Bab 23 ~ Kehangatan Selaput Lendir Paling Rahasia

319 3 0
                                    

Artizea melepas kacamata renangnya dan menatap Diego dengan curiga.

Setelah semua yang terjadi, ia tidak menyangka yang Diego tanyakan adalah Gunner, mantan kekasihnya. Kenapa? Kenapa dia menanyakannya? Mau di pikirkan berapa banyak pun, itu sangat mencurigakan.

"Aku hanya ingin tahu," jawab Diego. "Kenapa? Tidak boleh?"

Artizea terdiam. Bukan Diego tidak boleh bertanya, bukan juga ia tidak bisa menjawab. Lebih dari itu, tidak ada yang bisa di bahas tentang pria itu.

"Apa sangat sulit?" tanya Diego lagi ketika tidak mendapatkan jawaban dari Artizea.

"Haruskah aku menjawabnya?" Bukan karena terlalu sulit, hanya saja tidak ada yang menarik dari pria itu. Dia seorang koki di sebuah restauran Italia dan memiliki wajah tampan. Dia pintar dan dapat di andalkan. Meskipun memiliki reputasi buruk sebagai playboy, namun pria itu cukup serius dan yang terpenting setia setelah menjalin hubungan.

"Bukankah kau memang harus menjawabnya?"

Artizea kembali terdiam. Situasi aneh macam apa ini? Kenapa Diego memaksa sekali? Apa perkataannya tentang 'tidak berada dalam hubungan dimana kau bisa berbicara leluasa denganku' tidak Diego tanggapi dengan serius?

Melihat Artizea tampak benar-benar enggan menjawab, Diego tidak lagi memaksa. Sebaliknya, ia mengalihkan topik pembicaraan dengan cepat. "Kau tidak ingin tahu apa yang ku lakukan di luar negeri? Misalnya, pekerjaanku, kesibukanku atau aktifitasku?"

Artizea tercengang. Tidak mungkin ia tidak tahu. Reyner berkata dengan bangga bahwa putranya menjadi fotografer mode Prancis. Dia memiliki bayaran yang tinggi karena hasil bidikannya sangat mengagumkan.

Meski tidak banyak bercerita tentang mantan istrinya, namun sesekali Reyner akan menceritakan sesuatu tentang putranya. Hanya bagian kecil, mungkin hanya berupa titik, namun Artizea dapat melihat rasa bangga Reyner begitu besar untuk putranya.

Sekarang, setelah memikirkannya kembali, Diego memang menyukai fotografi sejak dulu. Jika ditanya apa hobinya, selain berkelahi mungkin fotografi. Namun Artizea tidak menduga Diego benar-benar berhasil dengan hobinya. Sesuatu yang tidak terduga.

"Jadi kau sudah tahu?" Diego mengajukan tanya. Menebak bagaimana ekspresi Artizea saat ini, seharusnya iya.

Artizea mengulurkan tangan dan memukul kepala Diego. "Aku berkencan dengan ayahmu? Mana mungkin aku tidak tahu?" Hanya saja, ia tidak tahu bahwa orang yang Reyner ceritakan adalah Diego. Tahu itu Diego, ia tidak akan mendengarkannya dengan seksama.

"Aduh." Diego mengaduh sembari memegangi kepalanya yang terasa sakit. "Jangan pukul kepalaku!" keluhnya.

"Kenapa tidak boleh? Kau tidak lupa kalau kita musuh, kan?" Namun meski berulang kali ia berkata jika mereka musuh, permusuhan mereka tidak seperti permusuhan anak kecil. Permusuhan mereka bisa di katakan tidak seburuk itu dan cukup dewasa. Meski terkadang sedikit keterlaluan, pada akhirnya si pelaku tetap menolong seperti ketika Diego merendamnya di air es.

Pria itu yang membuatnya sakit, pria itu juga yang merawatnya.

Jadi bisa di katakan, meski mereka saling membenci, tingkat kebencian mereka masih bisa di atasi. Bukan yang membawa pisau dan menusuk perutnya, bukan yang membawa senjata api dan menembak kepalanya. Kebencian mereka tidak berada pada tingkat itu.

"Musuh?" Alis Diego berkerut. "Kau masih berpikir kita musuh?" Ia mendekat lalu membungkus Artizea dengan tubuhnya. Membuat tubuh kekarnya melekat erat pada tubuh ramping Artizea. "Jika seperti ini, bukankah kita lebih dekat daripada musuh? Ah tidak, maksudku bukankah hubungan kita tidak seperti anak dan calon ibu tiri?" bisiknya di telinganya, sedikit menggoda.

Artizea terkejut. Merasakan suhu tubuh Diego menempel padanya, tubuhnya menegang. Itu hanya bagian kecil, karena yang terburuk, nafas Diego tepat di telinganya.

Merasakan bahaya di depan mata, Artizea segera memberikan kata-kata peringatan. "Diego, menyingkir dariku sekarang juga." Meski sebuah peringatan, kata-katanya terbilang lunak dan tidak kasar sama sekali, hanya sedikit menekan.

"Kenapa aku harus?" Merasakan tubuh Artizea di tubuhnya, suaranya sedikit bergetar. Artizea adalah godaan terbesar sekaligus terberat dalam hidupnya. Dari dulu bahkan sampai sekarang. Tidak peduli apakah Artizea adalah kekasih ayahnya atau bukan, di matanya Artizea hanya seorang wanita, bukan milik siapapun.

Suhu dingin air di kolam renang, tersamarkan dengan suhu panas tubuh Diego. Ketegangan yang melanda, otot yang perlahan terprovokasi, Diego dapat merasakan sesuatu miliknya mengeras dan hidup. Di bawah kendali Artizea, gadis itu berhasil membangunkan miliknya dengan sempurna.

Merasakan sesuatu menonjol di belakangnya, mata Artizea membulat. "Diego!" bentaknya. Ia memang tahu Diego gila, namun ia tidak menyangka Diego akan segila ini untuk menyentuhnya di rumah orang tuanya yang mana kedatangannya ke sini bersama Reyner. Sungguh konyol berharap Diego bersikap baik dan bermoral. Pria itu, tidak bisa di harapkan.

"Ayolah, bukankah ini keren? Ini milikmu, Zea." Tidak lagi tersembunyi, kini Diego menggoda Artizea secara terang-terangan.

"Kau gila?" Artizea meronta, namun ia bukan tandingan pria itu. Pria itu terlalu kuat. Memang, dibanding Diego, ia memang bukan apa-apa, bukan siapa-siapa. Ibarat Diego adalah gedung pencakar langit, ia hanyalah rumah subsidi, kecil dan minimalis.

"Kau baru tahu?"

"Diego!" suara Artizea meninggi.

"Kenapa? Kau menyukainya, Zea. Kau sangat menyukainya. Kau menyukai saat aku di atasmu dan mencelupkan diriku padamu. Kau tidak ingat berapa kali kau memohon agar aku melakukannya lagi dan lagi? Wajahmu yang memerah di bawahku. Menghabiskan malam yang indah ketika kulit kita bercampur menjadi satu. Rasa itu berkelebat dengan jelas di depan mata dalam sekejap. Berciuman, berpegangan tangan, dan berbagi kehangatan selaput lendir yang paling rahasia." Diego menceritakan kembali kehidupan masa lalu yang pernah mereka lalui. Kenikmatan, gairah serta hasrat yang menggebu seperti semakin banyak minum maka semakin haus. Ia bahkan menginginkannya hanya dengan membayangkannya.

Artizea tercengang. Bisikan cabul di telinganya mengingatkannya pada kehidupan di masa lalu. Diego, bajingan itu memang selalu mengatakan kata-kata mesum saat berc*nta dengannya. Sama seperti isi otaknya yang kotor, mulutnya jauh lebih kotor. Namun semua itu justru menambah gairah dan membakar hingga ia menginginkannya lagi dan lagi.

Ah, sial. Diego gila, benar-benar gila.

"Aku tahu kau menyukainya. Kau selalu memakan milikku tanpa ampun. Kau melarang ku memakai celana lalu melahapnya dan tidak membiarkan ku pergi," Diego kembali buka suara masih dengan kalimat-kalimat kotornya.

"Diego!" Artizea menggertakan gigi menahan amarah.

"Apa? Kenapa kau terus memanggil namaku? Kau ingin melakukannya, di sini, seperti saat itu?" Diego masih belum berhenti. Semakin Artizea marah semakin senang ia. Dan ia tidak berniat untuk menghentikan menggoda gadis itu.

"Diam, brengsek! Kau melontarkan omong kosong yang bahkan tidak aku ingat." Artizea kini di ambang batas kesabarannya. Sebelum ia mengatakan sesuatu yang lain, Diego lebih dulu menempelkan bibirnya pada bibir Artizea.

Segera ciuman panas terjadi.

Kekasihku Adalah Ayah Mantanku (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang