34 (bukan mama)

1.3K 84 64
                                    

Pemuda itu berlari menghampiri sosok wanita yang begitu mirip dengan ibunya, lalu memeluknya erat, seolah takut kehilangan lagi. Namun, wanita itu dengan cepat melepaskan diri secara paksa.

"Kau siapa sih, bocah?! Seenaknya memeluk orang yang tidak kau kenal!" desis wanita itu tajam.

Deva menatapnya dengan mata berkaca-kaca. "Mama, ini Deva…" lirihnya.

Wanita itu menatapnya dengan raut bingung, lalu mendengus sinis. "Aku tidak mengenalmu sama sekali, bocah. Dan lagipula, aku masih muda! Tidak mungkin aku punya anak remaja sepertimu!" ujarnya ketus.

Fahri yang sejak tadi terdiam segera melangkah mendekat, lalu meminta maaf. "Maafkan putraku, Kak. Dia mengira kau ibunya."

"Cih! Harusnya kau ajarkan putramu untuk tidak sembarangan memeluk orang lain!" ketus wanita itu lagi.

Fahri menatapnya sejenak sebelum berkata, "Kami kehilangan sosok beliau tujuh tahun yang lalu."

Sejenak, ekspresi wanita itu berubah. Matanya melirik Fahri dan Deva dengan tatapan yang sulit diartikan. Namun, hanya sekilas. Ia lalu kembali bersikap dingin.

"Ayo nak, kita pulang," ujar Fahri seraya menggenggam tangan Deva, mencoba menariknya pergi.

"Tidak! Mama ikut pulang sama kita!" rengek Deva, berusaha melepaskan cengkeraman sang ayah.

Fahri menghela napas panjang, menatap putranya dengan penuh kesabaran. "Nak, wanita itu bukan ibumu. Dia hanya mirip saja."

"Tidak! Itu mama! Aku tahu itu mama!" Deva terus memberontak, tapi genggaman Fahri tidak kendur sedikit pun. Sementara itu, wanita yang tadi dipeluknya hanya menatap dengan raut sedikit ragu, namun tidak berkata apa-apa.

Di parkiran mal, Deva masih tetap bersikeras. Wajahnya merah menahan emosi, sementara matanya mulai memerah.

"Papa itu mama!" pekik Deva lagi.

"Papa, Dev mau mama pulang bersama kita!" lanjut Deva, kali ini dengan suara bergetar.

"Papa, bawa mama pulang!" rengek Deva semakin menjadi.

Fahri menatap wajah putranya dalam-dalam sebelum menarik napas berat. "Nak… ibumu sudah tiada. Dia pergi tujuh tahun yang lalu saat usiamu sepuluh tahun. Wanita tadi bukan ibumu. Dia hanya mirip," ujar Fahri tegas, mencoba menyadarkan Deva.

"Tidak!" Deva masih bersikeras. Matanya kini mulai berlinang air mata.

"Kita pulang saja," putus Fahri.

"Mama!" tangis Deva semakin pecah.

Fahri akhirnya berhenti berjalan. Dengan suara lebih tegas, ia berkata, "Zyandru Bakrie Radeva, papa katakan sekali lagi… ibumu, Bella, sudah di surga! Jangan terus mengatakan bahwa wanita tadi adalah ibumu!"

Deva menatap ayahnya dengan marah, lalu berteriak, "Papa jahat!"

Tanpa berkata apa-apa lagi, Deva masuk ke dalam mobil dan membanting pintunya dengan keras. Fahri hanya bisa menghela napas sebelum menyusul sang putra ke dalam mobil.

Sepanjang perjalanan, keduanya hanya terdiam. Tak ada percakapan, tak ada rengekan lagi. Hanya keheningan yang menyelimuti mereka. Deva menatap kosong keluar jendela, memperhatikan kendaraan yang berlalu-lalang, sementara Fahri membiarkannya. Ia memahami perasaan putranya, dan kali ini, ia memilih untuk tidak memaksanya berbicara.

Tiba di rumah, Deva langsung keluar dari mobil dan berjalan menuju kamarnya tanpa sedikit pun melirik ke arah sang ayah.

Setibanya di kamar, ia menghempaskan tubuhnya ke atas kasur. Tangannya meraih sebuah bingkai foto di atas nakas, menatap wajah ibunya dalam diam sebelum akhirnya memeluknya erat.

(Revisi) Deva (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang