Bab 37 ~ Gadis Sepertimu Mudah Dibodohi

110 4 0
                                    


Mobil melaju dengan kecepatan sedang meninggalkan bandara, bergabung dengan arus mobil dan menyusuri jalanan Dubai yang tidak terlalu ramai.

Artizea melihat ke luar jendela. Tatapannya yang rumit berhasil mencuri perhatian Alecto. Pria tampan bermanik biru itu menatap fitur samping adik perempuannya kemudian bertanya, "Apa sesuatu terjadi tanpa pengetahuan ku?" Ia curiga sesuatu telah terjadi, namun ia tidak dapat memikirkan apa itu.

Artizea mengangkat bahu. "Memang apa yang bisa terjadi?" tanyanya acuh. Patah hati adalah hal yang memalukan. Tidak mungkin ia menceritakannya kepada Alecto meski ia tahu keingintahuan pria itu semata karena mengkhawatirkannya.

"Sesuatu yang buruk, mungkin?"

"Jangan menebak sesuka hatimu. Semua baik-baik saja. Aku hanya bosan dan ingin pergi ke luar negeri. Itu saja," jelas Artizea. Malas menjelaskan lebih jauh.

"Baguslah jika semuanya baik-baik saja," ucap Alecto pada akhirnya. Enggan memaksa Artizea untuk mengungkapkan apa yang sebenarnya terjadi. Namun tetap saja ia menatapnya cemas.

Artizea tidak menyahut dan menurunkan kaca jendela mobil. Menikmati jalanan Dubai, diam-diam ia menutup matanya. Rambutnya yang panjang berkibar tertiup angin. Memperlihatkan luka gores kecil di dahinya.

Melihat ini, kecemasan Alecto yang semula hanya sebesar biji wijen, tumbuh menjadi biji semangka. Ia menepikan mobilnya dan menyentuh dahi Artizea dengan panik. "Apa kau baik baik saja? Kenapa kau terluka? Apa yang terjadi? Coba ku lihat.” Alecto menyentuh di sekitar luka Artizea dan setelah memastikan itu adalah luka ringan, ia menghela napas lega. “Kau baik-baik saja, kau baik-baik saja." ia mengulangi perkataannya. "Hanya luka gores ringan. Kau tidak kehilangan telinga atau hidungnya. Kalau tidak, aku harus mendukungmu seumur hidup.”

Bibir Artizea berkedut. 'Apakah dia saudara kandungnya?'

"Kenapa kau menatapku seperti itu? Aku khawatir padamu," ujar Alecto.

Artizea mendesah pelan. Ia sudah terbiasa dengan cara bicara kakaknya. Ia menaikan wajahnya dan tersenyum. "Ayolah, ini hanya luka gores, aku baik-baik saja. Jangan khawatir."

Alecto melihat luka di dahinya sekali lagi dengan cemberut sambil berkata, “Kau sudah cacat, tapi kau masih tersenyum? Siapa yang akan menginginkanmu sekarang? Pria mana yang mau menikahimu?" Layaknya orang tua yang sedang memarahi putri kecilnya, ia sampai melupakan martabatnya sebagai petinggi di sebuah perusahaan besar.

Artizea cemberut sebelum berkata, "Dokter mengatakan lukanya tidak cukup dalam untuk meninggalkan bekas luka!" Terjadi kecelakaan kecil ketika ia sedang berkemas. Hanya luka kecil, benar-benar kecil namun Xana membawanya ke dokter untuk di periksa.

Sekarang ketika Alecto melihatnya, reaksinya sepuluh kali lebih buruk dari Xana. Ia berpikir, kapan semua orang akan memperlakukannya sebagai wanita dewasa? Di khawatirkan oleh mereka dengan berlebihan menjadi beban tersendiri dalam hidupnya.

“Dokter berbohong padamu. Gadis bodoh sepertimu mudah dibodohi,” kata Alecto.

Artizea kehilangan semua kata-katanya. Pria ini brengsek. Titik. Dan tidak ada cara untuk memperbaikinya.

Tidak lama kemudian, Alecto kembali mengemudikan supercarnya dan berhenti di sebuah gedung apartemen yang terletak tidak terlalu jauh dari pusat kota. Sekilas lihat, orang langsung tahu berapa banyak uang yang harus di gelontorkan untuk tinggal di tempat ini. Sangat banyak sampai orang dengan penghasilan kecil atau menengah bahkan tidak berani membayangkannya.

Namun kekacauan di dalam hati Artizea membuatnya tidak sempat memperhatikan atau memikirkan hal lain. Lagipula bukan urusannya tentang berapa banyak penghasilan serta pengeluaran Alecto. Yang ia tahu hanyalah harus tinggal di apartemen yang sama dengan kakaknya jika pergi ke Dubai. Dan tidak ada alasan baginya untuk menolak pengaturan yang sudah Alecto paten kan.

Jika ketampanannya adalah gen dari ayahnya, maka banyak bicaranya adalah gen dari ibunya. Begitu masuk ke unit apartemen yang di huni, Alecto berbicara tanpa henti. Menjelaskan tentang tata letak, tata ruang serta segala hal yang harus Artizea ketahui.

Kapan terakhir kali adik kesayangannya datang ke sini?

Itu sudah sangat lama.

Sekitar dua atau tiga tahun yang lalu. Banyak hal sudah berubah dan beberapa bagian sudah ia renovasi. Namun ia menyiapkan kamar khusus untuk adiknya jika sewaktu-waktu datang ke sini.

Tanpa repot mengawasi sekeliling, Artizea langsung masuk ke kamar tidurnya dan tidak keluar lagi. Ia kelelahan dan ketiduran sampai tidak menyadari Alecto masuk dengan barang-barangnya.

Melihat adiknya tidur nyenyak, Alecto tidak berniat untuk mengganggu. Setelah meninggalkan catatan kecil di atas meja, ia pergi ke perusahaan untuk melakukan beberapa pekerjaan.

***

Kepergian Artizea, tidak banyak orang yang mengetahui.

Ketika Reyner menyadari, itu sudah hari ke lima.

Namun tidak ada niat dalam hatinya untuk menyusulnya. Berpisah adalah pilihan terbaik yang bisa di pilih untuk saat ini. Bukan berpisah untuk mengakhiri hubungan, tetapi berpisah untuk menata pikiran.

Selain dirinya, Artizea juga membutuhkannya.

Jadi, ia akan membiarkan semuanya tetap seperti ini untuk sementara waktu, sampai semuanya membaik, sampai keputusan yang tepat bisa di ambil.

Sementara itu, Artizea menjalani hari-harinya dengan melakukan segala hal yang ia suka. Alecto, pria itu tidak hanya menjaganya, tetapi juga mempercayakan kartu hitam untuk ia belanjakan.

Semua yang ingin ia beli, semua yang ingin ia makan, semua tempat yang ingin ia kunjungi, Alecto menyiapkan akomodasi bahkan menyiapkan mobil dan supir untuk mengantarnya pergi kemanapun.

Alecto adalah pria yang baik.

Setidaknya itu lah yang Artizea pikirkan.

Meski sedikit konyol, pria itu tidak pelit menghamburkan uang untuk adik perempuannya.

Selain baik hati, pria itu memiliki semua atribut pria ideal seorang pria. Bahu lebar, pinggang kokoh, dan kaki panjang. Kulitnya yang bersih melengkapi ototnya yang kencang dan menambah pesonanya yang sempurna. Yang terpenting, dia memiliki wajah yang sangat tampan. Dia adalah contoh utama maskulinitas. Tentang kekonyolan, kesampingkan karakter itu. Artizea ingin memuji dan membicarakan yang baik-baik tentangnya saat ini.

Bicara tentang Alecto, melihat pria itu tiba-tiba masuk ke kamar tidurnya tanpa mengetuk pintu, Artizea mengerutkan kening. "Ada apa?" tanyanya.

"Dimana ponselmu?" tanya Alecto. Ia baru saja kembali dari perusahaan. Sengaja pulang lebih awal dari biasanya karena seharian di bombardir oleh panggilan dan pesan yang tidak terhitung jumlahnya dari orang tuanya.

Meski Alecto sudah menjelaskan bahwa Artizea baik-baik saja, namun tidak mudah meyakinkan orang tuanya. Pada akhirnya ia memutuskan untuk pulang dalam rangka membuat perhitungan dengan anak nakal yang sudah menyulitkannya.

"Di sini," jawab Artizea sembari menunjuk benda pipih yang tergeletak di sampingnya. Ia tengkurap di atas ranjang dengan laptop di depannya. Karena seharian ini ia tetap tinggal di apartemen dan tidak pergi kemana pun, ia menonton beberapa film yang menurutnya menarik.

Alecto menyipitkan mata. "Lalu kenapa kau tidak menerima panggilan dari mereka?" geramnya. 'Mereka' yang Alecto maksud adalah orang tuanya.

Artizea mengerutkan kening. Ia mengambil ponselnya dan menyadari bahwa ponselnya kehabisan daya. Ia mengangkat wajahnya malu-malu hanya untuk melihat wajah marah Alecto. Tahu ia akan menjadi sasaran kemarahannya, Artizea bangkit dari tempat tidurnya dengan hati-hati. "Maaf, aku tidak menyadarinya." Ia membungkukkan tubuhnya dengan patuh.

Alecto hendak menyemburkan lava vulkanik namun hanya butuh sepersekian detik bagi Artizea untuk melarikan diri.

Alecto tertegun. Melihat adiknya lari terbirit-birit, muncul banyak tanda tanya di kepalanya. 'Sejak kapan bajingan kecil itu takut padanya? Aneh.'

Kekasihku Adalah Ayah Mantanku (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang