Langit yang semula terang mulai meredup.
Sisa-sisa cahaya ditelan sepenuhnya oleh kegelapan. Lampu jalan mulai menyala dan keheningan melanda sepanjang perjalanan.
Keduanya duduk di mobil. Keduanya sibuk dengan pikiran masing-masing. Memikirkan masalah mereka sendiri. Pikiran mereka berada di ujung yang sama sekali berbeda, bahkan mereka tidak berada di jalur yang sama.
Artizea sedang memikirkan putra Reyner. Orang seperti apa dia, bagaimana wajahnya, bagaimana ia harus menyapa, bagaimana jika dia tidak menyukainya, bagaimana jika mereka tidak bisa akrab, ia bingung hanya dengan memikirkan kata pembuka untuk perkenalan mereka, ditambah ketakutan jika dia tidak menyukainya dan menolaknya. Pikiran seperti itu benar-benar mengganggu dan membuatnya menjadi kacau.
Sementara Artizea memikirkan putra Reyner, Reyner justru memikirkan Artizea. Putranya adalah orang yang sulit di ajak berkomunikasi. Dia acuh dan masa bodoh. Ia takut putranya mengacaukan ekpektasi tinggi Artizea. Ia takut anak nakal itu membuat ulah dan menghancurkan segalanya. Jika hal semacam itu terjadi, mungkin kah Artizea membenci dirinya?
Pada akhirnya satu-satunya hal yang Reyner takut kan adalah kehilangan Artizea.
"Seperti apa putramu?" Suara rendah Artizea memecah keheningan di dalam mobil. Ia menatap Reyner dan tidak sabar mendengar jawaban darinya. Ia hanya tahu putra Reyner seumuran dengannya. Reyner sering mengatakan itu. Namun selebihnya ia tidak tahu apapun.
Reyner tersenyum kecil, mencoba mempertahankan ketenangannya. "Dia pendiam dan tidak banyak bicara. Aku harap kau tidak tersinggung dengan apapun yang dia katakan. Maksudku, kami bercerai dan dia kehilangan keharmonisan keluarga. Jika dia bertingkah aneh atau nakal, ku harap kau tidak marah." Untuk saat ini, hanya itu yang bisa ia katakan. Ada sedikit kekhawatiran di hatinya yang tidak mungkin ia tunjukkan apalagi tumpahkan. Ia hanya berharap Artizea puas dengan jawaban ini.
Artizea terdiam. Ia dapat merasakan keanehan dari jawaban Reyner, seolah kecemasan membanjirinya. Pria seperti Reyner, bisakah merasa cemas?
Ia bertanya-tanya dan sedikit penasaran.
Meski tidak bisa di katakan sangat kaya, namun pria itu cukup kaya. Ia pikir orang yang sudah mengalami banyak hal, orang yang sudah merasakan pasang surut kehidupan, orang yang sudah menjalani banyak kisah, orang yang sudah bertemu dengan berbagai jenis orang, tidak lagi merasakan kecemasan yang sering di alami oleh orang seperti dirinya. Namun saat melihat bagaimana Reyner sekarang, agaknya apa yang ia sangka tidak sepenuhnya benar.
Pada akhirnya Reyner tetap manusia biasa yang dapat merasakan berbagai macam emosi. Cemas, khawatir, takut, dia bukan robot. Sehebat apapun dia menutupi perasaannya, sepandai apapun dia menyembunyikan kecemasan dan kekhawatirannya, Artizea bukan orang bodoh yang tidak dapat merasakannya. Hanya saja ia tidak berniat untuk menghibur walau sekedar menghilangkan keresahannya.
Pria seperti Reyner, harga dirinya mencapai langit. Jika ia bertingkah seolah sudah mengetahui segalanya tentang apa yang dirasakan olehnya, pria itu pasti akan merasa tidak nyaman. Alih-alih merasa lebih baik, bisa-bisa dia menjadi marah dan membencinya.
"Aku tahu," jawab Artizea setelah cukup banyak merenung. Keanehan atau kenakalan seperti apa yang bisa ditimbulkan oleh pria dua puluh enam tahun selain acuh, mengabaikan dan tidak peduli dengan orang lain? Selain ketiga hal itu, mungkin tidak ada yang akan dia lakukan. "Bukan kah kau bilang kami seumuran? Mungkin kami bisa lebih saling memahaminya karena usia kami sama." Artizea melanjutkan. Namun meski mengatakan itu sejujurnya ia tidak terlalu percaya diri.
Marcel, putra Reyner adalah seorang pria. Entah karena alasan apa ia punya firasat semua tidak semudah itu. Putra Reyner yang pendiam, mungkin sangat sulit berkomunikasi dengannya. Berbeda jika dia seorang gadis, mungkin mereka bisa berbagi peralatan rias dan pakaian. Dengan begitu mereka mungkin bisa menjadi cepat akrab.
"Ya, ku harap juga begitu," jawab Reyner. Ia menoleh dan menatap gadis cantik yang duduk di sampingnya. Ia tidak pernah cukup sabar untuk mengangumi apapun. Tapi sekarang ia sulit mengalihkan pandangannya dari Artizea.
Wajahnya sangat mempesona. Rambutnya tampak sangat indah. Bulu matanya yang tebal dan gelap bergetar dan detak jantungnya bertambah cepat. Paket lengkap, agaknya ia harus menyebut Artizea seperti itu. Karena selain cantik, gadis itu juga cerdas dan energik.
"Bagaimana dengan pekerjaanmu hari ini? Apa semuanya berjalan lancar?" tanya Reyner tiba-tiba. Ia sibuk bekerja seharian ini, mengabaikan Artizea. Dan ia merasa buruk karena tidak bisa memberikan perhatian kepada gadis itu.
"Semuanya baik-baik saja. Tidak ada sesuatu yang buruk atau tidak lancar. Juga, aku sudah memutuskan untuk menerima tawaranmu tentang tinggal bersama." Artizea mengatakan kalimat terakhir dengan bahagia. Dua bulan kenal dan empat bulan menjalin hubungan, sepertinya ia yakin untuk menerima tawaran Reyner tentang tinggal bersama di rumahnya.
Ia tahu Reyner pria yang baik dan bertanggung jawab. Dengan tinggal bersama, hubungan mereka akan semakin baik seiring berjalannya waktu. Juga, yang terpenting, ia bisa menghabiskan lebih banyak waktu dengan Reyner setelah seharian lelah beraktivitas.
"Oh benarkah?" Reyner terkejut mendengar penuturan Artizea.
"Uh huh." Artizea mengangguk.
"Senang mendengarnya," ucap Reyner kemudian. Ia sudah mengajukan proposal tinggal bersama sejak satu bulan yang lalu. Ia mempresentasikan dirinya dan rumahnya juga manfaat-manfaat besar dan kecil jika tinggal bersamanya. Namun dengan berbagai alasan, Artizea terus menolaknya. Ia pikir gadis itu mungkin belum cukup mempercayainya atau belum siap untuk tinggal satu atap dengannya atau mungkin tidak tertarik dengan penawarannya, jadi ia tidak memaksanya. Namun saat mendengar gadis itu menyetujui permintaannya, ia sangat lega. Lega karena akhirnya gadis itu mempercayainya.
"Haruskah aku membantumu memindahkan barang-barang?" Reyner kembali buka suara, bertanya dengan antusias.
Artizea menggeleng. "Tidak perlu," jawabnya. "Aku akan memindahkannya secara perlahan." Lagipula di rumah Reyner sudah ada barang-barangnya. Pakaian, sepatu, peralatan rias, tas dan barang-barang lain kebetulan sudah berada di sana. Sebagian miliknya dan sebagian Reyner yang membelikannya. Jadi ia hanya perlu membawa dirinya sendiri jika ingin tinggal di rumah Reyner.
Reyner menghela nafas lega. Syukurku hal-hal berjalan sesuai keinginannya. Ia mengangguk. "Aku mengerti," tuturnya. Cukup sulit membujuk Artizea. Ketika gadis itu bersedia dan mau atas keinginannya sendiri, ia tidak mungkin mengacaukannya dengan beberapa patah kata atau hal yang tidak dia suka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kekasihku Adalah Ayah Mantanku (END)
RomanceArtizea benar-benar bahagia saat menjalin hubungan dengan Reyner, pria yang 20 tahun lebih tua darinya. Baginya, usia bukan masalah dalam sebuah hubungan. Sayang, kebahagiaan yang pikir akan bertahan selamanya hancur setelah kedatangan Diego, mantan...