Tiga puluh menit berlalu setelah sesi percintaan berakhir.
Artizea keluar dari kamar mandi, di susul oleh Reyner yang berjalan di belakangnya. Mengenakan kimono handuk, dua sejoli itu baru saja membersihkan diri di kamar mandi.
Melihat paha yang indah dan tubuh yang begitu menggoda, Reyner tidak bisa menahan diri untuk tidak menerkam gadis di depannya. "Sayang," bisiknya sembari memeluknya dari belakang. "Kita pulang bersama, oke?" ucapnya kemudian. Ada sedikit kekhawatiran dalam dirinya atas keraguan Artizea. Entah gadis itu bersedia pulang bersamanya atau tidak, baginya percintaan tadi belum menjadi jawaban. Ia butuh kepastian.
Kata-kata Reyner yang menggelitik menyentuh titik sensitif di hati Artizea. Artizea menumpuk tangannya di tangan pria itu tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Ia menatap ke luar jendela. Tatapannya yang dalam menyiratkan banyak hal.
"Artizea, jawab aku! Kita pulang bersamaku, kan?" Reyner mengulangi perkataannya dengan tidak sabar.
"Baiklah," jawab Artizea pada akhirnya. Ia tahu Reyner serius, tentang Diego. Jika dia berkata Diego tidak akan muncul di hadapannya lagi sebagai pengganggu, maka itu adalah kenyataannya. Ia tidak akan pernah meragukannya.
Reyner mengulas senyum tipis. "Aku senang mendengarnya," timpalnya. "Aku berjanji akan memperlakukan mu lebih baik di masa depan."
"Kau selalu memperlakukan ku dengan baik, Reyner." Bahkan ketika ia berbohong tentang Diego, Reyner tidak memukulinya. Jangankan memukuli, memarahi pun tidak. Sungguh bodoh jika ia tidak bersedia hidup bersama pria seperti ini.
"Benarkah?"
"Mm." Artizea mengangguk. "Kau selalu memperlakukan ku lebih baik dari siapapun di dunia ini." Ia mengulangi perkataannya dengan sedikit emosional.
Reyner membalik tubuh Artizea hingga mereka berdua saling berhadapan. Tatapan mereka bertemu dan Reyner menggenggam jemarinya erat. "Aku mencintaimu, Zea. Sangat."
"Mm. Aku tahu. Dan aku juga."
Selesai mengungkapkan perasaan satu sama lain, Reyner menempelkan bibirnya pada bibir Artizea. Mengulangi hal yang tadi terjadi, tubuh mereka segera terjerat satu sama lain.
Tubuh Artizea terbakar dengan panas sepanas lava vulkanik dan satu-satunya orang yang dapat menyelematkan nya adalah pria dalam pelukannya.
Ia menempel erat pada kulit seperti marmer yang dingin. Naluri bertahan hidupnya akhirnya membuatnya melepaskan semua perlawanan.
Rasa sakit di sertai kesenangan yang perlahan naik sedikit demi sedikit seperti kembang api yang muncul di benaknya, membuatnya seperti ia adalah satu-satunya perahu di lautan api.
Bangkit lalu tenggelam, sulit untuk melepaskan diri.
***
Sementara Artizea dan Reyner memulai ronde keduanya di kamar hotel, Alecto menunggu Artizea dengan gelisah. Bahkan setelah gadis itu mengirim pesan teks dan membujuknya agar tidak khawatir atas kepergiannya yang tiba-tiba, sulit untuk tidak mengkhawatirkannya.
Sedang gelisah dengan apa yang terjadi, tatapannya tidak sengaja menangkap siluet seorang gadis yang familiar.
Dahinya menyernyit. "Xana?" gumamnya. "Kenapa dia ada di sini?" tanyanya pada dirinya sendiri. Xana adalah sahabat baik Artizea, jika Xana berada di sini, kemungkinan besar kedua gadis itu akan bertemu. Namun sayangnya, bukan Artizea yang berdiri di samping Xana, tetapi sosok seorang pria. Jadi, kemana Artizea pergi?
Alecto datang menghampiri Xana dan berhenti di depan gadis itu. "Xana, kau tahu dimana Artizea?" tanyanya tanpa basa-basi. Tanpa 'hai' atau pun 'halo', ia benar-benar berbicara langsung ke intinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kekasihku Adalah Ayah Mantanku (END)
RomanceArtizea benar-benar bahagia saat menjalin hubungan dengan Reyner, pria yang 20 tahun lebih tua darinya. Baginya, usia bukan masalah dalam sebuah hubungan. Sayang, kebahagiaan yang pikir akan bertahan selamanya hancur setelah kedatangan Diego, mantan...