Diego bangun dengan hati-hati dan meninggalkan kamar tidurnya setelah Artizea kembali terlelap. Ia turun ke lantai bawah, berjalan perlahan menuruni tangga ketika pintu utama terbuka. Masuk ke dalam rumah adalah Reyner.
Pria tampan berusia empat puluh enam tahun itu baru kembali dari perusahaan. Meski pulang lebih awal dari biasanya, namun bukan berarti ia tidak lelah.
Banyak hal terjadi di perusahaan. Beberapa permasalahan tidak terlalu sulit di atasi, namun permasalahan lain terlalu merepotkan hingga mustahil dapat di selesaikan dalam waktu satu hari. Dan sepertinya ia harus begadang malam ini untuk menyelesaikan permasalahan yang belum terselesaikan.
Reyner mengedarkan pandangannya ke sekeliling dan rumahnya yang luas terasa kosong.
Meski biasanya juga seperti ini, namun sekarang Artizea tinggal bersamanya. Kekosongan, kesunyian dan keheningan itu seharusnya tidak ada lagi. Kehangatan dan keceriaan adalah hal yang seharusnya ada dan menyambutnya.
Sayangnya, hal seperti itu tidak terjadi.
Gadis cantik yang seharusnya duduk di ruang tamu dan menunggu kepulangannya, sekarang tidak ada di sana. Rumah terasa dingin dan ia ingin tahu apa yang sedang gadis itu lakukan. Ia bertanya-tanya namun tentu saja ia tidak akan menemukan jawabannya sebelum mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi.
Melihat ayahnya pulang dan tampak dalam suasana hati yang buruk, Diego tidak berniat untuk memprovokasinya. Ia yang sudah mencapai tangga terakhir buka suara. "Kau sudah pulang, Dadd?" tanyanya basa-basi.
Meski ia bukan tipe orang yang suka berbasa-basi, namun ayahnya adalah pengecualian. Semalas apapun, sebenci apapun, keluarganya tetap yang terpenting. Jadi ia tidak keberatan untuk melakukan hal-hal yang bahkan tidak ia suka.
Reyner mengangguk. "Ya." Ia berjalan menuju Diego dan memeluknya. "Bagaimana, kau nyaman tinggal di sini?" Ia melonggarkan pelukannya dan menepuk bahunya perlahan.
Ia senang Diego tinggal di sini, bersamanya.
Walau mungkin hanya beberapa hari, namun ia bersyukur karena putranya berinisiatif untuk tinggal bersamanya selagi berada di sini. Sesuatu yang benar-benar langka, sesuatu yang tidak pernah ia duga.
"Lumayan," jawab Diego. "Hanya saja, kekasihmu cukup merepotkan," keluhnya.
Reyner mengerutkan kening. "Merepotkan?" Ia terkekeh. "Kenapa kau berkata seperti itu?" Dari awal ia sudah menduga akan sulit bagi Artizea dan Diego untuk menerima keberadaan satu sama lain. Namun sepertinya hubungan mereka jauh lebih buruk dari yang ia duga.
"Dia demam dan ya.. dia tidur di kamarku sekarang," Diego berkata seolah baru saja ditindas. Seolah kamar tidurnya di ambil alih dan di kuasai oleh Artizea. Padahal kenyataannya tentu sebaliknya.
Namun biarkan saja seperti itu.
Ada kalanya sesuatu yang sedari awal sudah kusut, lebih baik di biarkan tetap seperti itu.
Diego juga tidak punya sedikit pun niat untuk mengatakan yang sebenarnya. Tentang Artizea yang menyiramnya menggunakan air merica, tentangnya yang menenggelamkan Artizea di air es, atau bagaimana Artizea demam dan memeluknya seperti memeluk sesuatu yang berharga.
Karena jika hal-hal seperti ini di ketahui oleh Reyner, pria itu pasti akan mengajukan dua ratus dua puluh tujuh pertanyaan untuk mengulik apa, kapan, kenapa, bagaimana itu bisa terjadi. Sedangkan ia, ia tidak ingin sesuatu yang berhubungan dengan masa lalu terendus oleh ayahnya.
Reyner tercengang sesaat sebelum bertanya, "Apa maksudmu?" Wajahnya yang semula santai, perlahan menegang. Artizea, dia demam?
Tahu apa yang Reyner pikirkan, Diego menyahut, "Persis seperti yang kau pikirkan." Ia menunjukkan ekspresi yang sangat alami sampai manusia sekelas Reyner pun tidak dapat menangkap sesuatu yang mencurigakan.
Jika Artizea berada di sini, melihat dan mendengar bagaimana lihainya Diego menyembunyikan belangnya, mungkin Artizea akan menyerahkan piala Oscar untuk Diego karena berhasil memenangkan peringkat pertama kategori aktor terbaik.
"Lalu bagaimana keadaannya sekarang?" Reyner bertanya, cemas. Tadi pagi, ketika ia meninggalkannya, gadis itu masih baik-baik saja. Terakhir kali mereka bertukar pesan, dia berkata sedang berada di perusahaan milik temannya. Sejak terakhir kali dia mengirim pesan, dia memang belum menghubunginya lagi.
Ia pikir, gadis itu mungkin sibuk sampai tidak sempat mengiriminya pesan teks. Namun siapa sangka, bukannya sibuk gadis itu justru sedang tidak enak badan? Jika ia tahu, tidak, jika Artizea menghubunginya, ia mungkin akan pulang lebih awal.
Ah, sial.
Andai saja ada orang yang menghubunginya, siapapun itu..
Sayangnya, hal seperti itu tidak akan terjadi.
Tidak ada orang lain di rumah selain Artizea, dan Diego, namun Diego bukan orang yang bisa di andalkan. Jadi, anak itu tidak masuk hitungan. Ia tidak punya pelayan tetap yang bekerja dan menginap di rumah. Ia hanya memperkejakan beberapa orang tiap jam sembilan hingga jam sebelas siang untuk membersihkan rumah. Setelah waktu habis, mereka akan langsung pergi.
Selain tidak ingin di ganggu dengan keberadaan orang asing, Reyner menyukai keheningan. Jadi hanya dengan petugas kebersihan panggilan, ia pikir sudah cukup.
Namun tampaknya ia keliru.
Artizea tidak boleh tinggal sendirian. Setidaknya, harus ada seseorang yang menemaninya. Bukan sekedar menemani, tetapi juga bertugas sebagai pengawas untuk memantau keadaannya.
"Sudah lebih baik. Dia hanya terlalu lemah untuk bangun," jawab Diego. Meski bisa saja memindahkan Artizea ke kamar tidur ayahnya, kenyataannya ia tidak melakukannya. Entah karena apa, entah apa alasannya, ia juga tidak tahu kenapa ia menahannya di kamar tidurnya. Padahal ia bisa tidak melakukannya jika memang tidak ingin.
Namun, entahlah.
Reyner memijit ruang di antara alisnya. Ia menghela nafas panjang lalu menepuk bahu Diego. "Kerja bagus, Marcel," ucapnya. "Kau menjaga Artizea dengan baik," imbuhnya. Jika tidak ada Diego, jika Artizea hanya sendirian di rumah, ia tidak tahu akan seperti apa jadinya. Ia bahkan takut hanya dengan membayangkannya.
"Aku tidak melakukannya." Meski sudah jelas melakukannya, namun Diego enggan mengakuinya.
"Kau melakukannya," Reyner menimpali. "Kau menjaga Artizea dengan baik saat aku tidak ada," lanjutnya. Ia tulus dengan apa yang ia ucapkan. Pujian yang datang dari hatinya.
Sikap dan sifat Diego, sebagai seorang ayah, kurang lebih Reyner tahu tentang putranya. Meski tidak tahu banyak namun bukan berarti ia tidak tahu. Tentang bagaimana Diego membuat onar dan berkelahi, tentang sikap kasar dan keras kepalanya, tentang bagaimana Diego mengacaukan sesuatu yang seharusnya dia tidak ikut campur, tentang sikap buruk dan sifat dinginnya, namun ia tidak menyangka manusia seburuk itu bisa bersikap baik kepada Artizea.
Sebagai seorang ayah, Reyner sangat bangga dengan apa yang Diego lakukan. Ia merasa Diego sudah tumbuh menjadi pria dewasa yang keren. Yang tidak hanya bisa mengacau, tetapi juga membantu dan menyayangi.
"Dadd, kau terlalu berlebihan," sahutnya datar. Diego tidak tahu dari sudut pandang mana ayahnya melihat. Pria itu terlalu lengah. Dia teledor. Hanya karena ia adalah putranya, ayah menaruh kepercayaannya sebanyak seratus persen. Padahal itu adalah sesuatu yang seharusnya tidak ayahnya lakukan.
Haruskah ia menyebutnya bodoh?
Entahlah.
Tidak peduli apakah ayahnya bodoh, buta atau tuli, itu tidak ada hubungannya dengannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kekasihku Adalah Ayah Mantanku (END)
RomanceArtizea benar-benar bahagia saat menjalin hubungan dengan Reyner, pria yang 20 tahun lebih tua darinya. Baginya, usia bukan masalah dalam sebuah hubungan. Sayang, kebahagiaan yang pikir akan bertahan selamanya hancur setelah kedatangan Diego, mantan...