Reyner memeriksa kondisi Artizea terlebih dahulu sebelum memindahkannya ke kamar tidurnya. Kemudian yang ia lakukan selanjutnya adalah memanggil dokter. Meski suhu tubuh Artizea di bawah tiga puluh delapan derajat Celsius, namun ia tahu daripada hanya memberinya obat penurun panas, akan lebih baik jika dia di periksa langsung oleh dokter.
Untungnya tidak ada masalah serius dengan tubuh Artizea.
Dokter bilang, gadis itu hanya kelelahan dan membutuhkan lebih banyak istirahat untuk memulihkan diri. Juga, tetap berada di suhu yang hangat, jangan mandi air dingin dan sebisa mungkin hindari udara dingin.
Diego yang mendengar ini hanya bisa menahan senyum.
Tangannya terlipat di dada dan menatap dokter seperti lelucon.
Ia bukan orang yang baik. Seperti yang selalu ia katakan, seperti yang selalu ia tegaskan. Sekali lagi ia bukan orang baik. Namun tentu saja ia akan bertingkah seperti orang baik agar tidak di salah pahami, ia akan bersikap seolah ia tidak ada hubungannya dengan sakitnya Artizea.
Lagipula jika Artizea bangun, ia yakin gadis itu pasti akan marah jika ia menceritakan penyebab dari sakitnya kepada dokter dan ayahnya. Katakan lah ia egois, namun jika dipikir lagi Artizea jauh lebih egois.
Gadis itu membohongi ayahnya seperti memberikan permen kepada anak kecil. Semudah itu, segampang itu seolah berbohong adalah hal yang mudah atau katakanlah seperti budaya bagi Artizea. Dia berbohong sambil menutup mata dan bodohnya ayahnya mempercayai semua kebohongannya.
Sungguh ironis.
"Kalau begitu, saya pamit undur diri," ucap Cross, dokter yang sudah dua puluh tahun di percaya oleh Reyner untuk menjadi dokter di keluarganya. Pria berusia hampir enam puluh tahun itu mengulurkan tangan dan Reyner membalas jabatan tangannya.
"Terima kasih sudah meluangkan waktu untuk datang," Reyner menimpali.
"Jangan sungkan," balas Cross. "Ku harap kondisinya segera membaik."
"Mm. Sekali lagi terima kasih. Mari ku antar." Reyner berinisiatif mengantar Cross dan memberikan isyarat mata pada Diego untuk menjaga Artizea selagi ia mengantar dokter.
Diego menaikan sebelah alisnya dan mengangkat bahu sebagai bentuk protes. Namun Reyner tidak peduli. Reyner mengangguk dan keluar dari kamar tidur sepenuhnya mengabaikan protes Diego.
Diego menghela napas panjang.
Ia melangkah menuju Artizea lalu mendudukkan diri di tepian ranjang. Tatapannya yang datar jatuh pada sosok cantik yang tertidur lelap seperti orang mati. Gadis itu terlelap begitu damai seolah jika ada gempa bumi dahsyat yang menggoncang pun tidak lantas membuatnya bangun.
Sejak dulu, tidak, baik dulu atau sekarang Artizea masih belum berubah. Jika kebanyakan orang akan menjadi manja jika sakit, minta ini dan itu, merintih sepanjang waktu dan membuat orang yang merawatnya tidak bisa tidur, maka Artizea sebaliknya. Gadis itu akan memejamkan mata dan tertidur, tidak pernah meminta ini dan itu, diam dan tidak sulit untuk di rawat.
Bahkan Diego yang sebelumnya tidak pernah merawat orang sakit, ia dapat merawat Artizea dengan baik dari baru mulai sakit hingga sembuh seperti sedia kala. Semudah itu, segampang itu. Gadis itu sangat baik dan perhatian bahkan saat sakit, tidak mengganggu orang yang merawatnya dan tidak sedikit pun mempersulit atau membebaninya.
Diego memijit ruang di antara alisnya.
Ia benci saat kenangan lama datang dan menghantui. Ia benci mengingat masa lalu. Benar-benar benci.
Tidak lama kemudian Reyner kembali. Ia berjalan menuju ranjang dan menepuk bahu Diego. "Kerja bagus, Marcel" ucapnya.
"Mm." Diego mengangguk. Ia bangkit dari duduknya lalu melangkah pergi, kembali ke kamar tidurnya sendiri.
Ketika Artizea membuka mata, yang tertangkap indera penglihatannya adalah wajah tampan seorang pria. Berbaring menghadapnya adalah Reyner. Pria itu menopang kepalanya menggunakan telapak tangan dengan siku sebagai tumpuan. Menatap Artizea penuh kekhawatiran.
Melihat wajah tampan prianya, Artizea mengulurkan tangan menyentuh wajahnya. "Reyner," panggilnya. Untung saja dia adalah Reyner bukan Diego. Alasan yang membuatnya malas bangun dan takut membuka mata adalah ia takut yang memenuhi garis pandangnya adalah bajingan yang sudah membuatnya seperti ini.
Diego, si sialan itu.
Tidak hanya menceburkannya ke air es, tetapi juga membuatnya demam. Namun meski marah, kesal dan rasa ingin membunuh berkembang pesat di hatinya, ia meredam semua perasaan itu.
Inginnya mengeluh kepada Reyner.
Tentu saja.
Ia ingin mengatakan semua yang sudah Diego lakukan kepadanya. Perbuatan jahatnya, sikap kejamnya, perilaku tidak bermoralnya, dari awal sampai akhir, dari nol sampai seratus, dari kiri sampai kanan, dari Barat sampai Timur, dari bawah sampai atas, ia ingin menceritakan semuanya sampai habis tak tersisa.
Namun ia masih tahu diri untuk tidak melakukannya.
Terlalu berisiko untuk mengeluh.
Walau hanya sedikit, ia tahu tidak peduli apakah hanya seujung kuku atau seujung jari, satu kata yang ia katakan akan merembet kemana-mana, memunculkan spekulasi demi spekulasi. Pada akhirnya semua akan terungkap dan resiko yang akan timbul nantinya mungkin adalah sesuatu yang tidak bisa ia tanggung.
Lagipula, melihat ekspresi cemas Reyner saat ini, Artizea yakin Diego tidak mengatakan apapun. Tidak mengatakan apa yang terjadi, tidak mengatakan sesuatu yang memprovokasi.
Dan itu adalah pilihan yang bijak.
Alasannya sederhana, sesuatu yang sudah terkubur dan membusuk, jika Diego bersikeras mengungkapkan dan mengangkatnya kembali ke permukaan, selain bau busuk, tidak ada hal lain yang tersisa.
"Iya, aku di sini, sayang." Reyner menyentuh tangan Artizea dan membuatnya tetap di sana, tidak membiarkannya pergi untuk waktu yang lama. Ia lega Artizea akhirnya bangun. Gadis itu sakit dan ia khawatir setengah mati.
Ia takut sesuatu yang buruk terjadi.
Ia tidak mau hal semacam itu terjadi. Benar-benar tidak mau.
"Aku senang," ucap Artizea. Senang karena itu kau, bukan Diego. Untuk kalimat ini ia menyimpannya di dalam hati.
Reyner kehilangan semua kata-katanya. Di saat seperti ini, bagaimana mungkin Artizea merasa senang? Ia khawatir sampai hampir mati, dan yang terlontar dari mulut gadis itu setelah bangun hanya itu?
Namun, lupakan! Ia sedang tidak ingin marah. Lebih tepatnya ia tidak boleh memarahi gadis itu. Setelah semua yang terjadi, di saat seperti ini, ia justru harus menyayanginya.
Lupakan untuk mengomelinya. Tunda sampai gadis itu sembuh, tekadnya.
"Bagaimana keadaanmu sekarang? Syukurlah kau bangun. Aku sangat khawatir," Melupakan semua ketidaknyamanan dalam hatinya, Reyner kembali buka suara. "Katakan, bagian mana yang sakit? Haruskah kita pergi ke rumah sakit?" tambahnya sambil menyentuh Artizea di sana sini untuk memastikan setiap organ tubuh gadis itu baik-baik saja.
Artizea terdiam sesaat sebelum menggeleng. "Tidak perlu," ucapnya. "Aku baik-baik saja. Aku sudah sembuh dan tidak ada yang perlu di khawatirkan lagi." Ia serius. Setelah tidur cukup lama dan berkeringat, ia merasa kondisi tubuhnya sangat baik.
"Syukurlah." Reyner menghela napas lega. "Bagus jika kau sudah membaik." Ia menarik pinggang Artizea lalu memeluknya erat. "Untungnya ada Marcel yang menjagamu. Aku benar-benar berterima kasih pada anak itu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Kekasihku Adalah Ayah Mantanku (END)
Любовные романыArtizea benar-benar bahagia saat menjalin hubungan dengan Reyner, pria yang 20 tahun lebih tua darinya. Baginya, usia bukan masalah dalam sebuah hubungan. Sayang, kebahagiaan yang pikir akan bertahan selamanya hancur setelah kedatangan Diego, mantan...