Sinar kecil di hati Artizea segera layu.
Tubuhnya menyusut di kursinya dan pikirannya seketika kosong. Ia tidak tahu kenapa acara yang ia pikir akan menyenangkan, romantis dan manis tiba-tiba berubah menjadi horor.
Genre yang tidak pernah ia pikirkan.
Romantisme, perjalanan yang manis, melihat pemandangan indah, bergantian mengemudi, semua itu pupus sudah.
Diego, makhluk itu adalah penyebabnya.
Sumber dari segala jenis masalah.
Andai ia mempunyai bom molotov, mungkin sudah ia lemparkan ke mukanya yang menyebalkan.
Artizea menghela nafas panjang, berusaha menenangkan diri dari suara riuh di kepala. Setelah beberapa saat berlalu, ia menatap Reyner dan tersenyum. "Kenapa aku harus keberatan? Aku justru senang, Reyner. Kau tahu, hanya kita berdua terlalu membosankan. Semakin banyak orang, bukankah semakin menyenangkan?" Ia hampir mencekik lehernya sendiri saat mengatakan kalimat menjijikkan itu.
Nyatanya bukan hanya Diego yang berhak mendapat piala Oscar, tetapi ia juga. Aktingnya yang luar biasa, ia dapat melihat Diego tertawa dari kursi belakang.
Sial.
"Wah, baguslah." Diego bertepuk tangan mendengar kalimat bijak yang keluar dari mulut Artizea. Saking bijaknya, seorang motivator mungkin akan kalah banyak poin darinya. "Aku khawatir kalian akan bosan jika hanya berdua. Baguslah jika keberadaan ku sedikit berguna bagi kalian. Setidaknya aku tidak akan merasa sedih." Diego memajukan tubuhnya dan berbisik di telinga Artizea. "Benarkan, Zea?"
Tubuh Artizea menegang. Ia tiba-tiba merinding saat merasakan napas Diego yang hangat mengenai telinganya. Sebuah kesalahan mengajak Diego pergi bersama. Tidak. Bukan mengajak. Pria itu yang menawarkan diri untuk ikut. Setidaknya itulah makna yang ia tangkap dari perkataan Reyner.
Pria itu mesum.
Bahkan di depan ayahnya, pria itu berani menggodanya yang notabenenya adalah kekasih ayahnya atau katakanlah calon ibu tirinya.
Benar-benar gila.
Reyner tersenyum. "Baguslah jika semua baik-baik saja. Perjalanan ini akan sangat menyenangkan." Selesai berkata, Reyner menghidupkan mesin mobil dan melajukannya meninggalkan kediaman.
Sepanjang perjalanan terasa mencekam karena ada iblis yang duduk di kursi belakang. Namun kehadiran Diego bukan ancaman bagi Artizea. Ia tetap ceria dan banyak bicara seperti biasanya. Ia bercerita tentang kehidupannya setelah meninggalkan orang tuanya di Manchester dan tinggal di London seorang diri.
"Aku belum punya teman pada saat itu. Aku sendiri, benar-benar sendiri, tanpa siapapun." Artizea bercerita sedikit tentang kesendiriannya begitu tinggal jauh dari orang tuanya. "Tetapi setelah masuk sekolah, aku bertemu Xana. Sejak saat itu bahkan sampai sekarang, kami masih berteman." Melihat kembali ke masa lalu, masa itu sebenarnya tidak terlalu buruk. Banyak hal terjadi namun banyak pembelajaran di dapatkan.
Seperti kata pepatah, pengalaman adalah guru terbaik.
Jika tidak nekat tinggal sendiri di Kota yang jauh, mungkin sekarang ia masih menjadi anak mami yang tidur di bawah ketiak ibunya, tidak tahu apapun, tidak tahu dunia luar, tidak tahu peradaban umat manusia.
Untungnya, ia sama kuatnya seperti Alecto, kakak laki-lakinya. Sehingga ia dan kakaknya bisa membuat keputusan dengan tegas dan memilih sesuatu sesuai keinginan. Dan kebetulan orang tua mereka tidak pernah memaksakan apapun. Asal menjalani hidup dengan benar, tidak kecanduan obat terlarang, tidak mabuk-mabukan, baik-baik saja maka.
Reyner dan Diego mendengarkan dengan seksama dan tidak menyela selama Artizea bercerita. Diego tahu persis cerita ini. Artizea pernah menceritakan kisah ini ketika mereka masih tidur di ranjang yang sama.
Lain halnya dengan Reyner.
Ini kali pertama Reyner mendengar kisah masa lalu Artizea. Dan hanya dengan mendengar ceritanya, ia dapat membayangkan betapa kesepiannya Artizea pada saat itu.
Hingga setelah Artizea menyelesaikan kata terakhirnya, Diego angkat bicara. "Apa kau bersekolah di Mossbourne?" Ia bertanya santai dengan ekspresi datar seolah kata-kata itu secara tidak sengaja terlontar dari mulutnya.
Padahal, mana ada kebetulan semacam itu?
Yang ada, Diego sedang membuat lubang dan menunggu Artizea terperosok. Sesuatu yang tidak pernah Artizea sangka. Masuk ke jebakannya.
Hehe. Diego menyeringai di dalam hati. Tenang saja, serigala ini masih hidup dan sehat. Ini baru permulaan. Banyak waktu untuk menjatuhkannya di masa depan.
"Apa?" Artizea terkejut. Wajahnya yang semula baik-baik saja perlahan memucat. Ia menatap tajam Diego melalui spion sedangkan yang di tatap hanya mengangkat bahu, bersikap seolah pertanyaan itu hanya pertanyaan biasa, tidak sedikit pun merasa bersalah.
Sial. Artizea memaki di dalam hati.
Ia tidak menduga Diego akan menanyakan pertanyaan ini. Pertanyaan yang jawabannya sudah sangat jelas, sejelas siang hari.
Apa alasannya, motifnya jelas untuk menjatuhkannya.
Pria licik seperti Diego, apa lagi yang bisa di lakukan selain menjatuhkan seseorang dengan cara picik?
Mendengar pertanyaan Diego, Reyner turut bicara. "Diego bersekolah di Mossbourne. Jika kau bersekolah di sana, mungkin kah kalian mengetahui satu sama lain?"
Bibir Artizea bergetar. Hal yang ia takutkan, topik yang selalu ia hindari, akhirnya di angkat juga. Ia tahu suatu saat nanti pertanyaan seperti ini pasti muncul jika ia menceritakan tentang kehidupan masa lalunya. Itu sebabnya ia enggan menceritakan hal itu kepada Reyner. Namun, entahlah, ia juga tidak mengerti kenapa menceritakan kehidupan masa lalunya saat ada Diego.
Artizea menghela napas panjang, berusaha mengatur dirinya agar tidak terlihat gugup. Setelah sedikit lebih tenang, ia memulai sandiwaranya. "Benarkah?" tanyanya. "Jadi, Marcel juga bersekolah di Mossbourne?" Ia kembali melirik Diego dan tatapan mereka bertemu di udara, penuh permusuhan.
Artizea menyeringai.
Karena Diego sudah menyulut api, maka ia akan menyiramnya dengan air agar padam. Jangan harap ia akan jatuh dengan trik murahan semacam ini.
Diego mendecakkan lidah lalu menggeleng tidak peduli.
"Ya," jawab Reyner. "Dia siswa berprestasi. Itu sebabnya dia mendapat beasiswa dari sekolah," lanjutnya.
Artizea bertepuk tangan. "Wah, seperti yang di harapkan, putramu sangat hebat." Karena beasiswa sialan itu pula Artizea tertipu. Ditambah tipu muslihat Diego yang meyakinkan, ia percaya Diego anak kurang mampu yang berasal dari desa. Ia menggertakan gigi saat mengingat betapa ia sudah di bodohi.
Reyner mengusap puncak kepala Artizea. "Jangan berlebihan," ucapnya. "Dia tidak sehebat itu."
Artizea tersenyum. "Kau terlalu merendah. Dia sama sepertimu. Sangat hebat. Itu sebabnya aku menyukaimu."
Diego yang mendengar ini hampir muntah.
Artizea memang menyukai ayahnya, saat ini, namun Artizea tergila-gila padanya, dulu.
'Suka' dan 'tergila-gila' berbeda jauh. Perbedaannya sejauh langit dan kerak bumi. Jika sekarang Artizea hanya memberikan perasaannya, dulu Artizea tidak hanya memberikan perasaannya kepadanya, tetapi juga makanan, tempat tinggal, kasih sayang, perhatian, tubuhnya, dan segala hal.
Dan mau di pikir sebanyak apapun, ia tetap pemenangnya.
Setelah bermanja-manja sebentar dengan Reyner karena pengakuan itu, Artizea kembali berkata, "Lalu, apakah dia tinggal bersamamu?" Selama kurang lebih tiga tahun, Diego tinggal menumpang di apartemennya. Pada saat itu apartemennya hanya apartemen kecil. Namun ia tidak keberatan berbagi dengan Diego.
Itu karena dulu ia mencintainya, sangat mencintainya sampai bersedia memberikan apapun yang ia miliki.
Sungguh bodoh, benar-benar bodoh.
"Tidak," jawab Reyner. "Aku membeli apartemen di dekat sekolah. Aku ingin dia mandiri dan kebetulan dia tidak keberatan."
KAMU SEDANG MEMBACA
Kekasihku Adalah Ayah Mantanku (END)
RomanceArtizea benar-benar bahagia saat menjalin hubungan dengan Reyner, pria yang 20 tahun lebih tua darinya. Baginya, usia bukan masalah dalam sebuah hubungan. Sayang, kebahagiaan yang pikir akan bertahan selamanya hancur setelah kedatangan Diego, mantan...