Bab 7 ~ Kepergian Diego Adalah Kebahagiaannya

271 7 0
                                    

Meski perkataan Artizea di tujukan untuknya, Diego sama sekali tidak terusik. Ia memakan makanannya dengan tenang dan mengabaikan sindiran tidak penting Artizea dengan wajah tebal.

"Dadd, apa kau tidak terganggu karena terlalu berisik?" celetuk Diego datar sembari memotong daging di piringnya menjadi potongan kecil lalu menyuapkannya ke dalam mulutnya. Ia menatap Reyner dengan tatapan tanpa makna, seolah apa yang ia katakan hanya deretan kata acak yang secara tidak sengaja terlontar dari mulutnya.

Artizea terkejut. Apa? Berisik?

Diego memang kurang ajar. Selain menyebalkan, pria itu juga bermuka tebal setebal badak, tidak kalah tebal dari tembok Cina. Artizea menatap Reyner dengan tatapan menyedihkan seolah baru saja di tindas.

Melihat wajah menyedihkan Artizea, Reyner mengusap puncak kepala Artizea sebagai cara untuk menghibur. "Jangan dengarkan dia. Dia memiliki imajinasi yang sedikit berlebihan," ucapnya, menenangkan.

Artizea mengangguk patuh.

"Gadis baik," ucap Reyner kemudian.

Sementara komunikasi kedua orang itu manis, wajah Diego menghitam. Meski diam dan tidak berkomentar, bukan berarti ia menyetujui apa yang Reyner katakan, menyetujui apa yang Reyner lakukan.

Cinta memang buta.

Agaknya ungkapan itu cocok untuk Reyner saat ini.

Ayahnya sedang di mabuk cinta. Bahkan jika Artizea melakukan seribu kesalahan, ayahnya akan menutup mata dan berpura-pura tidak melihatnya.

Sungguh ironi.

Makan malam memuakkan akhirnya berakhir.

Setelah mengucapkan selamat tinggal, ayah dan anak itu berpisah. Diego masuk ke dalam taksi dan Reyner masuk ke dalam mobilnya. Di ikuti oleh Artizea yang juga masuk ke dalam mobil.

Wajah Artizea cemberut seolah ada bom di mulutnya.

Apa yang membuatnya tidak senang, alasannya sudah jelas. Diego. Diego adalah sumber ketidakbahagiaannya.

Duduk di kursi samping kemudi dan mengaitkan sabuk pengaman, Artizea buka suara, "Jadi, berapa lama Marcel akan tinggal?" Sebelum memastikan berapa lama Diego di negara ini, ia tidak mungkin tenang.

Keberadaan Diego sangat mengganggu.

Selain terus-menerus menggugah emosinya bahkan ketika Diego diam dan tidak melakukan apapun, ia muak melihatnya berkeliaran di sampingnya.

Ia tidak tenang dengan keberadaan Diego yang takutnya akan membeberkan apa yang terjadi di masa lalu antara mereka. Ia takut Reyner tahu mereka pernah berkencan dan tinggal bersama. Ia tidak bisa menanggung beban kehilangan Reyner jika pria itu sampai mengetahui kebenarannya.

Ah, sial.

Kenapa sulit sekali mendapatkan sebuah ketenangan?

"Hanya beberapa hari. Tidak sampai satu minggu," jawab Reyner sembari menyalakan mobil lalu mengemudikannya meninggalkan restauran. Karena Artizea sudah setuju untuk tinggal bersama, ia tidak perlu mengantarkan gadis itu ke apartemen. Ia mengemudi menuju kediamannya.

"Wah, sayang sekali," balas Artizea. Meski wajahnya tampak murung seolah tidak suka, dalam hati ia bersuka cita. Tidak ada hal yang lebih membahagiakan selain kepergian Diego. Dan ia akan merayakan kepergiannya dengan segelas wine mahal. Sungguh.

"Jangan kecewa. Masih banyak waktu untuk bertemu dengannya di kemudian hari," ucap Reyner sembari menggenggam jemari Artizea.

Artizea mengangguk, bertingkah seolah kehilangan separuh semangatnya. Namun tentu saja apa yang Reyner katakan tidak akan pernah datang. Bagus jika Diego pergi dan tidak pernah kembali. Demi kebahagiaan semua orang, itu adalah yang terbaik.

Tidak lama kemudian mobil berhenti di kediaman Reyner.

Sebuah rumah besar dengan desain modern memenuhi garis pandang Artizea. Meski berulang kali datang ke rumah ini, ia tidak bisa berhenti mengaguminya. Seperti vila yang terkadang ia kunjungi dengan beberapa teman, rumah Reyner kenyataannya seperti vila. Besar dan menyenangkan, luas dan memiliki banyak jendela kaca.

Artizea turun dari mobil di susul oleh Reyner dan mereka berjalan bersisian memasuki rumah. Tidak ada yang menduga Artizea akhirnya memutuskan untuk tinggal bersama. Tidak ada sedikit pun niat yang terbersit dalam benaknya.

Sejak hubungannya berakhir dengan Diego, ia tidak pernah tinggal bersama dengan kekasihnya. Menginap satu atau dua hari, oke lah. Tetapi tidak untuk tinggal bersama.

Bukannya ia tidak menginginkannya, bukan juga ia tidak menyukainya, ia hanya tidak ingin ada konflik tentang barang-barang, tempat tinggal atau uang. Itu sangat merepotkan.

Lagipula ketika seseorang menjalin hubungan, orang tidak tahu apakah karakter mereka baik atau buruk. Hanya setelah putus seseorang dapat mengetahui apakah mereka manusia atau hewan.

Namun ketika suatu hari ia membuka hati dan menerima tawaran Reyner, siapa sangka Reyner adalah ayah Diego? Bagus jika Diego anak adopsi, faktanya Diego adalah anak biologis Reyner.

Kenyataan itu membuatnya lelah.

Ia lelah memaki.

Dan pada akhirnya ia hanya bisa menghela nafas berat, frustasi.

***

Malam berlalu dengan damai.

Pagi harinya Artizea menggeliat dalam tidurnya, terusik dengan cahaya matahari yang masuk melalui celah tirai. Ia beringsut dan memeluk seseorang yang ada di sampingnya.

Artizea tersadar.

Tanpa perlu membuka mata, ia bisa menebak siapa orangnya.

Bukannya menjauh, Artizea justru semakin mendekat ke arah tubuh Reyner yang hangat dan kembali tertidur. Ia tidak peduli jam berapa sekarang, ia tidak peduli berapa banyak waktu yang mungkin tersita, ia menyukai Reyner, sangat menyukainya sampai tidak ingin melepaskannya.

"Bangun, pemalas!"

Suara rendah khas bangun tidur Reyner berasal dari samping. Artizea membuka mata dan pemandangan pertama yang terlihat adalah wajah tampan Reyner yang sedang menatapnya. Tangan pria itu mengusap rambutnya perlahan lalu mendekat dan mencium mata dan hidungnya.

"Selamat pagi," Reyner kembali berkata setelah selesai mengecup wajah cantik Artizea. Sebenarnya ia sudah bangun sejak beberapa menit yang lalu. Tetapi karena Artizea terlelap di sampingnya, ia tidak buru-buru bangun. Hanya beberapa menit, pikirnya. Lagipula ia ingin melihat Artizea sedikit lebih lama.

Artizea tersenyum. "Selamat pagi juga, sayang," balasnya. "Kau akan pergi bekerja?"

"Mm." Reyner mengangguk.

"Maaf sudah menahanmu." Namun meski berkata demikian, Artizea masih belum melepaskan Reyner. Seolah tidak rela Reyner pergi, ia justru mempererat pelukannya.

Melihat tingkah menggemaskan Artizea yang enggan melepaskannya, Reyner terkekeh. "Apa kau yakin ingin mengatakan ini?"

Artizea mengangkat bahu. "Entahlah."

"Katakan, kau tidak ingin aku pergi maka aku tidak akan pergi. Cepat katakan," Reyner berkata pelan namun setengah memaksa seolah sedang mengajari seorang anak agar menjadi patuh.

Artizea menggeleng. "Tidak. Kau harus pergi sekarang, sayang," ucapnya sembari melonggarkan pelukannya. "Kau akan terlambat dan bukan itu yang ku inginkan." Ia memutuskan tinggal bersama bukan untuk menjadi malas. Meski tentu saja bermalas-malasan adalah hal terbaik yang pernah ada, namun ia tahu Reyner orang yang disiplin.

Reyner tercengang. "Kenapa? Kau benar-benar tidak konsisten," gerutunya sambil bangun dari ranjang.

"Aku berubah pikiran," balasnya.

"Secepat itu?"

Artizea tidak menjawab. Sebaliknya ia mengulas senyum tipis. Kekasihnya ini benar-benar menggemaskan. Semakin marah semakin imut. Jika tidak mengingat dia dua puluh tahun lebih tua darinya, ia akan berpikir dia beberapa tahun lebih muda darinya.

Sungguh menakjubkan mengencani pria seperti dia.

Setelah siluet Reyner masuk sepenuhnya ke kamar mandi, Artizea juga bangun dari ranjang. Tubuhnya bugar. Suasana hatinya juga membaik dan ia siap menjalani segudang aktivitas yang melelahkan.

Kekasihku Adalah Ayah Mantanku (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang