TUJUH BELAS

307 25 4
                                    

trigger warning : abuse relationship. silahkan diskip aja  part ini semisal bikin ga nyaman ya. terimakasih.

"Sini kamu!"

"Sakit....."

"Lebih sakit aku. Kamu bohong! Udah berani kamu jadi pembangkang, hah?! Gabriel? Aku bilang kamu di rumah aja kenapa keluar?!"

"Kita cuman bicara untuk project....." Suara si wanita terjeda ketika ia merasakan perih serta nyilu pada jari-jari kakinya.

"Bohong terus!"

PLAK

"Udah.... Sakit...."

"Ini biar kamu ingat!" Si lelaki semakin mengencangkan cengkramannya pada helaian rambut si wanita.

"Kamu....berhenti obsesi sama aku....," si wanita memejamkan mata berusaha menahan rasa sakit pada sela-sela jari kakinya. "Kamu gak cinta sama aku... kalau ci...."

PLAK

"Bicara lagi. Coba bicara lagi? Gak tau diri sekarang kamu!" Si lelaki semakin mengencangkan suara. Tidak peduli wanita di depannya hanya bisa menunduk dengan bahu yang bergetar sambil menangkup pipi kirinya yang mulai kembali memerah.

Luka kemarin belum sembuh sepenuhnya.

Tapi ia mendapatkannya lagi.

"Kita putus aja aku mohon," pinta si wanita putus asa. Suaranya mulai bergetar. Tapi ia mencoba untuk memberanikan diri. "Aku mohon......"

"Putus?" Lelaki yang sudah dipenuhi dengan hantu amarah itu menurunkan tubuhnya agar sejajar dengan sang kekasih. Ia menyentuh halus wajah pucat si wanita yang bagian ujung matanya masih membiru. Sedetik kemudian si lelaki mendorong kasar wajah kekasihnya lagi hingga tubuh wanita itu tersungkur jauh. "Udah dikasih makan apa kamu sama si Gabriel itu? Udah tidur berapa kali?! Sepinter apa dia muasin kamu?"

"You're being too....far...." Si wanita semakin terisak dengan suara yang tertahan. Tidak ada lagi air mata di mata cantiknya. Sudah kering. Seakan-akan ia telah mengalami hal buruk ini dalam waktu yang begitu lama.

"While I saw you kissed Jena last night...."

Menyebutkan nama Jena membuat si lelaki semakin kalang kabut. Ia lalu mendatangi tubuh kekasihnya dan menarik tangan kanan si wanita — menyeretnya dengan tidak peduli — memaksa untuk menyamai langkahnya.

Meskipun si wanita masih tergeletak lemah di lantai dengan kondisi yang memprihatinkan.

Si lelaki tidak peduli.

"Enteng kamu bilang putus! Semakin berani kamu!"

"No. Don't bring me there..... I'm begging you...."

"Dasar wanita gila! Mentang-mentang kamu berkoneksi dengan salah satu keturunan bangsawan Perancis jadi gini! Congkak! Sini, aku bersihin kamu sekarang!"

"Ple....."

Scene terperanjat di tengah tidurnya sehingga ia terpaksa untuk bangun dan membuka mata. Nafasnya memburu, selama beberapa detik ia hanya bisa membisu sambil mengerjapkan mata berulang kali — menatap lekat langit-langit kamar dengan pikiran yang berkecamuk kesana kemari. Ia lalu memutuskan untuk duduk dan menenggak segelas air agar bisa merasa lebih tenang. Satu tangannya lagi meraih ponsel yang tergeletak diatas meja bersamaan dengan Arina yang memanggilnya.

Sejenak, Scene mencoba menetralkan suara sebelum menyambut panggilan dari Arina meskipun dengan tangan kanan yang masih bergetar.

"Hallo....."

Just Skies are DrawingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang