ENAM PULUH DUA

274 26 0
                                    

Two months after the court's official decision regarding River was made, 2023.

Ini sudah kali kelima Nicha memesan secangkir Americano di cafe yang sama meskipun ia tidak mencicipi air berwarna kecokelatan tersebut barang setetes. Usaha itu sengaja ia lakukan karena ingin berbicara langsung dengan si barista. Sementara si barista juga berusaha keras, tidak mau memperdulikan kehadiran Nicha—saat ini. "Can we talk?" Nicha akhirnya membuka suara tanpa basa basi. "I know you, Meenara," sebutnya.

Meenara lantas melirik sebentar sebuah name tag yang tertempel pada apronnya. "Benar, mungkin ada lagi yang bisa saya bantu, Nona?" balasnya ramah. Meskipun ia sangat tahu kepada siapa dirinya berbicara sekarang, namun ia tetap berinteraksi sebagaimana harusnya di area pekerjaan.

"Aku tahu kamu. Kita pernah pergi ke sekolah yang sama ketika di Jakarta."

"Sepertinya anda salah orang—"

"ACSJ, Ballerina, mantan kekasih Kim Changkham." Nicha menyebutkan tiga kata dan sukses membuat Meenara perlahan melunturkan senyum tipisnya. "Kenapa kamu menjadi seorang barista?" Berpura-pura— Nicha terus melayangkan pertanyaan diiringi nada polos.

"Mencari pengalaman lain," jawab Meenara pendek. Matanya sengaja difokuskan pada layar tab seraya mengotak-ngatik bagian menu acak—tidak mau bersinggungan langsung dengan lensa mata Nicha yang sedang menatapnya penuh ingin tahu.

"Benar kah?"

"Ada apa?"

"Aku tahu perihal Kakakmu dan Scenery."

Meenara akhirnya menghembuskan nafas kasar. "Lalu?"

"Tidak kah seharusnya kamu marah?" Untungnya cafe sedang sepi, sehingga Nicha bisa leluasa tetap berdiri di depan meja bagian pemesanan. "Aku tahu kalau Scenery dan keluarganya lah yang membuat kamu harus berhenti dari dunia ballerina. Kemudian—di tempat ini," lanjutnya yang lalu memasang reaksi angkuh ketika menyaksikan tiap-tiap sudut cafe yang menurutnya sangat tidak sesuai dengan seleranya. Beberapa kali, ia juga menghentakkan ujung sepatunya jijik.

"Aku tahu diri."

"Pardon?"

Saat itu, Nicha bisa menyaksikan perubahan ekspresi Meenara yang menggelap sekaligus bersentuhan langsung dengan lensanya. Jelas, ini yang ia inginkan. "Aku bisa apa? Ingin marah dan meraung sebesar apapun—apa yang bisa aku lakukan untuk melawan kalian? Aku bukan siapa-siapa."

"Kamu tahu, tidak setiap keluarga seluruh anggotanya selalu meletakkan suara yang sama, bukan?" cetus Nicha sengaja. "Kalau kamu ingin melawan, jelas membutuhkan seseorang yang sangat memahami bagaimana seluk beluk pergerakan mereka semua, dan kamu—" Seutas senyum dengan indikasi berbeda menggurat di wajah Nicha. "Sudah memiliki seseorang yang tengah menaruh diri pada sisi yang sama. Aku tahu dimana Scenery sekarang. Wanita itu sedang menghabiskan seluruh waktunya—berlibur panjang di tempat yang luar biasa indah," tandas Nicha sengaja melebih-lebihkan. Sejatinya, ia sangat tahu bagaimana harus bergerak halus dan memanipulasi emosi sang lawan bicara.

*****

"Giliran kamu," ucap Scene dan ia mundur selangkah mempersilahkan Kim untuk maju dan menuliskan nama serta tanda tangan pada selembar kertas izin kunjungan. Saat ini, keduanya tengah berada di rutan berniat untuk mengunjungi Meenara.

"Kamu saja, aku menunggu di sini." Kim berucap pelan masih di posisi awal—berdiri di belakang Scene. "Maaf," sambungnya lagi.

Scene tersenyum seraya menepuk pelan lengan Kim—berusaha memahami sahabatnya itu yang mungkin tidak nyaman. Sepanjang perjalanan tadi, ia menyaksikan bagaimana Kim yang diam-diam menyembunyikan kegusarannya. "It's OK. Tunggu, ya."

Just Skies are DrawingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang