Bab 6 ~ Melawan Agresi Yang Tiba-tiba

334 6 0
                                    

"Masa lalu?" Artizea terkekeh. "Memang apa yang terjadi di antara kita, Diego? Kau dan aku, kita berdua hanya orang asing yang tidak saling mengenal. Sekarang lepaskan topengmu. Kau tidak perlu bertingkah seperti pria karena kau tidak layak di sebut pria." Artizea bukan lagi orang baik setelah berulang kali jatuh dan bangkit. Ia sudah bertemu banyak orang, ia sudah berjumpa banyak spesies, orang seperti Diego, tidak layak di sebut manusia, dan orang seperti Diego, tidak perlu diperlakukan seperti manusia.

Diego menundukkan kepalanya, tersenyum kecil sambil menjilat bibirnya. "Sejujurnya, daripada Marcel, aku lebih senang kau memanggilku Diego." Ia meraih dagu Artizea lalu mendekatkan wajahnya. "Kau tahu kenapa? Nama itu mampu membangkitkan ingatan yang sudah terkubur dalam." Selesai berkata, Diego memaksa Artizea untuk menatapnya kemudian dirinya yang penuh nafsu, menekan bibirnya tanpa peringatan apapun dan mulai menyerang bibir Artizea.

Artizea benar-benar tercengang oleh ciuman itu.

Sebelum Artizea menyadari apa yang sedang terjadi, lidah Diego yang terbakar telah mencapai lidahnya yang halus dan lembut, sehingga bibir dan lidahnya penuh dengan aroma khas pria itu.

Diego menciumnya rakus.

Setelah sekian lama, akhirnya ia mendapatkan kembali bibir yang sudah lama tidak ia cecap. Aroma Artizea di mulutnya, mengingatkannya pada ingatan lalu yang tidak pernah usang.

Artizea mencoba menyingkirkan Diego, mencoba menghentikan agresi yang tiba-tiba. Namun pria itu terlalu kuat, ia bukan apa-apa baginya, ia bukan tandingannya. Bukannya melonggar, pelukannya justru semakin erat dan invasinya tidak berhenti.

Penolakan Artizea membuat Diego merasa gadis itu lebih istimewa dan terus-menerus membangkitkan minatnya.

Sesuatu yang terkubur selama ini telah menampakkan wujudnya dengan jelas. Seperti halnya air yang dipanaskan, tiba-tiba menggelegak dan mendidih tak terkendali.

Artizea berusaha keras mendorong pria yang lututnya di gesekkan di antara pahanya, dan alih-alih melepaskannya, Diego akhirnya memperdalam ciumannya dan memasukan tangannya secara paksa ke celananya.

Seperti orang yang dikutuk bahwa semakin banyak dia minum, semakin haus dia, Diego merasa tenggorokannya kering saat merasakan tangan halus Artizea menyentuh miliknya. Membangkitkan hasrat yang selama ini tertanam.

Menyentuh sesuatu yang menonjol di dalam celana Diego, Artizea tercengang. Apa-apaan pria ini?

Kesal, Artizea menggigit bibir pria itu dengan keras, dan rasa amis darah segera menyebar ke bibir dan lidah mereka.

Terkejut oleh rasa sakit, Diego meninggalkan bibirnya dan mengulurkan tangannya untuk menyeka darah di bibir Artizea, tampak gembira.

Artizea buru-buru menarik tangannya. "Kau sudah gila?" raungnya. Sudah ia duga Diego gangguan jiwa. Namun ia tidak menduga kegilaannya separah ini. Menciumnya paksa dan bahkan memaksanya menyentuh miliknya, bukan lagi pemaksaan, tetapi pelecehan.

Sepetak kemerahan mewarnai bibir tipis Diego, dan ia tersenyum, persis seperti monster yang mempesona. "Ya, aku memang sudah gila," jawabnya, menolak untuk melepaskan Artizea. "Jangan bilang kau baru tahu sekarang?"

Marah, Artizea memelototinya, terengah-engah. "Aku kekasih ayahmu, Diego!" Ia menegaskan kembali posisinya. Yang berarti ia adalah calon istri ayahnya Kurang ajar sekali Diego memperlakukan calon ibu tirinya seperti ini? Bajingan.

"Tapi kau juga kekasihku, sayang," balas Diego. "Tidak ada kata putus di antara kita. Kau tidak melupakan fakta itu, kan?" Benar-benar tidak ada kata putus. Sungguh. Karena setelah ia meninggalkan Artizea dan pergi ke luar negeri, segala macam kontak sudah tidak ada.

Intinya, tidak ada kata putus atau pembicaraan tentang itu.

Artizea menarik napas dalam-dalam, memaksa dirinya untuk tenang dan berkata dengan serius, “Dengar, tidak ada apapun di antara kita. Hubungan kita sudah berakhir sejak kau meninggalkanku. Kau juga tidak melupakan fakta itu, kan?" Artizea membalikkan perkataan Diego sembari tersenyum puas. Kapan lagi ia bisa mengatakan kalimat ini jika bukan sekarang?

Bertahun-tahun ia menanam kebencian di hatinya. Semakin hari, akarnya semakin banyak. Tidak hanya berakar, tetapi juga bertunas dan berbuah, kemudian beranak pinak, berkembang biak menjadi banyak.

"Kenapa kau naif sekali, Zea," ujar Diego. "Kau tidak mengenalku sehari dua hari. Orang seperti apa aku, kau tahu dengan jelas. Dengan omong kosong seperti itu, kau pikir aku akan berhenti? Dalam mimpimu." Selesai mengatakan itu, Diego mencium bibir Artizea sekali lagi sebelum melangkah pergi, meninggalnya Artizea yang memandang punggungnya penuh kebencian.

Begitu sosok itu menghilang, tubuh Artizea ambruk di lantai.

Ia tidak tahu seberapa buruk wajahnya saat ini. Atau sekacau apa penampilannya. Ia tidak punya waktu untuk peduli.

Ia sedang tidak baik-baik saja.

Tentu.

Di cium dan dilecehkan oleh mantan pacar sampah yang juga putra dari kekasihnya adalah hal paling nista yang bahkan tidak pernah ia bayangkan. Jadi ketika si brengsek itu melakukannya, ia sangat terkejut, benar-benar syok.

Setelah cukup lama waktu berlalu, Artizea bangkit dan merapikan pakaiannya. Setelah rapi ia segera melangkahkan kaki menuju meja dimana Reyner menunggu. Langkahnya pelan, stabil dan percaya diri.

Melihat Diego duduk berhadapan dengan Reyner dan bertingkah seolah tidak terjadi apapun, seolah tadi tidak menindas dirinya, tangan Artizea mengepal. Sialan, Diego, setelah membuatnya seperti wanita murahan yang mengencani ayah dan anak, dia menunjukkan wajah tampa dosa dan tersenyum di depan Reyner.

Seandainya nenek sihir ada di dunia ini, ia sudah meminta mereka untuk mengubah Diego menjadi batu. Menjadi katak, terlalu ringan bagi penjahat seperti dia.

"Hai, maaf membuatmu menunggu," ucap Artizea ketika mencapai Reyner. Ia mendudukkan dirinya di samping Reyner dan mengabaikan kehadiran Diego di depannya.

Reyner mengangguk. "Tidak masalah," jawabnya. "Semua baik-baik saja, kan?" tanyanya kemudian, sedikit khawatir.

"Bukan masalah besar," Artizea menimpali. "Mommy merindukanku dan memintaku untuk pulang. Hanya itu." Tentang apa yang Diego lakukan, meski cemas dan takut, Artizea tidak mungkin mengeluh kepada Reyner. Hubungan mereka yang harmonis dan indah, tidak boleh hancur hanya karena peristiwa yang terjadi di masa lalu, yang mana di sebabkan oleh makhluk tidak penting seperti Diego.

Reyner mengerutkan kening. "Begitukah?"

"Uh huh." Artizea mengangguk.

"Dan apa kau sudah memutuskan kapan akan pulang?" tanya Reyner.

"Akhir pekan," Artizea menjawab yakin. Sudah lama ia tidak pulang ke kota kelahirannya. Sejak berusia lima belas tahun, ia sudah tinggal sendiri di kota ini. Dan tidak setiap bulan ia pulang. Entah tiga bulan atau enam bulan sekali, atau bahkan pulang hanya ketika Natal. Ia benar-benar jauh dari keluarganya.

Namun daripada ia, kakaknya jauh lebih parah.

Sejak berusia lima belas tahun, kakaknya sekolah di luar negeri. Setelah lulus sekolah, dia juga kuliah di luar negeri, bahkan setelah lulus dari perguruan tinggi, ia juga bekerja di luar negeri. Dibanding luar negeri, kota tempat ia tinggal saat ini bukan apa-apanya. Setidaknya hanya membutuhkan beberapa jam jika mengemudi maka sudah tiba di rumah orang tuanya.

"Haruskah aku pergi bersamamu?" tanya Reyner.

"Hah?" Artizea tercengang. Otaknya belum terkoneksi dan ia membutuhkan waktu setidaknya beberapa detik.

"Kau tidak mau?"

"Ah, tentu saja aku mau," ucap Artizea setelah berhasil menyinkronkan akal sehatnya. "Aku senang kau menemaniku mengunjungi orang tuaku. Tidak seperti seseorang yang hanya tahu cara menumpang tetapi lupa cara berterima kasih," sambil mengatakan ini, ia melirik tajam Diego. Orang yang ia maksud duduk di depannya. Orang tidak tahu malu yang seharusnya di jadikan tumbal pesugihan.

Kekasihku Adalah Ayah Mantanku (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang