Pukul dini hari adalah tiap-tiap orang bisa jadi akan menjadi sangat berbeda, layaknya berdiri di lapang pengakuan. Ada yang tertawa, menari, merangkai mimpi, menguatkan diri untuk hari-hari esok, saling memeluk, menyatukan pikiran, bahkan tidak banyak akan menjadikannya pelampiasan untuk berbagai emosi yang telah lama dikekang dan mengusik diri.
Dan dalam kesunyian serta gelapnya malam, buliran air terus menerus turun, kilatan cahaya sesekali datang, namun wanita itu—yang kini meringkuk di dalam selimut terlihat tidak terganggu sedikitpun. Pikirannya mengawang, sorot matanya begitu sedih, banyak suara yang begitu pelik saling sahut menyahut di dalam kepalanya. Ia telah tertidur beberapa jam yang lalu, akhirnya mendapatkan sedikit waktu untuk beristirahat, namun sayang, harus terbangun dengan nafas tersengal ketika mimpi itu kembali datang.
Mereka akan kembali datang ketika dirinya dilanda rasa letih luar biasa, seakan-akan memaksa untuk harus selalu bahagia dan menyayangi diri. Jantungnya berdegup tak beraturan, namun Scene tidak bisa melakukan apa-apa, selain hanya meringkuk—sambil memandangi suasana gelapnya malam yang berkabut karena hujan.
Tepat pada pukul dua pagi, ponselnya berdering. Ia meraih benda persegi tersebut, menatap si layar yang menampilkan nama Kim—memanggilnya entah ada perihal apa.
"Aku suka hujan." Kata pertama yang Scene dengar begitu panggilan keduanya terhubung. "Suka sekali," lanjut lelaki itu.
Scene tahu, Kim sangat menyukai hujan. Kim bilang, aroma hujan membawa ketenangan setelah hampir setengah tahun bergelut dengan musim panas—hujan layaknya membawa secercah harapan. Seperti hidup akan memulai fase baru—berjalan untuk berganti tahun. Jika hujan datang, dengan intensitasnya yang cukup tinggi, itu menandakan bahwa kamu telah menjalani tahun-tahun dengan baik dan luar biasa hingga bisa sampai disini, sedikit lagi.
Tapi, Scene tidak suka. Scene membenci hujan, Scene membenci musim dingin, sejak hari itu.
"...."
"Scenery? Why are you still up?" Kim memanggil namanya. Kim menanyakan dirinya. Namun wanita itu enggan berbicara dan menyahut, ia hanya meletakkan layar ponsel di telinga—sementara pandangannya tetap ke arah luar sana. Hujan.
"Are you okay?"
"...."
Scene masih tidak memberikan balasan, namun hembusan tiap-tiap nafasnya bisa didengar oleh Kim. Kim tahu, bahwa disana Scene mendengarkannya. "Maaf aku menghubungi kamu di jam ini," ucap Kim. "Kamu tahu, aku mematikan penghangat ruangan dan membuka sedikit pintu balkon sekarang. Ada bau hujan, hawanya sangat membuat aku tenang. Aku tidak kedinginan sama sekali, Scene."
'Tapi aku kedinginan.'
"Aku—tahu mungkin kamu enggan berbicara, tapi terima kasih karena telah mengangkat panggilan ini. Terima kasih banyak, ya." Kalimat itu berhasil membuat air mata yang tertahan pada ujung mata Scene akhirnya turun perlahan, membasahi sprei yang bertempelan langsung dengan sisi kanan wajahnya. "Scenery, aku—tidak tahu."
Kim menarik nafasnya disana. Lelaki itu juga sama, merebahkan diri di atas ranjang sambil memandangi air hujan yang turun dan membasahi dinding kaca apartemennya. "Meenara sudah membuat laporan, kamu pasti melihatnya. Namun, laporannya berbeda, Scene." Suara Kim menurun—ada keraguan. "Aku tidak tahu sama sekali, dia berjalan sendiri. Aku—mulai ragu."
"Aku bingung, apakah langkahku kali ini memang benar. Aku takut. Maaf Scene, tapi aku tidak tahu bisa menceritakan ini kepada siapa, aku hanya percaya kamu." Scene menggenggam kain selimut yang membungkus seluruh tubuhnya dengan kuat—pandangan wanita itu juga semakin memburam, penuh sudah akan air mata. "Bagaimana kalau aku salah? Aku sudah menyakiti kamu sebesar ini. Aku sementara merelakan semuanya, aku—"
KAMU SEDANG MEMBACA
Just Skies are Drawing
RomanceBARIS PERTAMA TANGERINE✓ Tentang termuda Changkham dan si bungsu Caskey yang terkasih, Scenery Caskey, ikatan yang melampaui waktu. Selama hampir lima belas tahun, tak pernah terpisahkan, terkoneksi abadi bagai bintang-bintang indah di langit. "Scen...