Chapter:30

15.2K 1.3K 28
                                    

y Reading
.

.

.

Voment guys..
.

12:00 wib.

Zion memarkirkan motornya dipekarangan depan Mansion lalu melepas helm yang dikenakannya dan berdecih ketika melihat jajaran motor dan mobil yang terparkir disebelah motornya.

Tangannya mengepal ketika mengingat siapa pemiliknya, mereka sangat tidak tahu malu!.

Zion membanting helm mahalnya ke tanah lalu berjalan masuk dengan wajah datar dan tatapan tajam yang siap menghunus siapapun.

"Selamat siang tuan muda" Sapa bodyguard yang berjaga didepan pintu utama yang hanya mendapatkan anggukan singkat Zion.

BRAK!!

Pintu utama terbuka lebar, sebelum pintu dibukakan oleh salah satu bodyguard, zion lebih dulu menendang kuat pintu hingga terbuka lebar untuk melampiaskan amarahnya meskipun itu sia-sia sepertinya.

"Zion, mama kira siapa, kamu lagi ada masalah?" Tanya Vania dengan nada lembut, urung untuk memarahi Zion.

"Kenapa mereka disini?" Tanya Zion dengan tatapan yang menatap tajam Valen dkk plus perempuan tersebut yang tengah duduk diruang tamu.

"Zion kamu lupa? Mereka sahabat dan tunangan kakak kamu, wajar mereka disini" Ucap Vania membuat Zion menaikkan alisnya satu.

"Ouh aku lupa dan aku juga melupakan bahwasannya mama adalah salah satu penyebab kak Axel koma" Balas Zion.

Deg!

Vania tertegun dengan tatapan terkejut menatap Zion yang juga menatapnya dengan tatapan dingin layaknya yang saat ini berada di depannya bukanlah ibunya melainkan musuhnya.

"Pembunuh dan pembunuh memang pasangan yang serasi" Ucap Zion lalu berjalan kearah lift meninggalkan mereka yang terdiam karena ucapan nya.

Mau bagaimanapun juga citra mereka dipandangan Zion tetaplah sama, tidak akan pernah berubah dan entah kapan akan berubah.

Vania menundukkan kepalanya, menangis tergugu karena ucapan Zion yang seperti tamparan keras diwajahnya.

Ia tak bisa membela diri karena memang itulah Faktanya, ia yang mendorong Axel itu bunuh diri.

"Axel maafin mama"
.

.

.

Zion membasuh wajahnya beberapa kali sebelum akhirnya ia menatap wajah pucat nan tampannya dari kaca di depannya.

Tersenyum dengan tatapan kosong, senyum yang dipaksakan itu terlihat jelek dan sedih.

"Lo harus sembuh Zion, kakak bantu Meskipun mungkin nggak ngaruh...hahaha"

"Zion belajar mencintai diri sendiri itu jauh lebih sulit daripada mencintai oranglain"

"Katanya mau bantu tapi kok lo sendiri yang mau nyerah xel? Lo bohongin gue akhirnya"

"Lo tahu nggak sih gue nyaris gila, gue kangen lo bang"

Zion menundukkan kepalanya, air matanya menetes kepipinya. kehilangan harapan terakhir itu lebih menyakitkan dibandingkan tidak mendapatkan harapan itu sendiri.

Rasanya bercampur aduk bersama dengan dendam dengan mereka yang membuat ini semua terjadi.

Tatapan kosong itu berubah menjadi tatapan tajam nan dingin, zion meremat pinggiran wastafel kuat.

"Menunggu karma datang terlalu lama maka biarkan aku yang menjadi karma untuk mereka" Ucap Zion lalu menghapus air matanya dengan kasar.

Zion memutar keran hingga air tidak lagi keluar lalu berjalan keluar dari toilet dan matanya langsung bersitubruk dengan orang yang paling ia tidak sukai.

"Zion, stop!" Panggil Jay ketika Zion berjalan melewatinya begitu saja hingga ia harus mengikuti langkahnya.

"Zion, gue mohon berhenti! Gue cuman mau bicara sama lo!" Teriak Jay.

Zion menghentikan langkahnya lalu Membalikkan tubuhnya dan menatap tajam Jay yang tersenyum tipis lalu berjalan menghampiri Zion.

"To the point" Ucap Zion dengan nada dingin.

"Gue cuman minta satu hal, jangan penjarain Laina, gue tahu dia salah tapi dia masih muda, masa depan dia bisa hancur" Balas Jay membuat alis Zion terangkat satu dengan sudut bibir yang terangkat.

"Cih, pembunuh memang tempatnya dipenjara jika adik lo nggak mau dipenjara, jangan jadi pembunuh" Ucap Zion.

"Zion gue mohon, dia satu-satunya harapan gue-"

Zion memundurkan langkahnya sembari mengangkat tangannya sebagai tanda untuk Jay berhenti berbicara hal tidak masuk akal menurutnya.

"Lo seperti kesurupan tokek polkedot, ucapan lo nggak masuk akal! Lo tahu gara gara adik lo! Gue hampir kehilangan harapan gue!!"

"Dia harapan gue Zion, jika dia hancur gue lebih hancur"

"Bagaimana dengan gue jay? Gue bisa lebih hancur disaat axel lebih milih nyerah?! Gimana Jay?!"

"Gue lupa lo dalang utamanya disini, gimana perasaan lo? Lega? Lega ketika melihat kakak gue berjuang diantara hidup dan matinya?! Lega lo kan?! Ini yang lo mau kan?!" Lanjut Zion.

"Gue nggak pernah menginginkan hal itu Zion! Itu diluar kendali gue!" Balas Jay.

"Oh ya? Dan lo pikir gue percaya? Kalau lo nggak maksa dia buat nerima adik lo, axel nggak akan berakhir seperti ini"

"Zion berhenti menyalahkan gue atas apa yang terjadi! Semua udah takdir"

"Takdir? Jadi Elaina meninggal itu takdir bukan di bunuh sama adik lo?jangan berdalih dengan kata takdir"

"Dan untuk adik lo tersayang, jaga dia dengan baik karena gue nggak tahu gue bisa menahan diri atau tidak" Ucap Zion lalu membalikkan tubuhnya dan berjalan pergi meninggalkan jay sendiri.

"Jay"

Jay menoleh ke arah Albian yang berjalan menghampirinya dengan wajah datar dan tatapan kosong.

"Jangan paksa dia untuk melakukan hal yang tidak mungkin dilakukannya" Ucap albian membuat Jay menatap sang sahabat dengan tatapan bingung.

"Kenapa?" Tanya Jay.

"Jika adek lo dipaksa menyerah oleh orang lain, apa yang bakal lo lakuin?"

"Gue bakal buat hancur orang itu sampai dia berpikir mati lebih baik daripada hidup"

Albian tersenyum mendengar ucapan Jay, jay terdiam sesaat lalu menatap albian kosong. Sekarang ia tahu bagaiaman rasanya menjadi Zion.

"Petani tidak mungkin membiarkan serangga kabur setelah menghancurkan tanamannya begitu saja, tapi ini bukan tentang petani dan tanamannya"

"..........."

"Sekarang Mengertikan?"
.

.

.

TBC
Voment guys.

Maaf ya lama up....

Jangan lupa voment ya ..bye.

ZIAN NOT ZION Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang