40 (ke museum)

1.4K 101 112
                                    

Suasana di Belanda terasa berbeda bagi Deva. Biasanya, dia terbiasa dengan teriknya matahari pagi, tapi di sini cuacanya lebih sejuk dan adem.

"Bosan. Papa ke mana sih? Katanya cuma sebentar ke supermarket!" keluh Deva, menopang dagunya di jendela.

Baru dua hari di rumah sang kakek buyut, tapi dia sudah menerima beberapa hadiah. Barang-barang mahal yang sebenarnya tidak terlalu dia butuhkan.

"Mungkin sifatku dan Papa lebih nurun dari Eyang, bukan dari Kakek spek dakjal itu," gumam Deva sambil fokus menatap pemandangan di luar jendela.

"Memangnya kakekmu seburuk itu?" tiba-tiba suara Fahrul terdengar.

Deva langsung menoleh dan sedikit kaget. Sejak tadi dia terlalu fokus menatap ke luar jendela, menunggu kepulangan sang ayah.

"Jahat," jawab Deva singkat dengan ekspresi datar.

Fahrul hanya terkekeh pelan, lalu menepuk kepala Deva.

"Kamu boleh saja benci atau dendam sama kakek dan nenekmu. Eyang gak akan melarang, karena Eyang tahu sikap Rahmat memang keterlaluan," ujar Fahrul.

"Papa bilang, balas hinaan dengan prestasi. Bukan dengan tindakan jahat juga," sahut Deva santai.

"Hah! Fahri memang spek malaikat. Sayangnya, grandpa kamu tuh cuma silau sama harta," Fahrul menggeleng-gelengkan kepala.

"Harta bakal habis dan gak dibawa mati. Cuma amal perbuatan yang bisa menyelamatkan kita di akhirat," ucap Deva dengan nada serius.

Fahrul menatapnya penuh kebanggaan. "Fahri ternyata sukses mendidikmu jadi anak yang saleh," pujinya.

Tiba-tiba suara deritan pintu terdengar, membuat mereka berdua menoleh. Di sana berdiri Fahri, membawa kantong belanja yang cukup banyak. Deva langsung bangkit dan menghampiri ayahnya.

"Papa, kenapa gak manggil Dev aja buat bantuin bawa belanjaan?" tegur Deva sambil mengambil semua barang dari tangan sang ayah.

"Papa kira kamu tidur siang. Biasanya jam segini kamu ngorok," jawab Fahri santai. "Nanti habis sholat Isya lanjut balapan liar?"

Deva nyengir. "Balapannya cuma satu kali, kok. Eh, tapi pas Dev sampai finish, pasti ada suara sirine mobil polisi. Jadinya bubar deh," katanya sambil tertawa kecil.

Fahri menghela napas, lalu menyentil kening putranya.

"Argh! Sakit, Papa!" pekik Deva, mengusap dahinya.

Fahrul yang menyaksikan adegan itu hanya tertawa puas.

"Kakek udah makan siang belum?" tanya Fahri, mengabaikan rengekan Deva.

"Belum. Kakek sengaja nungguin kalian," jawab Fahrul santai.

"Dev udah masak buat makan siang," ujar Deva dengan bangga.

Fahri tersenyum, lalu menepuk kepala anaknya beberapa kali. Deva tertawa kecil, menikmati perlakuan hangat sang ayah. Rasanya menyenangkan mendapat apresiasi atas hal sederhana yang ia lakukan.

Mereka keluar dari kamar Deva, sekalian menaruh kantong belanja di kulkas dapur. Makan malam berlangsung dalam keheningan, tanpa canda tawa seperti biasanya. Selesai makan, Deva yang sejak tadi sudah ingin dipeluk ayahnya, memilih duduk di sebelah Fahri.

"Anakmu kenapa, Fahri?" tanya Fahrul heran, melihat Deva terus melirik ke arah ayahnya.

"Biasalah, minta dimanja," sahut Fahri santai.

Tanpa banyak bicara, Deva berdiri, lalu langsung duduk di pangkuan Fahri. Dia menempelkan pipi kanannya ke dada bidang sang ayah, diam saja tanpa melakukan apa pun.

(Revisi) Deva (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang