Yera terus menyumpah serapah dokter tadi sambil berjalan ke arah apotek, pasalnya dokter itu tidak mau pasien terlambat sedangkan ia telat satu setengah jam lebih. Bayangkan saja jika ada pasien darurat.
"Nyuruh cepet giliran cepet malah ngaret lama banget, situ yang telat gue yang diomelin. bayangin coba kalau ada pasien darurat apa tunggu mati dulu baru di tanganin? Gaji elit kerja sulit."
Langkahnya terhenti bahkan mulut refleks terkunci, apa ia tidak salah liat? Itu jeri, ia sedang berbicara dengan dokter di depan pintu ruangan. Yera meneruskan jalan ke arah apotek tepat berada di samping jeri tanpa menyapa.
Jeri tidak menyadari kehadiran yera.
"Datang kesini sesuai jadwal dan jangan skip obat, ini demi kebaikan kamu jeri. Ingat saya kemarin bilang penyakitmu ini bisa mengancam nyawa. Jangan sampai drop! Kita gak pernah tau kemungkinan apa yang akan terjadi kedepannya."
Yera terkejut dalam diam, kepalanya langsung mengarah pada jeri, jeri sakit apa sampai mengancam nyawa? Selama ini ia terlihat baik-baik saja.
"Iyaa dok makasih banyak, saya lakukan yang terbaik, saya gak mau mati muda."
Terlihat jelas ekspresi jeri yang di paksakan tersenyum. Selesai dengan dokter jeri langsung membalikkan badan dan menemukan yera yang sedang menatapnya.
Jeri terdiam seribu bahasa, ia yakin yera mendengar semuanya.
Yera mendekat ke arah jeri berdiri dengan ekspresi yang sulit di artikan. "Kak jeri sakit apa? Mati muda maksudnya apa?"
Pertahan isa runtuh, ia tidak pernah merasa hancur sesakit ini, bahkan lebih sakit dari yang pernah ia alami. barang di sekitarnya bahkan sudah berhamburan karenanya.
"AAKKHH!! Kenapa semuanya jadi gini, dan? Semua ninggalin gue, gue pikir cukup sampai di ian ternyata jeri juga, siapa setelah ini? Lo juga? Lo juga mau ninggalin gue gak papa."
Widan tidak bisa berbuat apa-apa, isa benar-benar di luar kendalinya.
"Gue selalu mau jadi orang yang berguna buat orang lain, tapi gak ada yang pernah datang ke gue. Gue harus apa sekarang? Gak ada yang pamit baik-baik ke gue, semuanya terlalu tiba-tiba."
