Artizea menghela nafas panjang. "Jadi begitu." Meski tidak terkejut dengan apa yang Reyner katakan namun dalam hati ia sedikit kesal. Sudah ia duga kedatangan Diego ke sini tidak sesederhana itu. Namun anehnya ia tidak mendapatkan firasat apapun.
Pria itu tidak hanya datang, tetapi juga akan tinggal di sini.
Sekarang ia bingung, tidak tahu harus bagaimana.
Bertemu Diego adalah sebuah kesialan, lalu apa kabar jika mereka tinggal di bawah satu atap, lagi? Itu bukan lagi kesialan, tetapi nenek moyangnya kesialan, leluhurnya kesialan, atau apapun sebutannya, intinya seperti itu.
"Mm." Reyner mengangguk. "Tidak apa-apa, kan? Kau tidak keberatan? Jika kau merasa tidak nyaman, aku akan membicarakannya lagi dengannya." Artizea baru saja setuju tinggal bersamanya. Jika tiba-tiba putranya juga tinggal, ia takut gadis itu mungkin merasa tidak nyaman.
"Tidak, tidak perlu mengatakan apapun," sahut Artizea. "Jika dia ingin tinggal, biarkan saja seperti itu. Aku tidak keberatan, sungguh. Aku justru senang karena bisa lebih dekat dengan putramu. Juga, kau sangat merindukannya, kau bisa menghabiskan lebih banyak waktu dengannya." Ia merasa ingin muntah saat mengatakannya. Menjadi lebih dekat dengannya? Hal seperti itu tidak akan pernah terjadi, hal seperti itu tidak akan pernah datang. Sangat dekat di masa lalu sudah cukup, sekarang ia tidak ingin menjadi dekat lagi.
Apalagi pria itu masih sama, sangat mesum.
Bahkan setelah Diego tahu ia kekasih ayahnya, si brengsek itu masih menciumnya. Tidak hanya itu, dia bahkan memaksanya untuk menyentuh miliknya yang menegang.
Jika bukan cabul, lalu apa namanya?
Membayangkan perilaku tidak bermoralnya, ia semakin ingin menjauh darinya. Lagipula bagaimana mungkin orang seperti itu menjadi calon anak tirinya? Jika hal itu sampai terjadi, dunia benar-benar berada di ujung kehancuran.
"Sungguh? Kau sungguh tidak keberatan dengan itu?"
Artizea mengangguk. "Uh huh." Artizea menghentikan langkah ketika sudah mencapai dapur. Kemudian yang ia lakukan selanjutnya adalah mengapit ponselnya di antara bahu dan wajahnya. Sementara itu tangannya bergerak cepat mencari wadah berukuran sedang. Setelah mendapatkannya, ia segera mengisinya dengan air.
Sembari menunggu air penuh, ia mencari merica di lemari dan menaburkannya ke dalam wadah tadi. Tidak cukup hanya dengan satu, ia kembali mencari merica yang lain. Untungnya masih ada satu dan ia menaburkan semuanya tanpa ada yang tersisa.
Sekarang air mericanya sudah siap.
Seperti yang pernah ia katakan bahwa ia akan menyiram Diego dengan air merica jika sampai melihat pria itu lagi. Karena di pertemuan pertama ia gagal melakukannya, ia tidak akan gagal di pertemuan kedua.
Kali ini ia benar-benar akan menyiramnya menggunakan air merica yang sudah ia siapkan sepenuh hati. Anggaplah sebagai hadiah pertemuan mereka, juga hadiah selamat datang.
Hehe..
Ia menyeringai, puas, tidak sabar menunggu saat itu tiba.
"Terima kasih, sayang. Terima kasih banyak. Aku mencintaimu."
"Mm. Aku juga mencintaimu." Selesai berkata, Artizea segera menutup panggilannya. Ia memasukkan ponselnya kembali ke dalam tas lalu membawa air mericanya dan mengintip sekedar untuk memastikan apakah Diego masih di depan pintu atau tidak.
Semoga dia tidak pergi, doanya sepenuh hati.
Untuk pertama kalinya ia berharap agar bajingan itu tidak pergi. Bukan karena ia ingin bertemu dengannya, namun karena ia tidak ingin air mericanya sia-sia.
Untungnya Diego benar-benar masih di sana, berdiri di depan pintu tampak menunggunya membukakan pintu. Jika demikian, baguslah, setidaknya air mericanya tidak terbuang sia-sia.
***
Diego menunggu dengan kesal.
Ia tidak berhenti mengabsen satu persatu penghuni kebun binatang beserta pawang-pawangnya.
Ia tidak tahu apa yang Artizea lakukan di dalam sana. Entah dia membunuh orang dan memutilasinya terlebih dahulu untuk menghilangkan jejak atau sedang memasukan kue ke dalam oven, ia tidak tahu. Namun satu hal yang pasti, ia benci menunggu.
