Chapter:10

31K 2.6K 80
                                    

happy reading
.

.

.

Voment guys...


"Nggak nyangka ya"

"Gila ngeri banget, masih Sma udah jadi pembunuh"

"Dasar pembunuh!!"

"Gue malu"

"Gue bukan pembunuh!! Joey memang pantas mati!!" Teriak Ellina histeris dengan tubuh yang meronta-ronta.

Kedua tangannya ditahan oleh pihak kepolisian bahkan kedua polisi sempat saling berpandangan saat melihat luka dilengan Ellina.

"Panggil dokter saja" Saran temannya yang diangguki oleh polisi tersebut dan memerintahkan dokter yang berjaga diuks untuk datang mengobati luka Ellina.

Hingga akhirnya selesai dan kedua tangannya berhasil diborgol oleh pihak kepolisian.

"Lepas! Lepasin gue! Gue bukan pembunuh"

"Tenanglah nak, ikutlah dengan kami untuk melakukan pemeriksaan sebelum kami melakukan pemaksaaan" Ujar salah satu polisi.

"Gue nggak mau!! Gue nggak salah! Bang Jeff tolong!" Teriak Ellina namun Jeff hanya diam sembari menatapnya dengan tatapan kosong.

"Gue nggak salah! gue nggak salah! Ini semua salah Joey!! ini salah Zion juga hahahaha" Teriak Ellina diakhiri dengan tawa.

Ekspresi gadis itu begitu kacau, menandakan bahwa mentalnya benar-benar terguncang saat ini.

"Jeff"

Jeff menoleh kearah kedua orangtuanya yang baru datang lalu menyunggingkan senyum tipis dengan mata yang berkaca-kaca.

Jevan Stevenson dan Shilla Stevenson menatap anak angkat mereka dengan tatapan tidak percaya dan menyesal.

"Dia bunuh Joey dengan sengaja ma. Dia membohongi kita selama ini. Kita gagal rumah yang baik untuk Joey" Lirih Jeff.

Ia menyesal. Rasanya begitu menyakitkan saat ia kembali mengingat kenangan ia dengan Joey, adik kandungnya.

Kenangan buruk karena semasa hidup Joey, ia tidak pernah sekalipun memperlakukan Joey layaknya Saudara kandung.

Benar kata Axel, ia benar-benar terlambat. Semuanya sudah benar-benar usai, hanya meninggalkan sebuah rasa sakit penyesalan tanpa kata usai.

"Mama! Papa! Tolongin Ellina! Ellina nggak salah! Joey yang salah! Hahaha ini semua karena lo Zion!! Lo Penghancur masa depan gue!!" Teriak Ellina.

"Gue harusnya bunuh lo juga!! Ini semua gara-gara lo Zion!!" Teriak Ellina yang kini tubuhnya ditarik paksa oleh kepolisian untuk melakukan pemeriksaan lebih lanjut untuk kasus yang dulunya ditutup.

Siswa dan siswi beranjak pergi dari taman belakang dengan gosip terbaru, tersisa hanya Jeff dkk. Sedangkan kedua orangtua Jeff sudah pergi ke kantor polisi.

"Gue masih nggak nyangka kalau pembunuhnya itu Ellina" Ujar Jay.

"Dia yang terlalu ahli atau kita yang terlalu bodoh?" Sambung Valen.

"Gue merasa bersalah sama Joey" Ucap Albian.

"Makannya jangan bodoh, nyesel kan" Sahut Vino lalu menghembuskan asap rokok keudara tanpa memperdulikan tatapan maut para sahabatnya.
.

.

.

Disisi lain.

Seorang lelaki berjalan memasuki pemakaman dengan tatapan sendu. Air mata perlahan menetes membasahi pipinya.

"Lo pasti bisa Al"

Dia adalah Alvian Sebastian, kakak kandung Zian.

Dibelakangnya kedua orangtuanya juga berjalan dengan tangan yg membawa keranjang berisi bunga dan sebotol air mineral.

"Hai Zian, kami datang" Ucap Alvian tepat didepan makam sang adik yang penuh dengan bunga.

Alvian mengusap nisan Zian lalu menatap Buket-buket bunga yang terdapat dibawahnya.

Bukti bahwa banyak orang yang ziarah kemakam adiknya dan kehilangan sosok pemuda cuek tersebut.

"Maafin abang ya zi, Abang gagal jadi abang yang baik buat kamu. Kamu pergi kenapa cepat banget? Abang bahkan belum sempat minta maaf dan tebus semua kesalahan abang sama kamu" Ucap Alvian.

Ziva menundukkan kepalanya, tatapannya menatap kearah nisan sang anak bungsu yang telah mendahului dirinya.

Vino merangkul sang istri lalu menghela nafas panjang. Rasa sakit ini semakin menusuk ketika melihat nisan yang terukir nama Zian, putra bungsunya.

Masih teringat jelas diingatannya tentang malam itu, malam yang merenggut sang putra dari dekapannya dengan paksa.

Zian meninggal dalam perjalanan ke rumah sakit, Ia terlambat. Ia terlambat mengucapkan kata maaf dan terlambat melakukan penebusan atas apa yang ia lakukan pada Zian.

Vino terkekeh pelan dengan air mata yg sudah membasahi pipinya, menertawakan kebodohannya dan kegagalan dirinya.

Vino Menarik Ziva untuk berjongkok didepan makam Zian, Alvian menggeser tubuhnya, memberikan ruang untuk kedua orangtuanya.

"Zian ini papa, maafkan papa yang tidak berguna ini, maafkan kesalahan papa, papa harap kamu baik-baik saja disana, maafkan papa" Ucap Vino lalu menundukkan kepalanya, ia hanya bisa mengucapkan kalimat tersebut.

"Zian abang kangen sama Zian, kenapa Zian pergi cepat banget? Katanya Zian sayang abang tapi kenapa Zian tinggalin abang? Abang jahat banget ya sama Zian..Maafin abang"

"Kamu balas kami dengan kepergian kamu Zian, itu sangat menyakitkan" Lirih alvian.

"Jangan benci kami ya Zi"

Alvian menaburkan bunga mawar ke kuburan sang adik dengan tangisan yang tak kunjung usai.

"Kamu nggak mau ngomong sama Zian ziv?" tanya Vino membuat Ziva mendongak lalu menatap Nisan sang putra.

Wanita cantik tersebut menghapus air matanya dan mengusap nisan tersebut seolah-olah mengusap surai Zian.

"Hai anak mama, maafin mama nak, Mama kangen sama kamu hiks, kenapa kamu pergi secepat ini? Mama bahkan belum minta maaf secara langsung, belum peluk kamu hiks"

"Mama Belum sempat Nebus kesalahan mama selama ini sama kamu, mama hiks nggak pernah ngasih perhatian sama kamu, hiks mama pengen Nebus kesalahan mama, tapi kamu pergi lebih dulu tanpa menoleh ke belakang"

"Mama nyesel nak"

Vino mendongakkan kepalanya, menatap langit yang berawan seolah-olah ikut merasakan kesakitan akibat kepergian dari Putra bungsu nua, Zian Sebastian yang pergi mendahului mereka.

"Maafkan papa"
.

.

.

TBC
Vote and koment guys...

Note: semua Akan ada artinya ketika tidak lagi bersama.

ZIAN NOT ZION Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang