"Yellow diamonds in the light, now we're standing side by side." Dalam suasana hati yang baik, Artizea melangkah perlahan sambil menyenandungkan lagu favoritnya. Sebenarnya suaranya tidak terlalu buruk jika bernyanyi dengan nada rendah. Setidaknya jangan biarkan orang lain mendengar.
Ia tampak bahagia dan sedang dalam suasana yang baik.
Bukan tanpa alasan, alasannya sejelas siang hari.
Rencana yang bahkan tak terpikirkan, satu persatu kejadian tak terduga, berjalan dengan baik. Dari pagi hingga siang hari keberuntungan serasa melilitnya. Membuatnya merasa seolah semua kebahagiaan hari ini tercurah sepenuhnya untuknya.
Betapa senangnya.
Namun baru satu langkah memasuki rumah, bahkan belum sempat menutup pintu, kesialan yang seharusnya tidak datang tiba-tiba terjadi.
Bunga-bunga yang mekar di taman tiba-tiba layu dan apel di pohon yang semula baik-baik saja tiba-tiba kusut. Keberuntungan seketika lenyap jika sudah menyangkut satu nama, jika berhubungan dengan satu orang, hanya satu orang namun mengandung kesialan bertubi-tubi hingga tujuh turunan.
Diego.
Siapa lagi jika bukan dia?
Diego yang sudah mengintai sedari tadi, ketika mendengar deru mobil Artizea memasuki halaman, segera mengunci mangsanya. Tidak hanya diam dan berpangku tangan, ia mulai bergerak sesuai rencana. Selesai menyiapkan hadiah balasan untuk Artizea, ia bersembunyi di dekat pintu dan siap menerkam jika gadis itu memasuki rumah.
"As your shadow crosses mine, what it takes to come alive." Sedang sibuk bernyanyi, Artizea terkejut saat tubuhnya tiba-tiba terangkat dan melayang di udara.
Diego menyeringai ketika berhasil mendapatkan Artizea. Kena kau, batinnya. Kemudian ia membawa gadis itu menuju kamar tidurnya.
Tubuhnya yang kekar tidak kesulitan mengangkat Artizea yang ramping. Terlebih gadis itu juga lebih pendek darinya. Membawa Artizea, bukan sebuah kesulitan. Kecuali jika gadis itu berontak dan tidak patuh.
Terkejut, tidak, sangat terkejut, Artizea menjerit. "Ah!!!" Jeritannya begitu keras dan memekakan telinga. Jika suara bisa membunuh, Diego mungkin sudah mati berpuluh-puluh kali. Namun Artizea mana peduli? Entah jeritannya keras atau terlalu keras, ia tidak punya waktu untuk memikirkan.
Ia panik, dan ya, orang panik biasanya terlalu emosional hingga membuat seseorang menjadi membeku, tidak berkutik dan cenderung tidak bisa bereaksi cepat.
Segera Diego membungkam teriakan Artizea dengan bibirnya. "Diam, b*tch!" bentaknya. Setelah berhasil membuat Artizea diam, ia menggelengkan kepala. Benar-benar hanya ciuman yang mampu membuatnya diam. Setidaknya untuk saat ini.
Eh? Artizea tercengang.
Merasakan bibir dingin yang menempel di bibirnya, juga suara yang familiar, ia menoleh dan apa yang memenuhi garis pandangnya adalah fitur wajah tampan yang tampak serius.
Menyadari itu hanya Diego, bukan penculik, pencuri atau pelaku kejahatan, Artizea meraung. "Sial, kenapa kau mencium ku? Dasar bajingan. Apa yang kau lakukan? Turunkan aku sekarang juga! Cepat turunkan! Apa kau psikopat?" Artizea bukannya menutup mulut seperti yang Diego perintahkan, justru meraung, memukul-mukul dan meronta sambil melontarkan sumpah serapah yang tak terhitung jumlahnya.
Tertangkap padahal merasa diri paling aman, Artizea menjadi kesal. Selain kesal karena tiba-tiba seseorang menangkapnya, ia juga kesal karena Diego baik-baik saja. Pria itu seharusnya tenang di kamarnya untuk beberapa saat. Setidaknya sampai nanti Reyner pulang.
Tetapi siapa sangka pria itu baik-baik saja bahkan setelah ia menyiramnya menggunakan air merica?
Bukan kah sama saja jika rencananya gagal?
Ah, sial.
Sial sekali hidupnya, sial sekali dirinya.
Diego yang sudah menyimpan dendam, bagaimana agar ia bisa lolos dari lingkar balas dendamnya? Bisakah ia? Bisakah? Apakah ia bisa?
Seketika ia jatuh ke dalam jurang, frustasi.
"Berhenti bergerak, bodoh. Kau akan jatuh." Bukan Diego namanya jika mematuhi apa yang Artizea katakan. Ia sudah menunggu selama berjam-jam. Menunggu dengan sabar untuk memberinya pelajaran. Karena sekarang Artizea berada dalam genggamannya, ia tidak cukup bodoh untuk melepaskannya.
"Kalau begitu turunkan aku! Sekarang!" Meski tidak memelankan nada suaranya, namun Artizea menjadi sedikit lebih tenang. Ia berada dalam gendongan Diego, jika Diego menjatuhkannya, ia tidak tahu bagaimana nasibnya nanti.
Apakah ia akan hidup atau mati, Diego adalah penentunya.
Ia juga bukan orang yang tidak tahu diri.
Seperti yang pernah ia katakan, selain nekat, bejat dan kuat, Diego selalu merasa dirinya yang paling benar. Tidak peduli berapa banyak kata yang ia ludahkan, tidak peduli berapa banyak kalimat yang ia muntahkan, Diego hanya mempercayai apa yang dia lihat dengan mata kepalanya sendiri, dia hanya akan menyakini apa yang dia pikir benar.
Karena baginya, manusia lain hanyalah ornamen. Sedangkan ia adalah orang yang kebetulan lewat di hidupnya.
"Dalam mimpimu," sahut Diego. Ia tidak menghentikan langkah. Jangankan menghentikan, mengendur pun tidak. Ia tahu Artizea gadis yang cukup gigih. Di balik kekeraskepalaan nya, dia adalah gadis yang memiliki banyak akal licik.
Seperti yang dia lakukan pagi ini, menyiramnya menggunakan air merica. Hal-hal keji seperti itu, skema licik tidak manusiawi, semua hal-hal itu, hanya bisa dipikirkan oleh otak tumpul Artizea. Otak tumpul yang tidak sekalipun terasah.
"Kalaupun tidur, aku juga tidak akan memimpikan itu." Kini Artizea sudah menjadi patuh, sepenuhnya. Ia tidak lagi bergerak. Lebih tepatnya tidak berani bergerak. Diego menaiki tangga dan ia yakin pria itu akan menjatuhkannya ke bawah jika ia masih keras kepala.
Ia sangat menyayangi nyawanya.
Sungguh. Demi apapun ia tidak ingin kehilangan nyawanya. Kalaupun hilang, ia ingin mati dengan cara yang sedikit lebih keren. Tidak di tangan Diego dengan cara yang menyedihkan.
"Kalau begitu, jangan tidur agar kau tidak perlu memimpikannya," balas Diego, tidak mau kalah.
Artizea menggeram. "Dasar bajingan."
"Dan bajingan ini akan menunjukkan apa arti bajingan yang sebenarnya kepadamu." Bersamaan dengan berakhirnya perkataannya, ia sudah berhasil mencapai kamar tidurnya. Ia membuka pintu dan Artizea mengerutkan kening pada udara dingin yang menyapa wajahnya.
Seluruh kamar tidur Diego sedingin rumah es.
Setelah menutup pintu dan menguncinya, Diego segera membawa Artizea ke kamar mandi.
Tahu apa yang Diego rencanakan juga apa yang akan dia lakukan, mata Artizea membulat dengan pikiran rumit. "Diego, kumohon. Jangan lakukan ini." Artizea berkata dengan suara rendah. Ia meronta dan mencoba melepaskan diri namun sebanyak apapun ia berusaha, ia tetap bukan tandingan Diego.
Diego mendekatkan wajahnya ke telinga Artizea. "Kenapa? Kau takut?" bisiknya dengan suara rendah.
Tubuh Artizea menegang. Perlu beberapa saat baginya untuk menjawab. "Aku mudah flu, Diego. Kau juga tahu itu, kan?" Meski tahu, Artizea yakin Diego tidak peduli. Melihat bagaimana tekad yang kuat tampak dari wajah Diego, ia tahu Diego akan melakukannya.
Diego mengangkat bahu. "Entahlah, aku tidak mengingatnya." Bersamaan dengan berakhirnya perkataannya, ia sudah mencapai kamar mandi.
Melihat bongkahan es mengapung di bak mandi, juga udara dingin yang sebelas dua belas dengan kutub Utara, Artizea yang semula panik semakin panik. "Diego!"
Mengabaikan penolakan Artizea, Diego menjatuhkan tubuh Artizea ke bak mandi. "Nikmati hadiahmu, b*tch."
KAMU SEDANG MEMBACA
Kekasihku Adalah Ayah Mantanku (END)
RomanceArtizea benar-benar bahagia saat menjalin hubungan dengan Reyner, pria yang 20 tahun lebih tua darinya. Baginya, usia bukan masalah dalam sebuah hubungan. Sayang, kebahagiaan yang pikir akan bertahan selamanya hancur setelah kedatangan Diego, mantan...