini.
Kekasih tampannya pergi.
Meninggalkannya dalam kesendirian.
Sungguh ironi.
Artizea memutar bola matanya. "Pergi?" Semburat kebingungan muncul di wajah cantiknya. Ia menatap Xana penuh selidik sembari berpikir kapan ia pernah mengatakan akan pergi.
Xana mengangguk. "Uh huh. Merayakan pelarian mu dari lautan kepahitan," ucapnya. "Bukan kah bepergian ke tempat yang jauh adalah hal yang selalu kau lakukan saat patah hati? Saat kau putus dengan Diego, Corbyn, Raphael, Drake, Dariel, Gael, Dean, dan Gunner, kau melakukan hal serupa, bukan?" Xana menyebutkan satu persatu nama mantan pacar Artizea dengan mudah seolah sedang mengabsen karyawan baru yang tidak berguna, namun di sisi lain ia memutar otaknya dan berpikir keras barangkali ada salah satu nama yang terlewat.
"Wah." Artizea bertepuk tangan. "Kau bahkan mengingat mantan pacarku lebih baik daripada aku." Ia tidak bisa menyembunyikan kekagumannya. Meski ingatannya tidak terlalu buruk, ia jarang bahkan tidak pernah memikirkan pria-pria yang pernah menjalin hubungan dengannya.
Tidak hanya itu, Xana bahkan mengingat urutannya dengan baik dari pacar pertama hingga pacar terakhir sebelum Reyner.
Sungguh prestasi yang tidak layak di sebut.
"Tentu saja, aku memiliki ingatan yang bagus." Bukannya merendah, Xana justru meninggi.
Bibir Artizea berkedut. Kebanyakan orang akan mulai mengemukakan segala macam teori dan konspirasi saat ini, tetapi ia telah mempelajari banyak hal selama bertahun-tahun. Ia tidak memiliki imajinasi gila seperti itu. Tetapi ia suka menonton film, terutama yang klise.
Karakter seperti Xana adalah tipe murahan yang akan mendukung kapitalis. Berjiwa bebas dan sangat tidak tahu malu. Itu sebabnya jenis wanita seperti itu tidak di rekomendasikan untuk di nikahi.
"Hei, sekarang pikirkan, berdasarkan apa yang terjadi, dari rentetan peristiwa, apa kau masih berharap Reyner kembali?" Xana kembali angkat bicara setelah cukup lama hening.
Artizea memutar bola matanya. "Memang salah jika aku berharap dia kembali?"
Xana menggelengkan kepala. "Astaga, kau benar-benar naif," ucapnya. "Kau tahu, takdir dengan kombinasi faktor yang aneh akan selalu mengubah orang terdekat mu menjadi orang asing. Jika seseorang menginginkan sesuatu, mereka harus melepaskan hal-hal lain."
Perkataan Xana membuat sinar kecil harapan di hati Artizea segera layu. Tentu saja, ia benar-benar tidak berharap apa yang Xana katakan benar. Tetapi suara dingin Reyner ketika berbicara dengannya malam kemarin sepertinya memperingatkannya untuk tidak mengharapkan hal lain. Itu saja sudah cukup sulit, bagaimana mungkin hal-hal berkembang ke arah yang tidak semestinya?
Menyadari itu, Artizea buru-buru berkata, "Aku akan membeli tiket pesawat." Pada akhirnya Xana benar. Ia harus mempersiapkan diri untuk kemungkinan terburuk. Dan sebelum hal buruk itu terjadi, ia perlu terbang ke negara lain untuk memperbaiki suasana hati.
Xana tersentak. "Secepat itu?"
Alis Artizea bertaut.
"Maksudku, secepat itu kau memutuskan untuk pergi?" tanya Xana. Padahal beberapa detik yang lalu, gadis itu bersikeras untuk tidak pergi. Siapa sangka hanya dengan beberapa patah kata pesimis, gadis itu langsung memutuskan untuk pergi? Sungguh di luar dugaan.
"Ya." Artizea mengangguk.
"Baiklah," jawab Xana. "Kau sangat berdedikasi." Setengah mencemooh. "Lalu, apa kau sudah memutuskan kemana kau akan pergi?"
"Aku akan mengambil cuti dan pergi mengunjungi Alecto," jawabnya tanpa berpikir. "Sudah cukup lama sejak aku bertemu dengannya. Aku sedikit merindukannya." Kepalanya tertunduk dan melihat kuku jarinya yang berwarna putih keperakan.
"Wah, alasan yang sempurna," ujar Xana sembari bertepuk tangan. "Kau berhasil menutupi pelarian mu dengan mengunjungi Alecto di Dubai. Haruskan aku memberimu acungan jempol?"
Artizea terkekeh. "Tidak perlu," tolaknya. "Kau sudah bertepuk tangan, untuk apa kau memberikan acungan jempol?"
Xana cemberut. Hampir menyentil dahi Artizea namun ia menahan diri untuk tidak melakukannya.
"Lagipula, aku selalu memiliki alasan untuk setiap kepergian ku," lanjut Artizea. Meski tidak selalu pergi ke Dubai dan mengunjungi Alecto, namun ia selalu memiliki alasan untuk setiap kepergiannya ke luar negeri. Entah untuk melihat konser atau apa pun, selalu ada alasan untuk melakukannya.
"Ya, kau benar," Xana mengangguk. Ia menoleh dan menatap ke luar jendela. "Seseorang membutuhkan alasan untuk setiap hal yang di lakukan."
***
Tidak menunggu besok, Artizea membeli tiket pesawat dan malam harinya ia pergi ke bandara untuk terbang ke Dubai. Tidak ada orang yang tahu tentang kepergiannya selain Xana dan kekasihnya, Alan. Bahkan ia pun tidak memberitahu Reyner.
Ia sudah memutuskan untuk menjauh dari pria itu selama beberapa waktu. Lebih tepatnya sebelum Reyner menghubunginya dan memintanya datang. Sebelum itu, ia sudah bersumpah tidak akan menemui pria itu lagi terlepas dari apapun alasannya.
Berkendara menuju bandara, Artizea duduk dengan tenang di kursi belakang. Sementara Alan mengemudi, duduk di sampingnya adalah Xana.
Gadis cantik berambut panjang itu terus menatapnya dari waktu ke waktu seolah tidak rela ia pergi.
Lucu sekali.
Ia hanya pergi selama beberapa hari untuk berlibur. Tapi ekspresi yang gadis itu tunjukkan seolah ia akan pergi selamanya dan tidak akan pernah kembali.
Benar-benar gadis yang sulit di mengerti dan tidak terduga.
"Kau sudah memberitahu Alecto tentang kepergian mu?" celetuk Xana. Suaranya yang tenang memecah keheningan di dalam mobil. Khawatir dengan gadis di sampingnya, ia menggenggam tangannya erat sepanjang perjalanan. Tidak hanya itu, tatapannya juga tidak lepas dari sosok itu.
Jika ada orang lain yang melihat, mereka tentu akan berpikir ia dan Artizea adalah sepasang kekasih yang saling mencintai dan tidak rela berpisah walau untuk satu menit. Untungnya tidak ada orang lain di sini. Hanya Alan, pun Alan sudah tahu betapa ia sangat mencintai Artizea lebih dari apapun. Jadi sekalipun melihat, Alan akan berpura-pura tidak melihat apa-apa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kekasihku Adalah Ayah Mantanku (END)
Roman d'amourArtizea benar-benar bahagia saat menjalin hubungan dengan Reyner, pria yang 20 tahun lebih tua darinya. Baginya, usia bukan masalah dalam sebuah hubungan. Sayang, kebahagiaan yang pikir akan bertahan selamanya hancur setelah kedatangan Diego, mantan...