TIGA PULUH TUJUH

270 20 2
                                    

Dengan menggendong tabung gambar di punggung, Scene tampak ragu untuk memasuki kelasnya pagi ini. Ia membenarkan letak kacamata hitam yang menggantung di wajahnya, lalu menghembuskan nafas kasar sebelum akhirnya memutuskan untuk duduk pada kursi yang diletakkan di depan easel canvas miliknya. Hanya sembilan puluh menit, semuanya akan baik-baik saja, dan Mrs. Aami atau siapapun tidak akan ada yang mengomentari penampilannya pagi ini.

"Hi, Scenery. Good morning." Gabriel menepuk pundak Scene dengan membawa satu cup caramel latte di tangan. Lelaki itu kemudian menurunkan tas punggungnya dan duduk di sebelah Scene. "Apa yang sudah kamu tonton tadi malam?" Ia meledek Scene begitu melihat sahabatnya itu mengenakan kacamata hitam dengan raut wajah yang terlihat tidak dapat tersentuh sama sekali.

"Ou, morning," balas Scene singkat, mencoba tidak memperdulikan ledekan Gabriel kepadanya.

"A pretty lipstick."

"Arrête de commenter mon apparence, Gabriel. Tu es vraiment attentif (Berhenti mengomentari penampilanku, Gabriel. Kamu sangat perhatian)." Scene mencebik dengan nada jengkel yang dibuat-buat, berusaha menutupi kegugupannya.

Sementara wanita itu memang sengaja menggunakan lipstik dengan warna yang sedikit lebih tua daripada biasanya untuk menutupi luka yang ada di sudut bibirnya.

"Buongiorno, Scenery (Selamat pagi, Scenery)!" Satu suara riang menyapa telinga Scene dan ia tahu siapa yang menyapanya, Luisha. Gadis berdarah Italia yang sama-sama tinggal di satu gedung apartemen dengannya. "Non per te, Gabriel. Spero che i tuoi giorni diventino tutti lunedì. Irritante, lasciandomi al club ieri sera! (Tidak untukmu, Gabriel. Semoga semua hari-harimu di kalender berubah menjadi hari Senin. Menyebalkan, meninggalkanku di club tadi malam!)" sambung Luisha yang begitu berang dengan Gabriel, sementara lelaki itu hanya tertawa puas.

"Harusnya kamu bersyukur, Luisha. Aku tahu kamu mencium Perth, dan tetap bersama denganmu akan menjadi hal yang paling konyol."

"Diam. Seharusnya kamu juga mencari pasangan daripada terus menerus membuntutiku!"

Scene hanya bisa menggelengkan kepala melihat kedua sahabatnya itu terus beradu mulut, sementara posisinya yang berada di tengah-tengah Luisha dan Gabriel saat ini. Entah apa yang telah terjadi tadi malam — Scene tidak tahu, karena ia hanya ikut pada sesi makan malam bersama Gabriel dan Luisha, setelah itu mereka bertiga berpisah dengan rute masing-masing. Musim yang semakin beranjak dingin, membuat Scene semakin mengeratkan jaketnya dan bersamaan ia tidak sadar bahwa sedari tadi dirinya sedang memegang rautan pensil di tangan.

Rautan tersebut jatuh, membuat wanita itu lekas-lekas menunduk karena sampah-sampah dari dalam rautan pensil ikut juga menghambur keluar. Ia membersihkannya dengan cepat — dan kacamatanya bersamaan ikut terlepas, menampilkan wajahnya secara terang-terangan. Buru-buru, Scene langsung meraih kacamata hitam tersebut, namun sayang, ternyata Luisha juga tengah menunduk, membuat kedua mata mereka saling bertemu. "Scenery!" Luisha memekik dan dibalas langsung oleh Scene dengan tatapan memohon — untuk diam, tidak membuat keributan.

"What happened?" Ekspresi Luisha terlihat begitu khawatir karena melihat sekitaran mata kanan Scene yang lebam berwarna kebiruan, ia bahkan merubah posisi duduknya menjadi berhadapan dengan Scene. Sekarang Luisha paham, mengapa Scene pagi ini mengenakan kacamata hitam di dalam kelas, sesuatu yang cukup jarang karena Scene selalu tampil dengan wajah segar, apapun yang terjadi. Sebenarnya, jika melihat anak-anak lain, tidak ada yang aneh, karena anak-anak juga biasa menggunakan kacamata hitam untuk menutupi mata bengkak mereka yang tidak tertidur selama semalaman. Tapi untuk Scene, bisa menjadi pengecualian.

Scene yang sudah menggunakan kacamatanya kembali hanya menggeleng dan beralasan. "Terpeleset di kamar mandi, tadi pagi."

"Apa yang dia lakukan lagi kali ini, Scene?"

Just Skies are DrawingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang