Artizea yang jatuh ke bak mandi berisi air dingin dengan bongkahan batu es, menimbulkan suara keras. Selain suara kejatuhannya, suara lain berasal dari mulutnya.
Rasa dingin yang menjalar di sekujur tubuhnya membuatnya menjerit. "Ah, sial. Dingin sekali." Rasa dingin membekukan sampai ke otaknya dan tubuhnya mati rasa. Ia menyembulkan kepalanya namun seluruh tubuhnya terlanjur beku.
Ia mengusap wajah dengan telapak tangannya. Menyingkirkan air yang membuatnya kesulitan membuka mata. Ketika berhasil menyingkirkan halangan itu, ia mengambil napas banyak-banyak.
Sialnya, ia benar-benar kedinginan.
Orang yang tidak tahan dingin, orang yang mudah demam karena udara dingin, dibawa secara paksa ke kamar tidur yang sedingin rumah es dan dijatuhkan ke air es, bahkan jika ia adalah wonder woman, ia akan flu juga. Bagus jika hanya flu, bagaimana jika ia demam?
Siapa yang akan bertanggung jawab?
Diego tentu saja.
Pria itu adalah penyebabnya, pria itu adalah awal mulanya.
"Bagaimana? Apakah hadiah dariku cukup mengesankan?" Diego bertanya santai. Ia menyandarkan punggungnya di dinding, sok keren, dan menatap Artizea seperti lelucon.
Gadis yang berani memprovokasinya, beginilah konsekuensinya.
Seharusnya Artizea tahu akibat dari melewati garis bawahnya. Dia memberinya sepuluh, maka ia akan mengembalikannya sepuluh ribu. Semudah itu ia tersulut emosi, semudah itu memunculkan dendam.
Namun perlahan pandangannya menjadi gelap.
Tubuh yang indah, saat tersentuh air menjadi semakin indah.
Begitu juga dengan tubuh Artizea.
Setiap lekuknya, ia tahu dengan jelas.
Kenapa?
Ia menyaksikan mereka tumbuh.
Dari ketika mereka belum tersentuh, hingga beberapa tahun kemudian ia adalah satu-satunya saksi atas perkembangan mereka. Ia yang pertama untuk gadis itu. Begitu juga dengan dirinya. Mereka sama-sama mengawali satu sama lain.
Beberapa tahun tidak bertemu, Artizea bukan lagi gadis lugu yang dulu ia kenal. Sekarang dia tumbuh menjadi wanita dewasa yang seksi dan menggoda. Tidak hanya penampilannya, aura serta pembawaannya juga berkembang pesat. Jika ada satu kata yang bisa menggambarkannya, maka kata yang tepat adalah hot. No, very hot.
Lain apa yang dipikirkan Diego, maka lain pula yang dipikirkan Artizea.
Selain dingin dan ingin keluar dari bak mandi, tidak ada lagi yang bisa Artizea pikirkan. Jika ia mengetahui pikiran kotor Diego, ia pasti sudah menyumpahinya dengan sepuluh ribu cacian dan mengutuknya dengan seratus ribu kutukan. Sayangnya ia tidak mengetahuinya.
Lagipula, mungkin lebih baik ia tidak mengetahuinya.
Karena kalau pun tahu, dengan keadaannya sekarang, ia tidak memiliki waktu untuk memikirkannya.
Melihat Artizea diam, Diego terkekeh. Sepertinya hadiahnya berhasil. Lihat, betapa menyedihkannya Artizea sampai tidak bisa menjawab perkataannya. Namun satu hal yang tidak Diego tahu, diamnya Artizea, bukan seperti yang ia pikirkan. Lebih dari itu, Artizea tidak tahan dengan udara dingin.
Benar saja, tubuh Artizea mulai menggigil. Benar-benar menggigil sampai ia tidak bisa menggerakkan tubuhnya sekedar untuk bangkit. Ia seperti tertanam dalam bongkahan es dan mengalami hipotermia.
Wajah Artizea yang pucat, juga bibirnya yang membiru bergetar. "Diego, aku demam," gumamnya. Ia memeluk tubuhnya sendiri sembari menunggu seseorang menyelamatkannya. Mengeluarkannya dari air es sialan yang membuatnya terlihat menyedihkan.
Sayangnya ia tidak punya waktu untuk memikirkan seberapa menyedihkannya ia sekarang. Tubuhnya kedinginan sampai tidak bisa memikirkan apapun lagi. Ia hanya berharap si perusuh Diego yang sudah membuat kekacauan ini menghentikan kegilaannya sekarang juga sebelum ia membeku sepenuhnya.
Diego menatap Artizea, diam, tidak bergerak.
Setelah membuat Artizea beku, sejauh ini ia hanya memperhatikan tanpa sedikit pun niat untuk menolong. Lagipula ini adalah rencanannya, jika ia menolong, apa artinya semua ini?
Usahanya, kerja kerasnya, pengorbanannya, bukankah semua akan sia-sia?
Namun ketika melihat gadis itu menggigil tanpa henti, tampak tidak sedang berakting, tidak terlihat sedang berbohong, manusia sekejam dirinya pun perlahan luluh. Namun belum sepenuhnya. Ia masih memikirkan, apakah ia harus menolong atau tidak.
Artizea, gadis laknat itu menyiramnya menggunakan air merica. Gadis itu tidak hanya membuatnya kepanasan, tetapi juga membuatnya perih pada beberapa bagian tubuhnya. Atas semua yang dia lakukan, ia bertekad membalasnya dengan sesuatu yang bertentangan. Seperti air dan api, panas dan dingin.
Setelah pemikiran panjang, akhirnya pilihannya jatuh pada air dingin.
Melupakan fakta bahwa Artizea mudah demam dengan udara dingin, Diego yang di butakan dendam, tidak memikirkan apapun lagi selain membalasnya. Tetapi ketika keadaan tidak berjalan ke arah yang semestinya, perlahan ia mulai menyadari bahwa Artizea tampak serius dengan apa yang dia katakan.
Gadis itu menggigil, benar-benar kedinginan.
"Diego," suara Artizea semakin rendah seiring kata yang terlontar. Ia merasa kesadarannya sudah di ambil alih sepenuhnya darinya. Menyisakan dirinya yang mungkin akan kehilangan kesadaran hanya dalam beberapa detik.
Kenyataannya tidak membutuhkan beberapa detik. Selesai memanggil nama Diego, kesadarannya menghilang. Tubuhnya terkulai dan sebelum kepalanya mendarat di air, Diego lebih dulu menjangkaunya.
"Zea, kau baik-baik saja? Kau masih hidup?" Melihatnya terkulai lemah tak berdaya, Diego bergegas menangkap Artizea dan untungnya ia tidak terlambat. Ia berhasil menjangkau gadis itu dalam waktu yang tepat sehingga kepalanya tidak jatuh ke air dan tidak membentur permukaan bak mandi.
Diego segera mengangkat tubuh Artizea, mengeluarkannya dari air. "Zea?" Diego memanggil Artizea sembari menepuk wajahnya. Wajahnya yang pucat terlelap seolah nyaman dalam tidurnya. Namun kenyataan bahwa Artizea tidak sedang tidur adalah fakta yang cukup menjengkelkan. Membuat Diego, binatang yang tidak punya hati, sekarang mulai panik.
"Zea, bangun! Kau tidak mati, kan?" Diego menggelengkan kepala. "Tidak. Maksudku.. buka matamu, Zea. Jangan membuatku cemas." Namun sebanyak apapun ia mencoba membangunkannya, gadis itu tidak bangun juga.
Artizea yang tidak kunjung membuka mata, firasatnya buruk tentang hal ini. Dan ketika fakta itu ada di depan mata, tentang ketidaksadarannya, Diego mulai menyesali apa yang ia lakukan. Mungkin benar apa yang gadis itu katakan tentangnya yang mudah terkena flu.
Seharusnya ia mendengarkannya dan tidak melakukan sesuatu yang impulsif. Namun sudah terlambat untuk menyesal. Hujan terlanjur turun. Tidak ada hal lain yang bisa dilakukan selain berjalan di bawahnya dengan memegang payung.
Sederhananya, Artizea tidak sadarkan diri, yang bisa ia lakukan sekarang adalah segera membuatnya bangun. Setidaknya sebelum ayah kembali, atau ia benar-benar akan mendapat masalah.
Menyadari dampak atas apa yang ia lakukan, sekarang ia mengerti apa artinya cemas. Meski yakin Artizea tidak akan mati, namun tidak menutup kemungkinan hal itu tidak akan terjadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kekasihku Adalah Ayah Mantanku (END)
RomanceArtizea benar-benar bahagia saat menjalin hubungan dengan Reyner, pria yang 20 tahun lebih tua darinya. Baginya, usia bukan masalah dalam sebuah hubungan. Sayang, kebahagiaan yang pikir akan bertahan selamanya hancur setelah kedatangan Diego, mantan...