Ia tidak suka seseorang membuang waktunya dan membuatnya menunggu, ia tidak suka seseorang membanting pintu di depannya dan tidak membiarkannya masuk. Padahal sudah jelas ini rumah ayahnya. Namun seseorang yang tidak ada sangkut pautnya dengan rumah ini bertingkah seolah dia adalah pemilik sah.
Benar-benar tidak tahu diri.
Ia melihat arlojinya sekali lagi dan wajahnya semakin gelap. "Zea, kenapa kau lama sekali? Apa kau sedang masturb*si?" gumamnya dengan tidak sabar.
Ia hendak mengatakan sesuatu yang lain ketika tiba-tiba pintu terbuka.
Melangkah keluar adalah sosok cantik Artizea. Mengenakan pakaian semi formal, dia membawa sebuah wadah berukuran sedang di tangannya, Diego menatapnya seolah ada badut di depannya, benar-benar tercengang.
Belum sempat Diego tertawa dan mengucapkan kata ejekan, Artizea lebih dulu mengayunkan wadah berisi air mericanya kepada Diego.
Byur.
Seketika tubuh Diego basah kuyup.
Diego menutup matanya saat merasakan rasa perih di matanya. Matanya yang perih dan sedikit panas tidak bisa melihat apapun. Tubuhnya terhuyung-huyung mencoba mencari keseimbangan.
Gagal mendapatkan titik keseimbangan, Diego menggeram. "Sialan! Apa ini?" teriaknya. Dari aroma dan sensasi aneh di sekujur tubuhnya, ia tahu apa yang Artizea siramkan. Air merica.
Sial.
Berani sekali gadis itu.
Diego meraba-raba udara, berharap menemukan Artizea untuk ia beri pelajaran. Namun tidak peduli sebanyak apa ia mencari, ia tidak dapat menemukan apapun selain udara.
Selesai merealisasikan aksinya dan melihat tingkah menyedihkan Diego, Artizea menyeringai dan melemparkan wadahnya secara asal. "Itu adalah hadiah selamat datang dariku," ucapnya, puas. "Kenapa? Kau tidak suka?" Ia sengaja merendahkan suaranya seolah merasa kasihan pada harimau jantan yang basah kuyup di depannya.
Namun daripada kasihan, kenyataannya Artizea menganggap Diego tidak lebih dari binatang sirkus. Layak untuk di tonton dan di tertawaan.
Diego menggertakan gigi. "Kau berani?"
"Ya," jawab Artizea. "Tentu saja. Kau pikir aku tidak?" Diego yang memulai perang. Ia hanya pihak yang menerima dan menanggapi. Jadi kenapa ia harus takut? Daripada takut, ia justru sangat bersemangat.
"Zea!" bentak Diego.
"Ya, aku di sini. Kenapa kau terus memanggilku?" Artizea benar-benar menganggap Diego seperti lelucon. Tidak ada sedikit pun ketakutan atau belas kasihan dalam hatinya. Melihat Diego menderita adalah impiannya. Semakin menderita semakin bagus.
"Kau masih bisa berbicara santai setelah melakukan ini padaku?" Diego meledak karena amarah.
Mengabaikan raungan Diego, Artizea melihat jam tangan yang melingkar pada pergelangan tangannya. "Sebenarnya aku sangat ingin membantumu, Diego, tapi sayang sekali, aku harus pergi sekarang." Tidak lupa ia membuka lebar pintunya agar Diego bisa masuk ke dalam. "Ah, kau tenang saja, aku tidak akan menutup pintunya. Aku tidak mungkin membuat anak kekasihku terlunta-lunta di jalanan seperti gelandangan. Tidak perlu berterima kasih. Aku melakukannya dengan tulus. Balas nanti ketika kau sukses." Selesai mengatakan itu Artizea berjalan dengan elegan menuju salah satu mobil Reyner yang terparkir di halaman. Kemudian ia masuk ke dalam mobil dan melajukannya meninggalkan kediaman. Meninggalkan Diego yang masih terombang-ambing seperti sehelai bulu yang tertiup angin.
Mendengar deru mobil perlahan menjauh, Diego kembali memaki. "Brengsek!" Ia tidak menduga Artizea berani melakukan hal ini terhadapnya. Bukannya kata-kata hangat atau sambutan meriah yang menyambutnya, tetapi justru guyuran air yang membuatnya basah dengan sensasi panas di kulitnya.
Sial.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kekasihku Adalah Ayah Mantanku (END)
RomanceArtizea benar-benar bahagia saat menjalin hubungan dengan Reyner, pria yang 20 tahun lebih tua darinya. Baginya, usia bukan masalah dalam sebuah hubungan. Sayang, kebahagiaan yang pikir akan bertahan selamanya hancur setelah kedatangan Diego, mantan...