Happy Reading
POV ibu Tesa
Rok abu sudah kupakai, seragam putih telah melekat di tubuhku. Kerudung putih serasi dengan sepatu yang juga berwarna putih sedikit ada polet abu. Kuambil tas gendong lalu siap melesat.
"Tesa. Sarapannya nak."
"Tesa tak sarapan hari ini ibu, Tesa sudah terlambat." Pamit Ku sembari mengigit sehelai roti.
Ah, rasanya tak sabar. Andai aku bersayap, mungkin aku sudah terbang kepakan sayap paling kuat. Satu hari tak melihatnya bagai satu abad saja, otakku terus memikirkan wajah manis itu. Wajah dengan lesung Pipit indah dikedua pipi.
Namanya Ryan. Laki-laki sawo matang yang ku kejar hampir satu tahun ini. Senyumnya mampu buyarkan perasaan seseorang yang melihatnya, lirikan matanya mampu mendegupkan jantung. Entah perasaan macam apa ini, aku pun tak mengerti.
Ryan jelas tak pernah melirikku, dia tak pernah menyadari keberadaan ku. Meski aku berusaha semampunya, aku tak pernah menyerah meski semua sahabatku berkata untuk mundur.
"Berhenti mengusik ketenangan ku. Ambil kotak ini, aku tak mau menerima ini." Cetus Ryan masam.
"Kenapa tak kamu buang, dari pada kamu mengembalikan barang pemberianku. Bukankah lebih baik kamu membuangnya." Timpal Ku bernada santai.
Ryan menatap kesal, lebih ke jijik. Ryan membuang kotak hadiah dariku di tong sampah persis di sampingku.
"Berhenti melakukan hal aneh. Aku tak suka."
"Kamu tak berhak mengaturku! Aku akan melakukan hal yang menurutku baik untuk diriku, semua kulakukan untuk diriku sendiri. Aku melakukan semua itu bukan untukmu."
Ryan berbalik, setelah dia berlalu beberapa langkah. Dia datang mendekatiku.
"Kamu wanita aneh! Teruslah melakukan hal bodoh, aku tak akan pernah perduli." Ryan pergi dengan emosi.
Gila. Ini sungguh gila, akhirnya Ryan datang dan berbicara kepadaku. Hatiku sungguh berbunga, hatiku sungguh bahagia hari ini.
Seharian aku tersenyum persis manusia gila. Wajah marahnya ternyata lebih ganteng dari senyumnya. Ah Ryan, ternyata selama ini kamu menyadari kehadiranku. Ternyata perjuanganku tak sia-sia selama ini.
Sabtu sore.
Seperti biasa aku duduk ditengah teriknya mentari. Menunggu Ryan di halte bis sekolah. Sudah menjadi rutinitas ku selama setahun ini, aku akan menunggu laki-laki manis itu disini. Aku akan menunggu dirinya naik bis, dan setelah melihatnya pulang aku akan pulang berjalan kaki. Setiap hari Sabtu aku akan pulang berjalan kaki dengan bahagia, sesekali aku akan membayangkan Ryan berjalan bersamaku lalu aku akan tersenyum lepas.
Kulihat langit sudah berubah warna. Terik panas itu hilang, kini Mega keemasan hampir memenuhi angkasa. Aku masih tak beranjak, masih duduk di kursi panjang berbahan besi silver.
"Mungkin Ryan ada kelas tambahan. Mungkin Ryan masih ngumpul disekolah bersama kawan-kawannya." Mencoba menenangkan diri sendiri.
Cacing dalam perut semakin bringas. Keringat dingin kurasakan di tubuhku yang kini sedikit gemetar. Aku kelaparan.
Mataku menatap datar kejalan raya. Melihat kendaraan yang datang silih berganti, melihat setiap orang yang menatapku. Mereka seperti melihat kebodohanku, mereka seperti mentertawakan diriku yang bodoh.
Penglihatan Ku kini tak jelas, mataku berkaca-kaca. Aku terus berusaha untuk kuat, berusaha untuk bertahan.
Namun sayang. Ternyata hatiku sudah terluka, air mataku tak bisa ku kawal lagi. Mungkin sudah saatnya aku menyerah, ternyata hatiku lelah juga.
KAMU SEDANG MEMBACA
AUTO JANDA [ TAMAT ]
Teen Fiction"Semua bajumu sudah aku kemas. Mulai hari ini kamu bukan istriku lagi. Ibu di bawah sudah menunggumu, baik-baik menghadapnya." Evan menatap datar. "Oke," Timpalku tak kalah datar. "Kamu gak sedih? Aissh, benar-benar kamu Wulan." Ucapnya kesal. Kutar...