Bab 33 ~ Deja Vu

99 1 0
                                    

Reyner masih berada di tempat yang sama.

Ia bahkan tidak menoleh saat Artizea pergi.

Ia membiarkan gadis itu meninggalkannya tanpa berniat menghentikannya. Bagaimanapun, ia adalah orang yang jarang marah. Bahkan jika ia marah, kemarahan itu akan datang dan pergi dengan cepat. Ini adalah karakter khas seseorang yang terlalu malas untuk meributkan banyak hal.

Tetapi Artizea benar.

Setiap orang di dunia memiliki rahasia yang tidak ingin mereka ceritakan. Reyner tidak tahu apa yang dipikirkan Artizea. Ia hanya ingin mencari sudut yang tenang untuk mencari ketenangan pikiran.

Ia perlu waktu untuk sendiri.

Ia perlu waktu untuk memikirkan segalanya.

Sementara itu, Artizea pergi dengan pikiran rumit.

Ia keluar dari kamar tidur dan turun ke lantai bawah untuk mengambil air dingin di dapur. Ia membuka pintu kulkas dan mengambil sebotol air mineral namun terkejut setengah mati ketika melihat seseorang berdiri tepat di belakang pintu kulkas saat ia menutupnya.

Artizea menjerit. "Ah.." Nyaris ia melempar botol air mineral di tangannya untuk menghantam sosok di depannya. Namun setelah tahu itu hanya Diego, ia meraung. "Apa yang kau lakukan, keparat?" Untung rem tangannya berfungsi dengan baik, jika tidak ia yakin wajah Diego sudah hancur karena pukulannya.

Melihat Artizea terkejut, Diego terkekeh. "Aku hanya mengkhawatirkan mu," jawabnya. Ia bertingkah alami, seolah yang tadi mencumbu Artizea bukan dirinya, seolah yang tadi tertangkap basah bukan dirinya, seolah penyebab Artizea seperti ini bukan dirinya.

Ia benar-benar pria tidak tahu malu.

Tetapi siapa peduli?

Ia cukup puas dengan gelar itu.

Artizea mendesah. Kegilaan Diego memang tidak ada obat. Enggan memikirkan, ia menarik kursi lalu mendudukkan dirinya. "Khawatirkan saja dirimu sendiri," ucapnya sinis. Kekacauan itu, semuanya terjadi karena Diego. Mustahil ia tidak kesal dengan pria itu. Namun ia sedang tidak ingin marah-marah atau memarahi seseorang. Sekarang ia hanya ingin memadamkan gejolak di hatinya.

Artizea membuka tutup botol air mineral lalu menenggaknya hingga tandas. Nafasnya terengah namun ia merasa jauh lebih baik, seakan seperempat beban di pundaknya telah terangkat.

Tidak puas dengan perkataan Artizea, Diego berkata, "Di khawatirkan oleh ku adalah suatu kehormatan." Ia menarik kursi di samping Artizea lalu mendudukkan dirinya. Melihat wajah samping Artizea, ia menatap sisa air putih di sudut bibirnya. Tanpa sadar ia ingin mengusapnya dengan bibirnya.

Namun tentu saja ia tidak senekat itu untuk melakukannya.

Ia masih menyayangi nyawanya.

Ia masih belum ingin mati.

Artizea sedang marah, dan jangan berani mengganggu harimau betina yang sedang marah. Karena tidak hanya akan tergigit, tetapi juga akan di makan sampai habis tak tersisa jika sampai memprovokasinya.

"Kalau begitu aku minta maaf karena tidak bisa menerima kehormatan itu." Artizea menjawab acuh. Ia sedang tidak baik-baik saja. Dan ia tidak ingin memperburuk suasana hatinya.

Keadaan hening untuk sementara waktu.

Tidak tahan dengan keheningan yang semakin lama terasa semakin aneh, Diego berinisiatif buka suara. "Kau sedih karena gagal menyakinkannya?"

Artizea menoleh. "Hei, kau lupa, kau penyebab semua ini terjadi." Jika bukan karena Diego, segalanya tidak akan serumit ini. Perkara ia sedih atau tidak, kalau pun sedih, bukan karena ia gagal meyakinkan Reyner tetapi karena ia takut hubungan baik yang sudah mereka jalin akan berakhir di sini, detik ini, karena seorang Diego. Hanya karena Diego, dan itu menyebalkan.

"Jangan mengalihkan pembicaraan. Aku tanya, kau sedih atau tidak?" tanya Diego. Meski bagus jika Artizea berpisah dengan ayahnya, tapi tidak bagus jika Artizea tidak kembali padanya.

"Apa aku terlihat sedang bahagia?" Suaranya lesu. Jelas ia tidak sedang bahagia. Namun sejujurnya ia juga tidak sesedih itu. Ia hanya sedih. Kesedihan yang sama jika putus dengan kekasihnya. Dengan berlibur ke suatu tempat selama satu minggu penuh, ia yakin kesedihannya akan berakhir.

Namun sekarang ia sedang tidak ingin berlibur ke tempat yang jauh, juga tidak ingin bepergian kemana pun. Sekarang ia hanya sedang ingin menikmati kesedihannya, seorang diri, tanpa gangguan.

"Tapi kau tidak sesedih itu," Diego menimpali. Berdasarkan apa yang ia lihat, Artizea seperti sudah terbiasa berada di posisi ini. Bukan posisi ketahuan selingkuh, tetapi posisi putus dengan kekasihnya.

Artizea melotot. "Tahu apa kau?"

"Jangan marah." Diego mengulurkan tangan dan menepuk perlahan bahu Artizea. "Aku hanya bicara. Kalau tidak ya sudah. Tidak perlu marah." Wanita jika marah terkadang sangat memusingkan. Dan ia adalah tipe pria tidak sabar yang mustahil baginya untuk meredakan amarah seorang wanita.

Tidak memperburuk keadaan saja sudah untung, masih berharap ia meredakan amarah seorang wanita? Bahkan dalam mimpi pun ia tidak bisa. Jadi jangan berekspektasi tinggi padanya.

"Diam kau, brengsek," Artizea meradang. Ia adalah orang yang cukup sabar. Namun jika bersama Diego ia bisa kehilangan semua kesabarannya.

"Oh.." Diego mengangkat tangan layaknya narapidana. "Maaf," ucapnya. Namun tidak ada sedikit pun penyesalan yang tampak dari wajahnya. Seolah ia akan melakukannya lagi dan lagi dan tidak akan pernah menyesalinya.

Artizea melakukan gerakan memukul namun tidak benar-benar memukul. "Jangan bicara lagi, bodoh!"

"Oke, oke, aku diam."

Keadaan kembali hening.

Setelah cukup lama merenung dan mengasihani diri sendiri, Artizea bangkit dari duduknya.

Melihat ini, Diego meraih pergelangan tangannya. "Mau kemana kau?" tanyanya.

"Pulang," jawab Artizea sembari mengibaskan tangannya. Membuat cengkeraman tangan Diego lepas darinya.

Alis Diego bertaut. Jejak keterkejutan masih ada namun ia tidak ingin menanyakan apa pun. "Mau ku antar?" Sebaliknya, ia justru menawarkan bantuan.

"Tidak perlu." Dengan itu, Artizea melangkah pergi, meninggalkan Diego yang tampak sayu memandangi punggung Artizea yang perlahan menjauh.

***

Artizea kembali ke apartemennya dan keesokan harinya pagi-pagi sekali ia pergi ke apartemen Xana.

Tanpa repot menekan bel dan mengabaikan etiket dasar sebagai tamu, Artizea menekan password dan masuk tanpa ragu. Namun ketika membuka pintu kamar tidur, pemandangan yang tampak di depan matanya seperti deja vu.

Bibirnya berkedut.

Pemandangan pria dan wanita yang tertidur nyenyak di ranjang di bawah selimut, ia merasakan perasaan familiar segera menghantui. Kemarin ia mengalami ini dan sekarang ia mengalami ini lagi. Benar-benar sial melihat pasangan mesum di tempat tidur, lagi dan lagi.

"Sial. Apa kau kecanduan mengintip orang tidur?" Mengetahui bahwa seseorang masuk ke kamar tidurnya dan itu adalah orang yang sama, lagi, Xana melempar bantal yang di ambilnya secara acak ke arah Artizea.

Namun lemparan yang tidak akurat, Artizea dapat menghindarinya dengan mudah. Melihat bantal jatuh setelah membentur pintu, bibirnya melengkung membentuk sebuah senyum. "Hei, apa kau merasa ini cukup familiar?"

Tahu Artizea sengaja menghindari lemparannya, Xana meraung, "Familiar pantatmu! Apa kau ingin mati?" Ia memaksa tubuhnya untuk duduk sambil mengutuk Artizea dengan sepuluh ribu kutukan yang berbeda.

"Mati di tanganmu sebenarnya tidak buruk," jawab Artizea.

Xana menggertakan gigi dan menatap artizea dengan tatapan tajam. "Jal*ng ini!"

Artizea terkekeh. "Arahkan kata-kata itu untuk dirimu sendiri." Ia berniat pergi namun sebelum menutup pintu, ia berkata, "Aku akan menunggu di sofa. Kalian, sebaiknya jangan berpikir untuk melakukan sesuatu yang menyita banyak waktu." Dengan itu Artizea menutup pintu dan berjalan ke sofa untuk menunggu Xana menyelesaikan apa yang perlu di selesaikan.

Kekasihku Adalah Ayah Mantanku (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang