"Aku berbicara tentang ayahku, kenapa kau sensitif sekali?" Ekspresi Diego datar ketika membalas perkataan Artizea. Berbohong dan meninggalkan pasangannya tanpa kata setelah menumpang hidup di rumahnya selama beberapa tahun, sepertinya ia mengenal satu orang yang seperti itu.
Dirinya.
Ya, dirinya.
Ia tinggal di apartemen Artizea.
Namun itu dulu, beberapa tahun yang lalu, ketika ia masih muda. Ia tidak tahu mengapa Artizea mengungkit hal ini ketika yang ia bahas adalah hubungan ayahnya. Bahkan jika itu bukan Artizea, ia masih akan mengatakan hal yang sama. Jadi ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan gadis itu.
Artizea berusaha mengukir senyum. Sensitif sekali? Dirinya? Apa pria itu gila? Ini bukan tentang sensitif atau tidak sensitif. Menghabiskan semua uang yang orang tuanya kirimkan untuk membiayai kehidupan mereka berdua, menumpang di apartemennya, dan meninggalkannya tanpa kata, adalah kesalahan. Tidak. Daripada kesalahan, itu lebih seperti dosa besar.
Pria itu bengkok.
Seandainya ada balok kayu di sekitar sini, mungkin ia sudah memukul kepala Diego untuk memperbaiki kebengkokannya.
Tepat ketika Artizea hendak mengatakan sesuatu, ponselnya tiba-tiba berdering. Ia menatap Reyner dengan meminta maaf sebelum mengangkatnya untuk menjawab panggilan. "Halo." Ia memberikan isyarat untuk pergi dan Reyner mengangguk kecil, mempersilahkan.
Artizea bangkit dari duduknya lalu berjalan menjauh, menuju toilet. "Iya, Mom," jawabnya setelah mendengarkan perkataan panjang lebar ibunya yang berderet tanpa jeda. Ibunya tidak memiliki rem mulut, jika sudah berkata, jangan harap akan ada titik koma.
Artizea menghentikan langkahnya setelah tiba di depan pintu toilet. Dan ia memutuskan untuk tidak masuk ke dalam. Lagipula niatnya datang ke sini bukan untuk buang air, selain karena harus menerima panggilan, ia tidak ingin duduk satu meja dengan Diego. Ia ingin menghindari pria itu dan tidak ingin terlibat lagi dengannya.
"Sebenarnya kau mendengarkan aku atau tidak?" Teresia, ibu Artizea, meraung dari balik panggilan.
Artizea menjauhkan ponselnya dan mendekatkan lagi ke telinga setelah raungan ibunya berakhir. "Aku dengar. Kau memintaku untuk pulang, kan?" Meski tadi tidak terlalu fokus, haram hukumnya mengabaikan perkataan ibunya. Sebagai penguasa rumah nomor satu, jangan kan dirinya, ayahnya yang super garang pun tunduk di bawah kaki ibunya.
"Ya, jadi kapan kau akan pulang?"
"Mm.." Artizea memutar otak, berpikir kapan kiranya ia memiliki waktu luang.
"Jawab saja, jangan bertingkah sok sibuk. Kau pengangguran."
Artizea tercengang. "Pengangguran? Siapa yang pengangguran, Mom? Aku bekerja, tahu!" Meski penghasilannya tidak seberapa, namun uang yang dikirimkan oleh orang tua dan kakaknya setiap bulan sungguh tidak pernah ia gunakan. Ia menyimpan uang pemberian mereka di akun bank yang berbeda.
"Ya, kau bukan pengangguran, kau hanya tidak bekerja."
"Mom." Suara Artizea naik beberapa oktaf. "Berhenti menghinaku. Aku putrimu satu-satunya. Bagaimana bisa kau memperlakukan kesayanganmu seperti ini?" Ia menjeda sebentar kalimatnya dan berniat untuk melanjutkan namun terdiam ketika tangan seseorang menyentuh lalu memeluknya dari belakang.
Bersamaan dengan pelukan itu, sebuah bisikan jatuh di telinga Artizea. "Lihat, bukankah dadamu tumbuh semakin besar? Jika aku mengatakan pada ayahku bahwa aku yang membesarkannya, menurutmu seperti apa reaksinya? Haruskah aku mencoba?" Tangannya merambat ke atas dan berhenti di dadanya. Sembari meremasnya pelan, tatapannya tidak lepas dari gundukan besar yang berada dalam genggamannya.
Artizea membatu. Aroma serta suaranya yang khas, tanpa menoleh, ia tahu siapa itu.
Diego.
Sial.
Apa yang sebenarnya sedang Diego lakukan?
Artizea membalikkan badan, berniat untuk melepaskan diri dari pelukan manusia sampah di belakangnya. Namun karena panggilan telepon masih berlangsung dan suara ibunya masih terdengar, ia gagal mengeksekusi rencananya.
Kelalaian itu, Diego memanfaatkan celah untuk menangkapnya dan menekannya ke dinding. Tubuh bagian depan mereka saling menempel dan ia menekan lututnya di antara paha Artizea.
Posisi ini begitu intim.
Jakunnya bahkan turun tanpa sadar.
Merasakan dorongan yang kuat hingga punggungnya menyentuh dinding, mata Artizea membulat. Ia ingin memaki, memaki dengan keras, melontarkan sepuluh ribu kutukan, mencaci makinya, namun saat ingat ibunya masih berbicara dengannya, ia mengurungkan niat itu.
Pada akhirnya Artizea hanya menatap Diego tajam tanpa mengatakan apapun.
"Jadi, katakan, kapan kau akan kembali?" Suara Teresia masih terdengar dari balik panggilan.
Mengabaikan pria yang mengurungnya di antara lengannya, antara dia dan dinding, Artizea menghela nafas sedikit. "Segera," jawabnya.
"Lebih spesifik."
"Aku akan pulang minggu depan, saat aku libur. Dan.. aku akan memutuskan panggilannya sekarang." Dengan itu, Artizea mematikan sambungan telepon. Suaranya yang tenang berbanding terbalik dengan ujung jarinya yang bergetar. Ia tidak tahu kenapa, namun tindakan yang Diego lakukan saat ini membuatnya sedikit takut.
Siapa Diego, Artizea mengenalnya dengan baik lebih dari siapapun.
Tinggal bersama dan tidur di ranjang yang sama selama tiga tahun, kurang lebih ia mengenalnya luar dan dalam. Mulai dari karakternya, kepribadiannya, tingkah lakunya, dan segala tentang dia, ia hampir tahu semuanya. Selain baik dan perhatian, pria itu bisa melakukan apapun untuk mewujudkan keinginannya dan yang terpenting dia pandai beladiri.
Si brengsek itu, ia yakin dia akan menghalalkan segala cara untuk mengacaukan dirinya. Seperti yang saat ini dia lakukan. Menguntit dan tidak membiarkannya pergi.
Setelah menyimpan ponselnya, Artizea mendongak. "Diego, apa yang kau lakukan? Setelah bertahun-tahun kau pergi, sekarang untuk apa kau kembali? Seharusnya kau tidak kembali. Seharusnya kau tetap di sana dan mati dengan tenang." Meski suaranya rendah namun penuh penekanan. Ia tidak menduga akan mengatakan ini di pertemuan pertamanya dengan Diego setelah bertahun-tahun.
Ini jauh lebih baik. Seribu kali lebih baik.
Maksudnya, ia bertekad untuk menyiramnya dengan air merica jika sampai melihat wajahnya lagi. Karena ini restauran dan pertemuan mereka tidak terduga, ia memutuskan untuk menunda rencana itu.
Lagipula, ia cukup yakin tidak akan pernah bertemu dengan Diego lagi.
Reyner bilang, hanya beberapa hari Diego berada di negara ini. Dan Diego juga tinggal di hotel. Jadi setelah pertemuan ini, ia yakin tidak akan ada pertemuan kedua atau ketiga.
Melihat Artizea marah, Diego tersenyum kecil. "Jika aku tidak pulang, bukankah ayahku akan kecewa?"
"Kenapa kau sangat yakin kekasihku akan kecewa? Ada aku di sisinya, itu sudah cukup. Dia tidak membutuhkan mu. Ada atau tidak adanya dirimu, tidak mempengaruhi apapun." Artizea tidak ingin menjadi ibu tiri yang kejam. Ia sudah bersumpah di dalam hati. Namun jika anak tirinya adalah Diego, justru berdosa jika tidak menjadi kejam.
Perang di antara mereka tidak akan berhenti.
Tidak akan pernah.
"Berhenti mengatakan omong kosong, Zea," ujarnya. "Jujur saja, kau senang aku pulang, bukan? Mengingat seperti apa masa lalu kita, kau pasti merindukanku. Apa aku benar?"
Artizea menghela nafas kasar. Ia tidak tahu darimana kepercayaan diri Diego berasal. Namun merindukannya adalah satu-satunya hal yang tidak mungkin ia rasakan. Selain kebencian, tidak ada perasaan lain yang tersisa di hatinya.
Ia sudah menghapus perasaannya.
Yang tersisa hanya panas, lalu perlahan mendingin dan mendingin. Kemudian ia mendinginkannya lagi hingga hanya amarah dingin yang tersisa. Jadi selain menjauh dan mengabaikannya, tidak ada hal lain yang ia pikirkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kekasihku Adalah Ayah Mantanku (END)
Любовные романыArtizea benar-benar bahagia saat menjalin hubungan dengan Reyner, pria yang 20 tahun lebih tua darinya. Baginya, usia bukan masalah dalam sebuah hubungan. Sayang, kebahagiaan yang pikir akan bertahan selamanya hancur setelah kedatangan Diego, mantan...