SEMBILAN

415 38 2
                                    

Sejak Scene memutuskan untuk tidak dapat hadir pada undangan makan malam keluarga Changkham seminggu yang lalu, wanita itu resmi menghilang tanpa kabar. Bagaimana tidak, fokusnya seperti terbelah menjadi beberapa keping. Selain ia harus memberikan perhatian kepada ayahnya yang masih terbaring di rumah sakit, ia juga harus membagi waktu dan tenaga untuk pekerjaan yang lain. Belum lagi, proyek dari UNICEF yang timnya sukses juarai minggu lalu sudah mulai harus diperlihatkan progresnya.

Scene tahu, sudah ada banyak sekali pesan yang terendap di ponselnya. Entah itu dari Keth atau Kinn yang mencari dirinya di grup obrolan mereka sesekali. Lalu Kim yang juga tampak beberapa kali mencoba terhubung. Namun Scene hanya dapat membalas pesan-pesan tersebut tidak banyak. Beruntung ketiga saudara Changkham itu berada di luar negeri saat ini. Sehingga, Scene bisa lebih fokus sedikit, tanpa harus mengkhawatirkan bagaimana cara ia bisa berkomunikasi dengan Keth, Kinn dan Keth.

Memasuki sebuah paviliun bertipe President Suite—begitu ia telah meloloskan diri melewati pintu, seketika Scene spontan menghentikan langkah dan membeku. Wanita itu menjadi gugup dan gerak bola matanya merayap liar. Ia bahkan hampir saja menjatuhkan goyard bag yang sedari tadi menggantung di bahunya.

"Scenery," sapa Keth begitu melihat Scene yang sudah ia anggap seperti adik kandungnya sendiri, kemudian bangkit dan langsung memeluk Scene. "Gue benar-benar marah dengan lo sekarang," lanjut Keth lagi.

Scene tersenyum tipis mendengar tuturan Keth dan mengelus punggung lelaki itu lembut—berusaha menenangkan. "Gue baik-baik saja, jangan khawatir."

"Kebiasaan jelek lo ini harus dikubur dalam-dalam—."

"Sudah-sudah jangan dimarahi, Keth." Kinn ikut mendekat dan mencoba menengahi Keth agar berhenti menuangkan rasa kesalnya. "Dia juga kurang nyaman kalau harus memberitahu kita, sekaligus bingung."

"Kebiasaan selalu menyimpan apa-apa sendiri." Putra sulung Changkam itu masih bersungut kesal. Ia terlihat begitu khawatir sambil menatap Scene—sementara yang ditatap hanya tersenyum kecil seakan-akan ini bukan sesuatu yang besar. "Lo lihat Kinn, pipinya mengecil dan wajahnya terlihat pucat. Lo pasti jarang makan kan sekarang? Apa susah memberitahu kita kalau Om Marteen sedang sakit, Scenery."

"Maaf ya. Gue nggak mau membuat kalian semua menjadi khawatir."

"Tell us about your shift schedule here. And Kinn, make sure to call our kitchen staff to deliver regular meals to Scenery. Or anything else she needs, because we cannot see her like this," perintah Keth kepada Kinn.

"No pl—"

"Jangan menolak atau gue semakin marah?" tegas Keth langsung memotong sanggahan Scene sementara ia sudah mengira bahwa Scene akan jelas menolak inisiatifnya itu. Begini lah Keth, little did everyone knows—jika lelaki ini sedang dalam masa khawatir maka sifat keras kepalanya akan langsung muncul. Kalau sudah begini, Keth pantang sekali untuk dibantah.

Kinn—yang berada di sebelah Keth hanya menghembuskan nafas bingung. "Terima saja ya, Scenery, boleh?" Kali ini, Kinn yang membujuk dengan lembut. Tangannya juga terulur untuk mengelus pucuk kepala Scene sayang.

Scene terpaksa mengangguk tanda ia mengiyakan tawaran dar Keth dan Kinn. Tidak ada untungnya juga untuk membantah Keth sekarang, pikir Scene. Karena pasti lelaki itu akan tetap bersikeras. "Terima kasih ya. Gue benar-benar meminta maaf dan sudah merepotkan. Tidak bermaksud untuk menyembunyikan apapun, tetapi gue sangat memahaminya kalau kalian semua sedang sibuk-sibuknya dan gue tidak mau mengganggu itu. Rasanya hanya kurang etis kalau tiba-tiba gue memberi kabar yang kurang mengenakkan seperti ini."

"Lain kali tolong dikabari saja kita mau sesibuk apapun. Jangan merasa sungkan meskipun mungkin kita tidak bisa tepat waktu langsung datang, tapi setidaknya lo memiliki tempat untuk berbagi keluh kesah serta kita yang bisa sambil berbagi pikiran. It must be really hard, isn't it?" ujar Kinn sambil menasehati.

Just Skies are DrawingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang