Happy Reading
"Jika ibu sudah tak ada nanti. Tolong jaga ayahmu nak, buat dirinya bahagia. Ayahmu orang baik, ayahmu laki-laki yang sangat baik." Ibu melepas cengkraman tanganku.
Tanganku begitu keras mencengkram tangannya, semakin kutarik tangannya malah semakin mudah tangannya untuk dilepaskan. Ibu pergi dengan tenang, berjalan perlahan menatapku dengan senyum lebarnya. Mataku menatap pilu, hatiku meronta. Mulut seakan terkunci, parau tak bersuara. Ibu lambaikan tangannya, bibirnya masih dengan senyum bahagia. Semakin beliau menjauh, jauh dan lalu hilang masuk kedalam cahaya putih.
"Tidak. Jangan tinggalkan aku ibu." Aku berteriak sangat kencang.
Ya Allah. Ternyata mimpi. Astaghfirullah, Jam berapa ini. Ku Usap sudut mata yang basah, ternyata mimpi buruk itu membuat mataku menangis. Ya Tuhan, mimpi ini terasa nyata. "Ya Allah, panjangkan umur kedua orang tuaku. Aku mohon Tuhan, ku tak bisa hidup tanpa mereka."
"Non, ditunggu tuan dibawah." Suara ibu Gendis dibalik pintu.
"Iya Bu, saya mandi dan sholat dulu ya."
Aku bergegas ke bilik air. Rasanya ingin aku basahi seluruh tubuhku ini, ingin cepat melupakan mimpi buruk yang kini ku takuti. Amit-amit semoga mimpi ini hanya sekedar mimpi, jujur ku tak bisa membayangkan bagaimana jika aku harus kehilangan ibu.
Kulihat dilantai bawah sudah cukup ramai. Bik Reni juga dengan paman Andi. Adit pun sudah bersila disamping kedua orang tuanya. Lalu ada ustad Hendri dengan puluhan anak-anak yatimnya. Ustad Hendri memang memiliki panti asuhan dikampungku dulu, beliau cukup akrab dengan ayah.
"Ayah. Ibu mana?" Tanyaku celingukan
"Dikamar mungkin. Dari tadi ibumu sibuk sendiri." Bisik ayah.
Setelah ku sapa semuanya ku langsung berjalan mencari ibu. Entah kenapa rasa rindu ini menyeruak sejak tadi, rasanya ingin sekali aku memeluknya. Efek dari mimpi tadi belum sepenuhnya hilang, aku masih tak bisa melupakan mimpi aneh tadi.
"Ibu.." kepalaku masuk ke kamarnya.
Setengah tubuhku memasuki kamar ibu, kepalaku celingukan di pintu kamarnya, mencari sosok ibu yang masih aku cari. Kakiku melangkah masuk. Mungkin ibu dikamar mandi, aku nyelonong begitu saja. Baru kali ini aku masuk tanpa izin, entah kenapa hari ini aku begitu ingin memeluknya.
Ternyata kamar mandinya kosong. Apa mungkin ibu di dapur membantu ibu gendis? Ah, harusnya aku cek dulu dapur sebelum kamarnya. Tubuhku berbalik setelah mengecek ruangan kamarnya, kakiku berjalan cukup cepat karna rasaku yang kini tergesa. Ku Hentikan langkahku, hatiku terganggu dengan selembar kertas di atas meja rias ibu. Aku seperti kenal lembaran kertas itu, ya. Aku seperti pernah melihat lembaran kertas itu.
Aku berjalan mendekati meja besar itu, aku penasaran dengan lembaran kertas itu. Dan ternyata memang benar aku tau lembaran kertas ini, lembaran kertas dari rumah sakit saat ayah dirawat disana. Apa ayah sakit lagi?
Aku membaca dengan teliti. Dan ternyata ini bukan tentang sakitnya ayah, ini tentang ibu. Aku yakin ini helai kertas untuk ibu, tertulis jelas disini nama Anatesa.
Aku terus membaca. Hatiku sudah tak karuan, takut akan hal mimpi itu yang jadi kenyataan.
Tumor otak. Mataku sembab saat membaca jika ibuku terkena tumor otak. Meski itu masih belum pasti, tapi disini jelas tertulis jika ibu kemungkinan besar didiagnosis kangker dibagikan otaknya.
Mataku terasa panas. Air bening itu mendobrak paksa, berselancar hangat mengalir dikedua pipiku. Aku tak percaya! Ibuku yang kuat itu tak mungkin terjangkit penyakit bahaya seperti ini, ibuku harus sehat! Ibuku harus terus hidup dan terus mendampingiku.
KAMU SEDANG MEMBACA
AUTO JANDA [ TAMAT ]
Roman pour Adolescents"Semua bajumu sudah aku kemas. Mulai hari ini kamu bukan istriku lagi. Ibu di bawah sudah menunggumu, baik-baik menghadapnya." Evan menatap datar. "Oke," Timpalku tak kalah datar. "Kamu gak sedih? Aissh, benar-benar kamu Wulan." Ucapnya kesal. Kutar...